MILITER INDONESIA BERKUASA DI PAPUA

Sabtu, 27 Juli 2013

Orang jujur dimusuh Negara, orang yang berbicara kebenaran dan keadilan sejarah di musuh oleh Penjajah, itu Karakter dan  sifat negara  Indonesia, kami melihat Papua dari jauh, memang Papua merupakan Daerah Operasi Militer (DOM), dan Wilayah Papua Bagian Barat merupakan daerah Jajahan Belanda-Indonesia-Amerika- PBB serta sekutunya.

Indonesia berkuasa di Papua hanya karena Kepentingan Politik (Kekuasaan Wilayah Papua oleh Indonesia), lalu Amerika dan Sekutunya berkuasa di Papua hanya untuk kepentingan Ekonomi (kekayaan alam Papua). Untuk itu, mereka menggunakan Pengamanan dengan cara Militeristik di semua golongan dan bidang aspek kehidupan. 
Musuh orang Papua di Papua adalah Kolonialisme (Indonesia) dan Kapitalisme (Amerika dan sekutunya) serta Militerisme. Militerisme fungsinya untuk Melindungi Kolonialisme dan Kapitalisme. dimana ada pemerintaha Indonesia pasti ada Militerisme dan dimana ada Perusahan pasti ada Militerisme, gunanya untuk menjaga dan melindungi mereka.

Kondisi di Papua, militer Organik maupun non organik Indonesia berkuasa dimana-mana baik tempat umum maupun tempat trategis lainnya menjadi target bisnis mereka. Militer menjadi Bandar Togel, Militer Menjadi sopir taksi, militer menjadi wartawan, militer menjadi Pejabat daerah, militer menjadi, DPR, militer mejadi Pengusaha, Militer mejadi Ojek  Bermotor,  dan lainnya. Kerja dari pihak militer  Indonesia di Papua baik dari Sorog sampai Merauke, sebanyak 5 lapisan (lima Ring), diantaranya adalah Tentara, Polisi, Intel, Bais, BMP. mereka menjalankan tugas dan fungsi kerja masing-masing tempat yang berbeda-beda, untuk memantau dan mendata aktivitas setiap orang Asli Papua setiap hari.

Pertama ada yang menjadi keluarga dekat kita (satu rumah),tugas mereka adalah memantau dan mengikuti setiap kata-kata yang kita ucapkan baik maupun buruk, mereka mamantau dimana kita tidaur dan lainnya. Kedua  ada yang menyamar menjadi tetangga kita (Jalan masuk Gang),  Ketiga  lingkungan kita (dijalan raya aktivitas dimana Kita berada),  Keempat Polisi dan satuan lainnya (memantau dimana kita berada),  Tentara dan satuannya (mereka menajadi Pedangan, Penjaga Kios, Sopir dan lainnya).

50 Tahun sudah Negara Kolonialisme Indonesia menjajah Tanah Papua terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 sampai dengan 1 Mei 2013 ini. Dalam kurun waktu 50 Tahun Indonesia telah berhasil menjarah habis kekayaan alam papua, mencabut sekian ratus juta hak hidup orang papua, membunuh jati diri orang papua (budaya/adat), dan menutup rapak Hak Politik Bangsa Papua untuk menentukan sikapnya sebagai suatu bangsa yang beradab dan berdaulat secara politik sebagai suatu bangsa yang Merdeka. 
Sudah menjadi rahasia Internasional bahwa Bangsa Papua telah mendeklarasikan Negara West Papua pada tanggal 1 Desember 1961, peristiwa tersebut juga telah diakui oleh Pemerintah Kolonialis Indonesia berdasarkan Poin Pertama Tugas Pokok Trikora yaitu “Membubarkan Negara Boneka Papua Buatan Kolonial Belanda”, yang dikomandangkan Soekarno pada tanggal 19 Desember 1961. Trikora yang dicetuskan Soekarno itu kemudian dijadikan sebagai “Mesin Pembunuh” oleh negara kolonialis Indonesia untuk melancarkan Tindakan Agresi Militer terhadap Bangsa Papua selama 50 tahun lamanya sehingga telah menelan sekian ratus juta jiwa korban, serta melalui Sistim Binominal ABRI dimana militer memegang dua peran dimana sebagai Pemimpin Pemerintah dan sekaligus sebagai Komandan Perang yang dibungkus rapih didalam status Daerah Operasi Militer (DOM) atas Seluruh Wilayah Tanah Papua yang menjadikan semua tindakan militer disana terencana, sistematis, dan terstruktur rapih diatas kepentingan ekonomi dan politik Negara Kolonialis Republik Indonesia atas wilayah papua. 

