Indonesia Diminta Selidiki Pembantaian di Biak

Selasa, 17 Desember 2013

Majelis warga (citizen's tribunal) Australia menyerukan agar Indonesia menyelidiki kasus pembantaian lebih dari 150 warga sipil di Biak, Papua, yang terjadi 15 tahun lalu.
 

Majelis warga di Sydney University dipimpin oleh mantan jaksa agung Negara Bagian New South Wales (NSW), Australia John Dowd yang kini menjabat sebagai Presiden Komisi Pakar Hukum Internasional, Senin (16/12/2013) menemukan bahwa sebagian besar orang Papua Barat telah disiksa.

Majelis mendesak Indonesia untuk bertanggung jawab atas kejahatan dan pelanggaran Ham.


Diperkirakan sekitar 150 orang tewas dan jenazah mereka dibuang ke laut menyusul aksi protes warga Papua Barat mengibarkan bendera Bintang kejora di Biak pada Juni, 1998.

Indonesia sendiri tidak pernah mengakui pembantaian itu dan mengklaim hanya satu orang tewas serta menyebut jenazah itu terdampar akibat tsunami.

Purnawirawan Jenderal Wiranto yang saat itu menjabat sebagai Panglima TNI disebut sebut mendukung aksi itu.

Saksi Mata

Yudha Korwa pernah ikut terlibat dalam aksi protes bersama temannya saat peristiwa pembantaian terjadi waktu itu masih berumur 17 tahun.
Australia memberikan suaka politik setelah kabur dari Indonesia dengan menggunakan kapal kayu senam tahun lalu.

“Saya melihat banyak orang dibunuh tentara. Saya lihat anak kecil terbunuh, orang tua, perempuan hamil dan anak kecil,” kenang Korwa.
“Seorang tentara memukul saya dengan senjata dan wajah saya dipenuhi darah dan saya ketakutan sampai mengira bakal mati. (Saya mendengar) orang orang berteriak ‘tolong, tolong,” tambahnya.

Tenggkoraknya retak dan tertikam, Korwa adalah salah seorang yang berhasil lolos. Dia bersembunyi selama dua hari di sebuah gorong-gorong jalan .

Antropolog UNSW Dr.Eben Kirksey adalah seorang sarjana muda Amerika sempat mampir ke Biak.

"Selagi orang bernyanyi, tentara mulai menembak ke kerumunan dan orang mulai berhatuhan yang lain mulai berlarian," ceritanya.

"Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan ditempatkan di kapal-kapal dan mereka bisa melihat orang yang mati dan sekarat saat penyerbuan diangkut ke truk,” lanjut Kirksey.

Bukti Peristiwa

Awal tahun ini (2013) di University of Sydney, majelis warga mengumpulkan bukti atas apa yangterjadi di Biak pada 15 tahun lalu.
Pengakuan pertama dari Tineke Rumakabu mengatakan kalau dia melihat temannya dipenggal. Dia sendiri mengalami siksaan.

Bekas jaksa Nicholas Cowdery menjadi penasehat yang membantu di majelis.

“Dia dibakar, dia dimutilasi, perkosa, diperlakukan secara brutal oleh polisi Indonesia,” katanya menyampaikan penjelasn Rumakabu.

Cowdery menyatakan harus ada penyidik khusus yang melakukan investigasi di Indonesia.

“Ada kesempatan buat Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada rakyat,” tegasnya.

Beberapa bulan kemudian Indonesia mengumumkan aksi militer di Timor Timur.

Tapi sementara perhatian dunia fokus pada Timor Timur, pembantaian di Biak tidak pernah diselidiki.

Majelis kini menyerukan Indonesia untuk menggelar penyelidikan.

“Mutilasi terhadap perempuan adalam kebijakan teror spesifik. Sulit dipercaya manusia bisa berprilaku seperti pasukan tentara itu,” ujar John Dowd.

Dia menginginkan adanya penyelidikan dan hukuman bagi para pelakunya.

“Ada sebuah lembaga independen di Indonesia yang bisa melakukan investigasi,” serunya.

Indonesia menolak berkomentar dalam majelis warga yang juga meminta agar Australia bersikap.

“Pemerintah Australia punya kewajiban kepada orang orang yang tewas dan para ahli waris untuk mengekspose apa yang terjadi dan menghentikan hal itu terjadi lagi,” tutup Dowd.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar