Orang jujur dimusuh Negara, orang yang
berbicara kebenaran dan keadilan sejarah di musuh oleh Penjajah, itu
Karakter dan sifat negara Indonesia, kami melihat Papua
dari jauh, memang Papua merupakan Daerah Operasi Militer (DOM), dan
Wilayah Papua Bagian Barat merupakan daerah Jajahan
Belanda-Indonesia-Amerika- PBB serta sekutunya.
Indonesia berkuasa di Papua hanya
karena Kepentingan Politik (Kekuasaan Wilayah Papua oleh Indonesia),
lalu Amerika dan Sekutunya berkuasa di Papua hanya untuk kepentingan
Ekonomi (kekayaan alam Papua). Untuk itu, mereka menggunakan
Pengamanan dengan cara Militeristik di semua golongan dan bidang
aspek kehidupan.
Musuh orang Papua di Papua adalah
Kolonialisme (Indonesia) dan Kapitalisme (Amerika dan sekutunya)
serta Militerisme. Militerisme fungsinya untuk Melindungi
Kolonialisme dan Kapitalisme. dimana ada pemerintaha Indonesia pasti
ada Militerisme dan dimana ada Perusahan pasti ada Militerisme,
gunanya untuk menjaga dan melindungi mereka.
Kondisi di Papua, militer Organik
maupun non organik Indonesia berkuasa dimana-mana baik tempat umum
maupun tempat trategis lainnya menjadi target bisnis mereka. Militer
menjadi Bandar Togel, Militer Menjadi sopir taksi, militer menjadi
wartawan, militer menjadi Pejabat daerah, militer menjadi, DPR,
militer mejadi Pengusaha, Militer mejadi Ojek Bermotor,
dan lainnya. Kerja dari pihak militer Indonesia di Papua baik
dari Sorog sampai Merauke, sebanyak 5 lapisan (lima Ring),
diantaranya adalah Tentara, Polisi, Intel, Bais, BMP. mereka
menjalankan tugas dan fungsi kerja masing-masing tempat yang
berbeda-beda, untuk memantau dan mendata aktivitas setiap orang Asli
Papua setiap hari.
Pertama ada yang menjadi keluarga dekat
kita (satu rumah),tugas mereka adalah memantau dan mengikuti setiap
kata-kata yang kita ucapkan baik maupun buruk, mereka mamantau dimana
kita tidaur dan lainnya. Kedua ada yang menyamar menjadi
tetangga kita (Jalan masuk Gang), Ketiga lingkungan kita
(dijalan raya aktivitas dimana Kita berada), Keempat Polisi dan
satuan lainnya (memantau dimana kita berada), Tentara dan
satuannya (mereka menajadi Pedangan, Penjaga Kios, Sopir dan
lainnya).
50 Tahun sudah Negara Kolonialisme Indonesia menjajah Tanah Papua terhitung sejak tanggal 1 Mei 1963 sampai dengan 1 Mei 2013 ini. Dalam kurun waktu 50 Tahun Indonesia telah berhasil menjarah habis kekayaan alam papua, mencabut sekian ratus juta hak hidup orang papua, membunuh jati diri orang papua (budaya/adat), dan menutup rapak Hak Politik Bangsa Papua untuk menentukan sikapnya sebagai suatu bangsa yang beradab dan berdaulat secara politik sebagai suatu bangsa yang Merdeka.
Sudah menjadi rahasia Internasional
bahwa Bangsa Papua telah mendeklarasikan Negara West Papua pada
tanggal 1 Desember 1961, peristiwa tersebut juga telah diakui oleh
Pemerintah Kolonialis Indonesia berdasarkan Poin Pertama Tugas Pokok
Trikora yaitu “Membubarkan Negara Boneka Papua Buatan Kolonial
Belanda”, yang dikomandangkan Soekarno pada tanggal 19 Desember
1961. Trikora yang dicetuskan Soekarno itu kemudian dijadikan sebagai
“Mesin Pembunuh” oleh negara kolonialis Indonesia untuk
melancarkan Tindakan Agresi Militer terhadap Bangsa Papua selama 50
tahun lamanya sehingga telah menelan sekian ratus juta jiwa korban,
serta melalui Sistim Binominal ABRI dimana militer memegang dua peran
dimana sebagai Pemimpin Pemerintah dan sekaligus sebagai Komandan
Perang yang dibungkus rapih didalam status Daerah Operasi Militer
(DOM) atas Seluruh Wilayah Tanah Papua yang menjadikan semua tindakan
militer disana terencana, sistematis, dan terstruktur rapih diatas
kepentingan ekonomi dan politik Negara Kolonialis Republik Indonesia
atas wilayah papua.