Pembunuhan Jiwa Orang Papua (Budaya/Adat) dilancarkan oleh negara kolonial indonesia terhadap Bangsa Papua dilakukan mengunakan pendidikan dengan cara menetapkan sistim kurikulum yang diseting dari jakarta dan diterapkan diseluruh sekolahan baik swasta dan negeri yang tersebar ditanah papua. Alternatif tersebut menjadi “Sarana Pengembangan Hegemoni Politik Indonesia Atas Bangsa Papua” sehingga mereka telah sukses melahirkan/menciptakan Orang Papua Indonesia (PAPINDO) yang bermental kulih (tahunya mengerjakan pikiran orang lain), dan berjiwa komsumtif (tahunya menikmati hasil karya orang lain), serta buta akan jati dirinya.

Seluruh tindakan negara kolonial Indonesia mencapai kesuksesan karena didukung oleh negara imperialis Amerika Serikat dengan cara mengusulkan Proposal Penyelesaian Sengketa Politik antara Negara Kolonial Indonesia dan Belanda atas Seluruh Wilayah Papua kepada Perserikatan Bangsa Bangsa yang selanjutnya disahkan menjadi Perjanjia Internasional yang dikenal dengan New Yoork Agreemend pada tahun 1962 melalui duta besar Amerika Serikat untuk PBB Eswold Bunnker, serta menyediakan peralatan perang bagi militer indonesia, memberikan pelatihan bagi militer indonesia, dan mendanai biaya agresi militer indonesia atas tanah papua berdasarkan kepentingan Amerika Serikat atas kekayaan alam yang terkandung di Tanah Papua. Semua tindakan negara imperialis Amerika Serikat dijadikan hutang politik bagi negara kolonial indonesia yang akhirnya dilunasi dengan dilaksanakannya Penandatangganan Kontrak Karya PT. Freeport Mc Morand And Gold Copper pada tanggal 7 April 1967 pada saat status wilayah papua masih dikategorikan sebagai wilayah Sengketa Internasional berdasarkan New Yoork Agreemend yang akan berakhir pada tahun 1969. Kenyaan itu kini mulai nyata di depan mata publik internasional khususnya rakyat Indonesia yang telah dibutakan oleh sistim dan tokoh-tokoh nasionalnya yang licik, serakah, dan dictator itu. Kondisi itu sekarang telah membuka Tabir Nista Amerika Serikat dan mulai mununjukan Kebusukan Luka Lama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang telah mengorbankan Nasib Bangsa Papua demi memenuhi kepentingan Imperialisme Amerika Serikat. 

Dengan memanfaatkan sistim pememerintah Negara Kolonialis Indonesia kemudian merekayasa pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) atau REFERENDUM dengan mengunakan “Sistim Musyawara Untuk Mufakat” ala Negara Kolonialis Indonesia yang tidak sesuai atau tidak sesuai dengan Prinsip Internasional yang telah termuat dalam New Yoork Agreemend yaitu “Satu Orang Satu Suara”. Rekayasa PEPERA itu dilakukan dengan cara membentuk Dewan Musyawara PEPERA atau yang diistilahkan dengan “DEMUS PEPERA” dimana seluruh anggotanya adalah Abdi Negara Kolonialis Indonesia (PNS) yang tunduk dibawah sistim kolonialisme Indonesia. 

Semua kebusukkan Negara Kolonialis Indonesia terlihat secara praktek pada pelaksanaan PEPERA 1969 yang terpasung dibawah bayang-bayang militerisme sesuai Kepentingan Politik Negara Kolonialis Indonesia sehingga hasil yang diperoleh adalah Papua Bergabung Ke Dalam Negara Kolonialis Indonesia. Walaupun demikian scenario politik negara kolonialis republic Indonesia atas wilayah papua tidak mampu memutuskan nasionalisme yang telah mengakar dalam diri orang papua selama sekian ribu tahun lamanya sebelum hadirnya orang asing yang telah dimanifestasikan dalam bentuk negara West Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dan telah menunjukan sikap protes terhadap tindakan kebiadaban Negara Kolonialis Republik Indonesia pada tanggal 28 Juli 1965 dengan cara menyerang markas militer Kolonial Indonesia di pegunungan Airfai (Manakwari), serta aksi protes pemuda mahasiswa papua didepan kediaman Mr. Ortizan Zans Perwakilan pemerintah sementara Perserikatan Bangsa Bangsa di holandia (Jayapura) dua peristiwa itu menjadi bentuk nyata sikap protes orang papua atyas ketidakadilan Negara kolonialisme Indonesia dan Amerika Serikat sebagai pemimpin Imperialisme Internasional yang telah memanfaatkan PBB untuk memenuhi kepentingan ekonomi politiknya atas tanah papua. dua peristiwa itu juga selanjutnya menjadi siprit bagi perjuangan nasionalisme papua selanjutnya yang kondisinya telah tumbuh, mengakar, dan berkembang semakin subur nan membesar bagaikan suburnya hutan papua yang belukar dan menghijau dalam diri semua Anak Bangsa Papua tanpa perbedaan. 

Nasionalisme Papua dalam Pusaran Imperialisme AS dan Kolonialisme Indonesia


Nasionalisme Bangsa Papua telah terbangun sejak pertamakali Orang Papua diciptakan dan ditetapkan di atas Bumi Papua, orang Papua mengalami peruban sosial secara murni dengan kondisi alam Papua di wilayah ulayatnya masing-masing. Berdasarkan kenyataan itu sehingga di seluruh Tanah Papua tidak pernah ditemukan Peperangan Suku yang dipicu karena pendudukan suatu wilayah yang bukan menjadi haknya. Dalam pandangan adat mereka sangat tahu dari mana mereka berasal, dan darimana asal usul mereka kenyataan itu menjadi rahasi umum mereka yang tidak diketahui orang lain. 

Isu terkait masih ada suku bangsa kanibal yang digembar gemborkan penduduk sekitar pulau papua yang dimulai sejak abad VI menakut nakuti orang luar untuk masuk kewilayah papua, kondisi itu hanya semakin mengentalkan Pandangan Nasionalisme Papua secara Tradisional antara satu dan lainnya disana. Nasionalisme itu dibuktikan dengan kenyataan hidup orang papua yang saling mengetahu, melindungi, dan memelihara batas wilayah ulayat masing-masing masyarakat adat disana sampai sekarang. Dalam struktur sosialnya orang papua menganut Sistim Patrilineal yang disimbolkan dalam bentuk Marga/Fam sehingga hubungan sosialnya dapat diketahui dengan baik dan tersistematis. Walaupun dalam kondisi patrilinear, namun kedudukan wanita sangat dihargai dan dilindungi. Bentuk penghargaannya adalah adanya nilai mas kawin / harta nikah yang ditetapkan atas diri seorang perempuan, serta lebih jauh dan luas lagi adalah seluruh tanah di papua disimbolkan sebagai Mama / Ibu / Perempuan.

Pengetahuan akan batas Wilayah Ulayat serta pandangan tanah yang disimbolkan sebagai “Mama Papua” diatas yang kemudia menciptakan Hubungan Produksi antara Orang Papua dan Alam sektar sebagai alat produksinya.