Pembunuhan Jiwa Orang Papua
(Budaya/Adat) dilancarkan oleh negara kolonial indonesia terhadap
Bangsa Papua dilakukan mengunakan pendidikan dengan cara menetapkan
sistim kurikulum yang diseting dari jakarta dan diterapkan diseluruh
sekolahan baik swasta dan negeri yang tersebar ditanah papua.
Alternatif tersebut menjadi “Sarana Pengembangan Hegemoni Politik
Indonesia Atas Bangsa Papua” sehingga mereka telah sukses
melahirkan/menciptakan Orang Papua Indonesia (PAPINDO) yang bermental
kulih (tahunya mengerjakan pikiran orang lain), dan berjiwa komsumtif
(tahunya menikmati hasil karya orang lain), serta buta akan jati
dirinya.
Seluruh tindakan negara kolonial
Indonesia mencapai kesuksesan karena didukung oleh negara imperialis
Amerika Serikat dengan cara mengusulkan Proposal Penyelesaian
Sengketa Politik antara Negara Kolonial Indonesia dan Belanda atas
Seluruh Wilayah Papua kepada Perserikatan Bangsa Bangsa yang
selanjutnya disahkan menjadi Perjanjia Internasional yang dikenal
dengan New Yoork Agreemend pada tahun 1962 melalui duta besar Amerika
Serikat untuk PBB Eswold Bunnker, serta menyediakan peralatan perang
bagi militer indonesia, memberikan pelatihan bagi militer indonesia,
dan mendanai biaya agresi militer indonesia atas tanah papua
berdasarkan kepentingan Amerika Serikat atas kekayaan alam yang
terkandung di Tanah Papua. Semua tindakan negara imperialis Amerika
Serikat dijadikan hutang politik bagi negara kolonial indonesia yang
akhirnya dilunasi dengan dilaksanakannya Penandatangganan Kontrak
Karya PT. Freeport Mc Morand And Gold Copper pada tanggal 7 April
1967 pada saat status wilayah papua masih dikategorikan sebagai
wilayah Sengketa Internasional berdasarkan New Yoork Agreemend yang
akan berakhir pada tahun 1969. Kenyaan itu kini mulai nyata di depan
mata publik internasional khususnya rakyat Indonesia yang telah
dibutakan oleh sistim dan tokoh-tokoh nasionalnya yang licik,
serakah, dan dictator itu. Kondisi itu sekarang telah membuka Tabir
Nista Amerika Serikat dan mulai mununjukan Kebusukan Luka Lama
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang telah mengorbankan Nasib Bangsa
Papua demi memenuhi kepentingan Imperialisme Amerika Serikat.
Dengan memanfaatkan sistim pememerintah
Negara Kolonialis Indonesia kemudian merekayasa pelaksanaan Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) atau REFERENDUM dengan mengunakan “Sistim
Musyawara Untuk Mufakat” ala Negara Kolonialis Indonesia yang tidak
sesuai atau tidak sesuai dengan Prinsip Internasional yang telah
termuat dalam New Yoork Agreemend yaitu “Satu Orang Satu Suara”.
Rekayasa PEPERA itu dilakukan dengan cara membentuk Dewan Musyawara
PEPERA atau yang diistilahkan dengan “DEMUS PEPERA” dimana
seluruh anggotanya adalah Abdi Negara Kolonialis Indonesia (PNS) yang
tunduk dibawah sistim kolonialisme Indonesia.