Perjalanan Nasionalisme Papua dari setiap masyarakat adat diseluruh wilayah ulayatnya hingga mencapai puncaknya pasca diterapkan Kebijakan Politis Etis Belanda yang diwujudkan oleh Van Ecound (Gubernur Nederland Nieuw Guinea) dengan mendirikan sebauh Sekolah Pamong (Besture Scool) dikta nica (Kampung Harapan, Jayapura) untuk mendidik Putra-Putri Pribumi Papua dengan tujuan untuk mewujudkan “Program Papuanisasi”. Dalam sekolah tersebut putra-putri papua diajarkan untuk berorganisasi yang diwujudkan dengan dibentuknya Organisasi Dewan Suku (DEMSUK) sesuai dengan asal-usul masing-masing siswa. 

Politik etis itu kemudian mencapai puncak pasca dibukannya ruang politik dalam Sistim Pemerintahan Belanda yang ditandai dengan pembentukan Nieuw Guinea Read atau Dewan Nieuw Guinea yang beranggotakan Putra-Putra Papua yang telah didik pada Sekolah Pamong diatas, melaluinya mereka diberikan ruang untuk membentuk Komite Nasional Papua yang bekerja untuk membentuk : Perangkat Negara West Papua (Lambang Negara, Bendera, dan Lagu Kebangsaan Negara West Papua), serta mereka menentukan Hari Pendeklarasian Negara West Papua. Akhirnya Negara West Papua dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961, peristiwa tersebut yang menjadikan momentum lahirnya semangat Nasionalisme Bangsa Papua secara Politik setelah berefolusi dari Nasionalisme Tradisional Pribumi Papua sesuai adat diseluruh wilayah Ulayat West Papua. 

Amerika Serikat sebagai Pemimpin Negara Kapitalis Internasional yang saat itu sedang berperang melawan Negara Komunis yang dikenal dengan istilah Perang Blok Barat dan Blok Timur, telah meraup sekutunya sebanyak mungkin untuk menumbangkan Komunisme yang sedang subur diwilayah ASEAN (Jepang) salah satunya adalah Belanda. Dengan hubungan Ekonomi Politik yang telah terbangun itu Amerika Serikat seakan mendapatkan ruang untuk mendikte Pemerintah Belanda agar menyingkir dari wilayah West Papua dan memberikan wilayah tersebut kepada Pemerintah Indonesia melalui perantaraan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), motifasi Amerika Serikat yang picu akan atas temuan canangan emas terbesar didunia yang terdapat dipegunungan jayawijaya atau yang dijuluki Greesbert oleh Jean Jacques Dozy dari Belanda pada tahun 1936, dan sudah dipastikan oleh ahli geologi: Forbes Wilson dari Organisasi Freeport dari Amerika dengan melakukan ekspedisi kewilayah pedalam Papua pada tahun 1960.

Soekarno sebagai Pemimpin Negara Kolonialis Indonesia memang sejak awal kemerdekaanya telah menunjukan sikap tegas sebagai negara kolonialis yang siap mengkoloni wilayah West Papua sangat nampak dari pandangan-pandangannya dalam Sindang Umum Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada agenda penentuan batas Wilayah Negara Indonesia sempat berdebat dengan wakilnya (Moh.Hatta) dimana Soekarno menegaskan bahwa berdasarkan Kepentingan Politik dan Ekonomi sehingga wilayah Papua wajib dimasukan kedalam NKRI sedangkan Hatta menjelaskan bahwa atas dasar penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi serta perbedaan Rumpun dimana Bangsa Papua adalah “Rumpun Malanesia” sedangkan Bangsa Indonesia adalah “Rumpun Malayu” maka “Biarkanlah Bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri sebagai sebuah bangsa dikemudian hari”. Pernyataan Hatta ditentang oleh Soekarno dengan memberikan rasionalisasi kepada peserta sidang atas dua latar belakangnya untuk meraup dukungan dimana soekarno menjelaskan bahwa : kondisi tingginya kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Papua akan dijadikan bekal hidup bagi generasi bangsa Indonesia yang akan datang, sedangkan posisinya yang strategis secara geografis dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan untuk menghalau masuknya peselancong asing dari arah pasifik dan sekaligus menjadi pentu gerbang masuk dan keluar bagi pihak asing dan Indonesia untuk menciptakan hubungan ekonomi dengan demikian secara politik Indonesia akan kuat dan tidak akan terkalahkan. Rasionalisasi itu seakan menghipnotis semua akal sehat objektif semua peserta sehingga mendapat respon positif dan menyepakati usulan soekarno dengan cara foting. Dengan penuh penyesalannya Hatta menyimpulkan bahwa : Negara Indonesia yang baru saja mau merdeka ini telah menjadi Negara Kolonialis Baru (New Colonialis) yang akan menjajah wilayah lainnya (West Papua). 