Semua kebusukkan Negara Kolonialis
Indonesia terlihat secara praktek pada pelaksanaan PEPERA 1969 yang
terpasung dibawah bayang-bayang militerisme sesuai Kepentingan
Politik Negara Kolonialis Indonesia sehingga hasil yang diperoleh
adalah Papua Bergabung Ke Dalam Negara Kolonialis Indonesia. Walaupun
demikian scenario politik negara kolonialis republic Indonesia atas
wilayah papua tidak mampu memutuskan nasionalisme yang telah mengakar
dalam diri orang papua selama sekian ribu tahun lamanya sebelum
hadirnya orang asing yang telah dimanifestasikan dalam bentuk negara
West Papua pada tanggal 1 Desember 1961 dan telah menunjukan sikap
protes terhadap tindakan kebiadaban Negara Kolonialis Republik
Indonesia pada tanggal 28 Juli 1965 dengan cara menyerang markas
militer Kolonial Indonesia di pegunungan Airfai (Manakwari), serta
aksi protes pemuda mahasiswa papua didepan kediaman Mr. Ortizan Zans
Perwakilan pemerintah sementara Perserikatan Bangsa Bangsa di
holandia (Jayapura) dua peristiwa itu menjadi bentuk nyata sikap
protes orang papua atyas ketidakadilan Negara kolonialisme Indonesia
dan Amerika Serikat sebagai pemimpin Imperialisme Internasional yang
telah memanfaatkan PBB untuk memenuhi kepentingan ekonomi politiknya
atas tanah papua. dua peristiwa itu juga selanjutnya menjadi siprit
bagi perjuangan nasionalisme papua selanjutnya yang kondisinya telah
tumbuh, mengakar, dan berkembang semakin subur nan membesar bagaikan
suburnya hutan papua yang belukar dan menghijau dalam diri semua Anak
Bangsa Papua tanpa perbedaan.
Nasionalisme Papua dalam Pusaran
Imperialisme AS dan Kolonialisme Indonesia
Nasionalisme Bangsa Papua telah
terbangun sejak pertamakali Orang Papua diciptakan dan ditetapkan di
atas Bumi Papua, orang Papua mengalami peruban sosial secara murni
dengan kondisi alam Papua di wilayah ulayatnya masing-masing.
Berdasarkan kenyataan itu sehingga di seluruh Tanah Papua tidak
pernah ditemukan Peperangan Suku yang dipicu karena pendudukan suatu
wilayah yang bukan menjadi haknya. Dalam pandangan adat mereka sangat
tahu dari mana mereka berasal, dan darimana asal usul mereka
kenyataan itu menjadi rahasi umum mereka yang tidak diketahui orang
lain.
Isu terkait masih ada suku bangsa
kanibal yang digembar gemborkan penduduk sekitar pulau papua yang
dimulai sejak abad VI menakut nakuti orang luar untuk masuk kewilayah
papua, kondisi itu hanya semakin mengentalkan Pandangan Nasionalisme
Papua secara Tradisional antara satu dan lainnya disana. Nasionalisme
itu dibuktikan dengan kenyataan hidup orang papua yang saling
mengetahu, melindungi, dan memelihara batas wilayah ulayat
masing-masing masyarakat adat disana sampai sekarang. Dalam struktur
sosialnya orang papua menganut Sistim Patrilineal yang disimbolkan
dalam bentuk Marga/Fam sehingga hubungan sosialnya dapat diketahui
dengan baik dan tersistematis. Walaupun dalam kondisi patrilinear,
namun kedudukan wanita sangat dihargai dan dilindungi. Bentuk
penghargaannya adalah adanya nilai mas kawin / harta nikah yang
ditetapkan atas diri seorang perempuan, serta lebih jauh dan luas
lagi adalah seluruh tanah di papua disimbolkan sebagai Mama / Ibu /
Perempuan.
Pengetahuan akan batas Wilayah Ulayat
serta pandangan tanah yang disimbolkan sebagai “Mama Papua”
diatas yang kemudia menciptakan Hubungan Produksi antara Orang Papua
dan Alam sektar sebagai alat produksinya.
Perjalanan Nasionalisme Papua dari
setiap masyarakat adat diseluruh wilayah ulayatnya hingga mencapai
puncaknya pasca diterapkan Kebijakan Politis Etis Belanda yang
diwujudkan oleh Van Ecound (Gubernur Nederland Nieuw Guinea) dengan
mendirikan sebauh Sekolah Pamong (Besture Scool) dikta nica (Kampung
Harapan, Jayapura) untuk mendidik Putra-Putri Pribumi Papua dengan
tujuan untuk mewujudkan “Program Papuanisasi”. Dalam sekolah
tersebut putra-putri papua diajarkan untuk berorganisasi yang
diwujudkan dengan dibentuknya Organisasi Dewan Suku (DEMSUK) sesuai
dengan asal-usul masing-masing siswa.
Politik etis itu kemudian mencapai
puncak pasca dibukannya ruang politik dalam Sistim Pemerintahan
Belanda yang ditandai dengan pembentukan Nieuw Guinea Read atau Dewan
Nieuw Guinea yang beranggotakan Putra-Putra Papua yang telah didik
pada Sekolah Pamong diatas, melaluinya mereka diberikan ruang untuk
membentuk Komite Nasional Papua yang bekerja untuk membentuk :
Perangkat Negara West Papua (Lambang Negara, Bendera, dan Lagu
Kebangsaan Negara West Papua), serta mereka menentukan Hari
Pendeklarasian Negara West Papua. Akhirnya Negara West Papua
dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 1961, peristiwa tersebut yang
menjadikan momentum lahirnya semangat Nasionalisme Bangsa Papua
secara Politik setelah berefolusi dari Nasionalisme Tradisional
Pribumi Papua sesuai adat diseluruh wilayah Ulayat West Papua.
Amerika Serikat sebagai Pemimpin Negara
Kapitalis Internasional yang saat itu sedang berperang melawan Negara
Komunis yang dikenal dengan istilah Perang Blok Barat dan Blok Timur,
telah meraup sekutunya sebanyak mungkin untuk menumbangkan Komunisme
yang sedang subur diwilayah ASEAN (Jepang) salah satunya adalah
Belanda. Dengan hubungan Ekonomi Politik yang telah terbangun itu
Amerika Serikat seakan mendapatkan ruang untuk mendikte Pemerintah
Belanda agar menyingkir dari wilayah West Papua dan memberikan
wilayah tersebut kepada Pemerintah Indonesia melalui perantaraan
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), motifasi Amerika Serikat yang picu
akan atas temuan canangan emas terbesar didunia yang terdapat
dipegunungan jayawijaya atau yang dijuluki Greesbert oleh Jean
Jacques Dozy dari Belanda pada tahun 1936, dan sudah dipastikan oleh
ahli geologi: Forbes Wilson dari Organisasi Freeport dari Amerika
dengan melakukan ekspedisi kewilayah pedalam Papua pada tahun 1960.
Soekarno sebagai Pemimpin Negara
Kolonialis Indonesia memang sejak awal kemerdekaanya telah menunjukan
sikap tegas sebagai negara kolonialis yang siap mengkoloni wilayah
West Papua sangat nampak dari pandangan-pandangannya dalam Sindang
Umum Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada agenda
penentuan batas Wilayah Negara Indonesia sempat berdebat dengan
wakilnya (Moh.Hatta) dimana Soekarno menegaskan bahwa berdasarkan
Kepentingan Politik dan Ekonomi sehingga wilayah Papua wajib
dimasukan kedalam NKRI sedangkan Hatta menjelaskan bahwa atas dasar
penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi serta perbedaan
Rumpun dimana Bangsa Papua adalah “Rumpun Malanesia” sedangkan
Bangsa Indonesia adalah “Rumpun Malayu” maka “Biarkanlah Bangsa
Papua menentukan nasibnya sendiri sebagai sebuah bangsa dikemudian
hari”. Pernyataan Hatta ditentang oleh Soekarno dengan memberikan
rasionalisasi kepada peserta sidang atas dua latar belakangnya untuk
meraup dukungan dimana soekarno menjelaskan bahwa : kondisi tingginya
kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumi Papua akan dijadikan
bekal hidup bagi generasi bangsa Indonesia yang akan datang,
sedangkan posisinya yang strategis secara geografis dapat dijadikan
sebagai benteng pertahanan untuk menghalau masuknya peselancong asing
dari arah pasifik dan sekaligus menjadi pentu gerbang masuk dan
keluar bagi pihak asing dan Indonesia untuk menciptakan hubungan
ekonomi dengan demikian secara politik Indonesia akan kuat dan tidak
akan terkalahkan. Rasionalisasi itu seakan menghipnotis semua akal
sehat objektif semua peserta sehingga mendapat respon positif dan
menyepakati usulan soekarno dengan cara foting. Dengan penuh
penyesalannya Hatta menyimpulkan bahwa : Negara Indonesia yang baru
saja mau merdeka ini telah menjadi Negara Kolonialis Baru (New
Colonialis) yang akan menjajah wilayah lainnya (West Papua).