Berdasarkan kesimpulan sidang umum BPUPKI diatas akhirnya menjadi Program politik nasional Negara Kolonial Indonesia sejak awal kemerdekaannya dan menjadikan wilayah papua sebagai wilayah target kolonialisme Indonesia yang terus diperjuangkan dengan sekian cara baik kompromi internasional dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), Konferensi-konferensi lainnya, agresi militer secara penyusupan, memasukan wilayah papua secara sepihak kedalam atministrasi wilayah Negara Kolonialis Republik Indonesia, serta memasang beberapa intelektual Indonesia yang gunakan Belanda sebagai tenaga dan bahkan tahanan seperti Sugoro, dan Sam Ratulangi untuk menanamkan bibit nasionalisme dalam diri beberapa intelektual papua yang kemudian menjadi Orang Papua Indonesia (PAPINDO). 
Sikap politik Negara Kolonialis Indonesia atas wilayah papua juga ditegaskan kembali oleh beberapa Petinggi Militer Indonesia pada waktu itu dimana “Ali Murto (Panglima TNI), dan Sarwo Edhi Wibowo (PANGDAM TRIKORA / Bapak Mantu Susilo Bambang Yudhoyono) dalam pernyataannya bahwa : mimpi orang papua untuk mendirikan Negara Malanesia Barat atau Negara West Papua adalah satu hal yang tidak mungkin terjadi sehingga untuk mewujudkannya itu silahkan mereka mengirim surat ke Tuhan-nya agar dia bisa memberika tanah kosong dibulan ataukah di sebuah pulau yang kosong dan agar mereka dapat mendirikan negaranya disana, sebab Negara Indonesia tidak membutuhkan Orang Papua, kami hanya membutuhkan kekayaan alamnya saja.
Dengan tujuan politik umum nasional Indonesia dan dikuatkan lagi oleh tugas pokok TRIKORA menjadi ideology militer Indonesia disana sehingga telah melakukan Tindakan militerisme yang tidak berprikemanusiaan dan telah melahirkan tindakan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, serta Kejahatan Agresi Militer secara sistematik yang berdampak pada “Tindakan Genosida atas Bangsa Papua” yang dilindungi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). 

Kondisi nyata diatas telah menjelaskan bahwa dinamika politik yang terbangun di Tanah Papua adalah “tingginya kepentingan negara Imperialis Amerika Serikat atas Tanah Papua yang diwujudkan dengan menjadikan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai jembatan emas untuk menundukan Belanda dan menciptakan Negara Kolonialisme Indonesia sebagai alat yang dipersenjatai, dilatih, dan dibiayai untuk mewujudkan kepentingannya atas Tanah Papua disaat Nasionalisme Bagsa Papua yang telah memuncak menjadi sebuah Negara West Papua yang telah dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961”.


Berkobarnya Api Nasionalisme Papua Ditengah Dinamika Politik Penjajah


Dibawah tekanan kolonialisme Indonesia yang tidak berprikemanusia itu Api Nasionalisme Papua terus berkobar sehingga melahirkan generasi penerus pejuangan bangsa papua yang tidak henti-hentinya berjuang untuk menentukan sikapnya sebagai suatu negara yang telah merdeka. Walaupun telah banyak korban jiwa yang berjatuhan, ditengah jiwa ke-Papua-an yang sedang dirundung Hegemoni Politik Indonesia dan arus globalisasi itu Identitas Orang Papua yang melekat pada “Tubuh setiap anak keriting dan kulit hitam yang berbeda dengan Kulit Sawo matang dan rambut lurus itu membuat jiwa patriot generasi muda papua selalu berkobar-kobar bagaikan nyala api sehingga sedang, sudah, bahkan akan mematikan dinamika politik penjajah”.