Berdasarkan kesimpulan sidang umum
BPUPKI diatas akhirnya menjadi Program politik nasional Negara
Kolonial Indonesia sejak awal kemerdekaannya dan menjadikan wilayah
papua sebagai wilayah target kolonialisme Indonesia yang terus
diperjuangkan dengan sekian cara baik kompromi internasional dalam
Konferensi Meja Bundar (KMB), Konferensi-konferensi lainnya, agresi
militer secara penyusupan, memasukan wilayah papua secara sepihak
kedalam atministrasi wilayah Negara Kolonialis Republik Indonesia,
serta memasang beberapa intelektual Indonesia yang gunakan Belanda
sebagai tenaga dan bahkan tahanan seperti Sugoro, dan Sam Ratulangi
untuk menanamkan bibit nasionalisme dalam diri beberapa intelektual
papua yang kemudian menjadi Orang Papua Indonesia (PAPINDO).
Sikap politik Negara Kolonialis
Indonesia atas wilayah papua juga ditegaskan kembali oleh beberapa
Petinggi Militer Indonesia pada waktu itu dimana “Ali Murto
(Panglima TNI), dan Sarwo Edhi Wibowo (PANGDAM TRIKORA / Bapak Mantu
Susilo Bambang Yudhoyono) dalam pernyataannya bahwa : mimpi orang
papua untuk mendirikan Negara Malanesia Barat atau Negara West Papua
adalah satu hal yang tidak mungkin terjadi sehingga untuk
mewujudkannya itu silahkan mereka mengirim surat ke Tuhan-nya agar
dia bisa memberika tanah kosong dibulan ataukah di sebuah pulau yang
kosong dan agar mereka dapat mendirikan negaranya disana, sebab
Negara Indonesia tidak membutuhkan Orang Papua, kami hanya
membutuhkan kekayaan alamnya saja.
Dengan tujuan politik umum nasional
Indonesia dan dikuatkan lagi oleh tugas pokok TRIKORA menjadi
ideology militer Indonesia disana sehingga telah melakukan Tindakan
militerisme yang tidak berprikemanusiaan dan telah melahirkan
tindakan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, serta Kejahatan Agresi
Militer secara sistematik yang berdampak pada “Tindakan Genosida
atas Bangsa Papua” yang dilindungi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB).
Kondisi nyata diatas telah menjelaskan
bahwa dinamika politik yang terbangun di Tanah Papua adalah
“tingginya kepentingan negara Imperialis Amerika Serikat atas Tanah
Papua yang diwujudkan dengan menjadikan Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) sebagai jembatan emas untuk menundukan Belanda dan menciptakan
Negara Kolonialisme Indonesia sebagai alat yang dipersenjatai,
dilatih, dan dibiayai untuk mewujudkan kepentingannya atas Tanah
Papua disaat Nasionalisme Bagsa Papua yang telah memuncak menjadi
sebuah Negara West Papua yang telah dideklarasikan pada tanggal 1
Desember 1961”.
Berkobarnya Api Nasionalisme Papua
Ditengah Dinamika Politik Penjajah
Dibawah tekanan kolonialisme Indonesia
yang tidak berprikemanusia itu Api Nasionalisme Papua terus berkobar
sehingga melahirkan generasi penerus pejuangan bangsa papua yang
tidak henti-hentinya berjuang untuk menentukan sikapnya sebagai suatu
negara yang telah merdeka. Walaupun telah banyak korban jiwa yang
berjatuhan, ditengah jiwa ke-Papua-an yang sedang dirundung Hegemoni
Politik Indonesia dan arus globalisasi itu Identitas Orang Papua yang
melekat pada “Tubuh setiap anak keriting dan kulit hitam yang
berbeda dengan Kulit Sawo matang dan rambut lurus itu membuat jiwa
patriot generasi muda papua selalu berkobar-kobar bagaikan nyala api
sehingga sedang, sudah, bahkan akan mematikan dinamika politik
penjajah”.
Negara Kolonialisme Indonesia mulai
kedodoran pasca tumbangnya resim Orde Baru tahun 1998 yang ditandai
dengan bangkitnya gerakan reformasi yang menciptakan tatanan
kehidupan berdemokrasi yang baru didalam negara kolonialis indonesia
kian membuka ruang bagi berkobarnya Api Nasionalisme Bangsa Papua.
Pelaksanaan Kongres II (dua) Bangsa Papua yang mengukuhkan Bapak
Theys H Eluai sebagai Bapak Bangsa Papua membuat dunia internasional
semakin membuka mata atas tanah papua yang selama 32 tahun ditutup
oleh Negara Kolonialis Indonesia dibawah resim Orde Baru, dan dibawah
lilitan imprealisme Amerika Serikta.
Situasi itu kemudian memberikan cara
baru untuk Indonesia untuk melancarkan Politik Licik yang halus namun
mematikan yang diragakan melalui Sistim Pemerintahan yang ditandai
dengan diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus
Bagi Propinsi Papua yang didanai oleh negara-negara Kapitalis dibawah
pimpinan Amerika Serikat, serta memberikan Pemerkaran daerah baik
ditingkat Propinsi dan Kabupaten / Kota diseluruh Papua yang tidak
sesuai prosedur hukum dengan tujuan untuk
mengkotak-kotan/memecahbelah Orang Papua menjadi beberapa bagian agar
dapat “Mematikan Api Nasionalisme Bangsa Papua” sembari
menguatkan “Basis Militer Kolonoalisme Indonesia” di Tanah Papua
dan membuka lahan baru bagi kehadiran “Kapitalisme Baru” seperti
Inggris (PT. Britis Petrolen), dan Cina serta pengusaha Indonesia
untuk meraup keuntungan atas kekayaan alam Bumi Papua.
Semangat Nasionalisme Papua yang terus
berkobar-kobar itu, akhirnya membuat Negara Kolonialisme Indonesia
mengalami kesulitan untuk memadamkannya. Kesulitannya itu terjadi
akibat semakin banyaknya Generasi Penerus Bangsa Papua yang terdidik
dengan sikap dan tindakan negara kolonialis Indonesia selama ini,
serta Kesadaran Nasionalisme Papua yang terlahir kembali dalam diri
setiap anak bangsa papua sehingga mereka mengetahui dengan jelas
“Sikap Busuk Impreaslisme Amerika Serikat Dan Sikap
Ketidakberadabannya Negara Kolonialisme Indonesia Yang Tidak
Ber-Pri-Kemanusiaan”. Kondisi itu benar-benar mengahancurkan
pikiran sehat Amerika Serikat dan Negara Kolonialisme Indonesia
sehingga mereka mulai menghalalkan segala cara untuk menghentikan
Gerakan Nasionalisme menuju Papua Merdeka dengan cara
mengkriminalisasikan Pasal Makar (KUHP 106), berusaha menciptakan
istilah-istilah untuk memberikan identitas bagi aktifis dan Pejuang
Papua Merdeka sebagai Separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),
Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan yang sudah/sedang/akan
dikembangkan adalah Teroris dengan tujuan agar mendapatkan dasar
legal bagi tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat terhadap
Bangsa Papua secara terang-terang oleh negara kolonialisme Indonesia
sembari meraup dana segar atas isu perang terhadap Terorisme yang
dikumandangkan oleh negara kapitalis Amerika Serikat, seperti yang
diimplementasikan pada saat pembunuhan Almarhum Musa Alias Mako
Tabuni oleh Tim Detasemen 88 Anti Terorisme alis Detasemen Peneror.