Negara Kolonialisme Indonesia mulai kedodoran pasca tumbangnya resim Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan bangkitnya gerakan reformasi yang menciptakan tatanan kehidupan berdemokrasi yang baru didalam negara kolonialis indonesia kian membuka ruang bagi berkobarnya Api Nasionalisme Bangsa Papua. Pelaksanaan Kongres II (dua) Bangsa Papua yang mengukuhkan Bapak Theys H Eluai sebagai Bapak Bangsa Papua membuat dunia internasional semakin membuka mata atas tanah papua yang selama 32 tahun ditutup oleh Negara Kolonialis Indonesia dibawah resim Orde Baru, dan dibawah lilitan imprealisme Amerika Serikta. 

Situasi itu kemudian memberikan cara baru untuk Indonesia untuk melancarkan Politik Licik yang halus namun mematikan yang diragakan melalui Sistim Pemerintahan yang ditandai dengan diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang didanai oleh negara-negara Kapitalis dibawah pimpinan Amerika Serikat, serta memberikan Pemerkaran daerah baik ditingkat Propinsi dan Kabupaten / Kota diseluruh Papua yang tidak sesuai prosedur hukum dengan tujuan untuk mengkotak-kotan/memecahbelah Orang Papua menjadi beberapa bagian agar dapat “Mematikan Api Nasionalisme Bangsa Papua” sembari menguatkan “Basis Militer Kolonoalisme Indonesia” di Tanah Papua dan membuka lahan baru bagi kehadiran “Kapitalisme Baru” seperti Inggris (PT. Britis Petrolen), dan Cina serta pengusaha Indonesia untuk meraup keuntungan atas kekayaan alam Bumi Papua.

Semangat Nasionalisme Papua yang terus berkobar-kobar itu, akhirnya membuat Negara Kolonialisme Indonesia mengalami kesulitan untuk memadamkannya. Kesulitannya itu terjadi akibat semakin banyaknya Generasi Penerus Bangsa Papua yang terdidik dengan sikap dan tindakan negara kolonialis Indonesia selama ini, serta Kesadaran Nasionalisme Papua yang terlahir kembali dalam diri setiap anak bangsa papua sehingga mereka mengetahui dengan jelas “Sikap Busuk Impreaslisme Amerika Serikat Dan Sikap Ketidakberadabannya Negara Kolonialisme Indonesia Yang Tidak Ber-Pri-Kemanusiaan”. Kondisi itu benar-benar mengahancurkan pikiran sehat Amerika Serikat dan Negara Kolonialisme Indonesia sehingga mereka mulai menghalalkan segala cara untuk menghentikan Gerakan Nasionalisme menuju Papua Merdeka dengan cara mengkriminalisasikan Pasal Makar (KUHP 106), berusaha menciptakan istilah-istilah untuk memberikan identitas bagi aktifis dan Pejuang Papua Merdeka sebagai Separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan yang sudah/sedang/akan dikembangkan adalah Teroris dengan tujuan agar mendapatkan dasar legal bagi tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat terhadap Bangsa Papua secara terang-terang oleh negara kolonialisme Indonesia sembari meraup dana segar atas isu perang terhadap Terorisme yang dikumandangkan oleh negara kapitalis Amerika Serikat, seperti yang diimplementasikan pada saat pembunuhan Almarhum Musa Alias Mako Tabuni oleh Tim Detasemen 88 Anti Terorisme alis Detasemen Peneror. 