Semuannya itu menunjukan bahwa Negara
Kolonialism Indonesia mulai kehilangan akal untuk mencengkram Bangsa
Papua. Kondisi kehilangan akal itu dibenarkan sendiri oleh beberapa
Tokoh Nasionalis Indonesia, diantaranya Prof. Amin Rais, dan Advokad
Senior Indonesia Adnan Buyung Nasition bahwa :
“Cepat Atau Lambat Negara Papua Akan
Merdeka, Sebab Negara Indonesia Tidak Mampu Mengambil Hati Orang
Papua”, serta berdasarkan pengalaman bahwa “Perjuangan
Orang-Orang Tertindas Selalu Didegar Dan Berkati Oleh Tuhan”.
Dimasa kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono, Api Nasionalisme Papua mulai membakar Negara Kolonialis
Indonesia dengan buku, pidato, dan orasi-orasi yang pedis oleh
beberapa Tokoh Intelektual Papua seperti Bapak Pdt. Benni Giay, Bapak
Pdt. Socrates Sofian Nyoman, serta dipanggun Internasional Tuan Benny
Wenda sudah, sedang, dan akan membakar “Pagar Imprealisme
Internasional” dengan agenda politiknya yang dirangkum dalan
“Gerakan Rout To Freedom For West Papua” yang telah mendapat
dukungan dari beberapa negara di dunia, serta Diplomat-Diplomat
Negara West Papua lainnya di Australia, Vanuatu, Amerika Serikat,
Inggris, Guyana, Senegal, Belanda, dan lain sebagainya. Disamping itu
gerakan para Petinggi Militer Negara West Papua (TPN-OPM) yang selalu
memainkan perannya sehingga mulai melepaskan cengkraman Militerisme
Indonesia, serta tidak lupa bagi seluruh pemuda Mahasiwa/I West Papua
yang selalu megobarkan semangatnya di Jalan Raya Papua dan di Luar
Papua untuk menyerukan “Tri Tuntutan Mahasiswa Papua” (TRITUMAPA)
yaitu :
1. Tutup Seluruh Perusahan Asing dari
Tanah Papua;
2. Tarik Militer Organik dan Non
Organik Dari Seluruh Tanah Papua; dan
3. Segerah selegarakan Hak Penentuan
Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua.
Dalam situasi Nasionalisme Papua yang
kian memabara ditingkat nasional west papua dan ditingkat dunia
internasional itu, hanya tersisah pertanyaan bagi kaum PAPINDO yang
menjadi kaki tangan Negara Kolonialis Indonesia seperti : “Barisan
Merah Putih (BMP), Eksekuti dan Legislatif Propinsi, Kabupaten, Kota
di seluruh Tanah Papua, serta Aktifis Pemekaran Daerah. Pertanyaannya
adalah apakah anda seterusnya akan menjadi warga negara indonesia,
ingat bahwa hari ini anda yang sedang menahan Pemerintah Kolonialis
Indonesia karena kesetianmu atas profesimu.
Perhatiakan sikap dan tindakan yang
sedang ditunjukan oleh Pemimpin Demokrat yang baru dilantik menjadi
Gubernur Papua yang mulai melempar opini tidak objektif untuk
menyelengarakan Dialog Jakarta Papua dengan agenda kesejahteraan yang
akan diusahakan dalam 100 hari kerja Gubernur terpilih, Rencana
Perubahan UU Otsus yang akan berujung pada pelaksanaan UP4B sebagai
agenda politik Partai Demokrat yang telah diusulkan lama, serta
strategi cantiknya untuk “Mencuci Tanggan” serta menutup rapat
“Hubungannya dengan Perusahan Raksasa” sembari meraup hati
Masyarakat Papua yang ditunjukan dengan “Menolak Pangilan PT.
Freeport Indonesia” padahal kita tahu bahwa dana kampanyenya adalah
murni dana yang bersumber dari PT. Freeport Indonesia. Sikap kaum
PAPINDO seperti ini yang sangat disayangkan sebab mereka telah,
sedang, dan akan dibutakan dengan kekuasaan, uang, fasilitas, dan
lain-lain sehingga berpura-pura melupakan jatidirnya sebagai Anak
Bangsa Papua.
Editotor: Admin
Sumber : Tulisan Luar biasa ini kirim
melalui Jaringan sosial Facebook