Semuannya itu menunjukan bahwa Negara Kolonialism Indonesia mulai kehilangan akal untuk mencengkram Bangsa Papua. Kondisi kehilangan akal itu dibenarkan sendiri oleh beberapa Tokoh Nasionalis Indonesia, diantaranya Prof. Amin Rais, dan Advokad Senior Indonesia Adnan Buyung Nasition bahwa : 

“Cepat Atau Lambat Negara Papua Akan Merdeka, Sebab Negara Indonesia Tidak Mampu Mengambil Hati Orang Papua”, serta berdasarkan pengalaman bahwa “Perjuangan Orang-Orang Tertindas Selalu Didegar Dan Berkati Oleh Tuhan”.

Dimasa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, Api Nasionalisme Papua mulai membakar Negara Kolonialis Indonesia dengan buku, pidato, dan orasi-orasi yang pedis oleh beberapa Tokoh Intelektual Papua seperti Bapak Pdt. Benni Giay, Bapak Pdt. Socrates Sofian Nyoman, serta dipanggun Internasional Tuan Benny Wenda sudah, sedang, dan akan membakar “Pagar Imprealisme Internasional” dengan agenda politiknya yang dirangkum dalan “Gerakan Rout To Freedom For West Papua” yang telah mendapat dukungan dari beberapa negara di dunia, serta Diplomat-Diplomat Negara West Papua lainnya di Australia, Vanuatu, Amerika Serikat, Inggris, Guyana, Senegal, Belanda, dan lain sebagainya. Disamping itu gerakan para Petinggi Militer Negara West Papua (TPN-OPM) yang selalu memainkan perannya sehingga mulai melepaskan cengkraman Militerisme Indonesia, serta tidak lupa bagi seluruh pemuda Mahasiwa/I West Papua yang selalu megobarkan semangatnya di Jalan Raya Papua dan di Luar Papua untuk menyerukan “Tri Tuntutan Mahasiswa Papua” (TRITUMAPA) yaitu : 

1. Tutup Seluruh Perusahan Asing dari Tanah Papua;

2. Tarik Militer Organik dan Non Organik Dari Seluruh Tanah Papua; dan

3. Segerah selegarakan Hak Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua.

Dalam situasi Nasionalisme Papua yang kian memabara ditingkat nasional west papua dan ditingkat dunia internasional itu, hanya tersisah pertanyaan bagi kaum PAPINDO yang menjadi kaki tangan Negara Kolonialis Indonesia seperti : “Barisan Merah Putih (BMP), Eksekuti dan Legislatif Propinsi, Kabupaten, Kota di seluruh Tanah Papua, serta Aktifis Pemekaran Daerah. Pertanyaannya adalah apakah anda seterusnya akan menjadi warga negara indonesia, ingat bahwa hari ini anda yang sedang menahan Pemerintah Kolonialis Indonesia karena kesetianmu atas profesimu.

Perhatiakan sikap dan tindakan yang sedang ditunjukan oleh Pemimpin Demokrat yang baru dilantik menjadi Gubernur Papua yang mulai melempar opini tidak objektif untuk menyelengarakan Dialog Jakarta Papua dengan agenda kesejahteraan yang akan diusahakan dalam 100 hari kerja Gubernur terpilih, Rencana Perubahan UU Otsus yang akan berujung pada pelaksanaan UP4B sebagai agenda politik Partai Demokrat yang telah diusulkan lama, serta strategi cantiknya untuk “Mencuci Tanggan” serta menutup rapat “Hubungannya dengan Perusahan Raksasa” sembari meraup hati Masyarakat Papua yang ditunjukan dengan “Menolak Pangilan PT. Freeport Indonesia” padahal kita tahu bahwa dana kampanyenya adalah murni dana yang bersumber dari PT. Freeport Indonesia. Sikap kaum PAPINDO seperti ini yang sangat disayangkan sebab mereka telah, sedang, dan akan dibutakan dengan kekuasaan, uang, fasilitas, dan lain-lain sehingga berpura-pura melupakan jatidirnya sebagai Anak Bangsa Papua. 

Editotor: Admin

Sumber : Tulisan Luar biasa ini kirim melalui Jaringan sosial Facebook
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar