Majelis warga (citizen's tribunal) Australia menyerukan agar Indonesia
menyelidiki kasus pembantaian lebih dari 150 warga sipil di Biak, Papua,
yang terjadi 15 tahun lalu.
Majelis warga di Sydney University dipimpin oleh mantan
jaksa agung Negara Bagian New South Wales (NSW), Australia John Dowd yang kini
menjabat sebagai Presiden Komisi Pakar Hukum Internasional, Senin (16/12/2013)
menemukan bahwa sebagian besar orang Papua Barat telah disiksa.
Majelis mendesak Indonesia untuk bertanggung jawab atas
kejahatan dan pelanggaran Ham.
Diperkirakan sekitar 150 orang tewas dan jenazah mereka
dibuang ke laut menyusul aksi protes warga Papua Barat mengibarkan bendera
Bintang kejora di Biak pada Juni, 1998.
Indonesia sendiri tidak pernah mengakui pembantaian itu dan
mengklaim hanya satu orang tewas serta menyebut jenazah itu terdampar akibat
tsunami.
Purnawirawan Jenderal Wiranto yang saat itu menjabat sebagai
Panglima TNI disebut sebut mendukung aksi itu.
Saksi Mata
Yudha Korwa pernah ikut terlibat dalam aksi protes bersama
temannya saat peristiwa pembantaian terjadi waktu itu masih berumur 17 tahun.
Australia memberikan suaka politik setelah kabur dari
Indonesia dengan menggunakan kapal kayu senam tahun lalu.
“Saya melihat banyak orang dibunuh tentara. Saya lihat anak
kecil terbunuh, orang tua, perempuan hamil dan anak kecil,” kenang Korwa.
“Seorang tentara memukul saya dengan senjata dan wajah saya
dipenuhi darah dan saya ketakutan sampai mengira bakal mati. (Saya mendengar)
orang orang berteriak ‘tolong, tolong,” tambahnya.
Tenggkoraknya retak dan tertikam, Korwa adalah salah seorang
yang berhasil lolos. Dia bersembunyi selama dua hari di sebuah gorong-gorong
jalan .
Antropolog UNSW Dr.Eben Kirksey adalah seorang sarjana muda
Amerika sempat mampir ke Biak.
"Selagi orang bernyanyi, tentara mulai menembak ke
kerumunan dan orang mulai berhatuhan yang lain mulai berlarian,"
ceritanya.
"Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan
ditempatkan di kapal-kapal dan mereka bisa melihat orang yang mati dan sekarat
saat penyerbuan diangkut ke truk,” lanjut Kirksey.
Bukti Peristiwa
Awal tahun ini (2013) di University of Sydney, majelis warga
mengumpulkan bukti atas apa yangterjadi di Biak pada 15 tahun lalu.
Pengakuan pertama dari Tineke Rumakabu mengatakan kalau dia
melihat temannya dipenggal. Dia sendiri mengalami siksaan.
Bekas jaksa Nicholas Cowdery menjadi penasehat yang membantu
di majelis.
“Dia dibakar, dia dimutilasi, perkosa, diperlakukan secara
brutal oleh polisi Indonesia,” katanya menyampaikan penjelasn Rumakabu.
Cowdery menyatakan harus ada penyidik khusus yang melakukan
investigasi di Indonesia.
“Ada kesempatan buat Indonesia untuk memberikan kompensasi
kepada rakyat,” tegasnya.
Beberapa bulan kemudian Indonesia mengumumkan aksi militer
di Timor Timur.
Tapi sementara perhatian dunia fokus pada Timor Timur,
pembantaian di Biak tidak pernah diselidiki.
Majelis kini menyerukan Indonesia untuk menggelar
penyelidikan.
“Mutilasi terhadap perempuan adalam kebijakan teror
spesifik. Sulit dipercaya manusia bisa berprilaku seperti pasukan tentara itu,”
ujar John Dowd.
Dia menginginkan adanya penyelidikan dan hukuman bagi para
pelakunya.
“Ada sebuah lembaga independen di Indonesia yang bisa
melakukan investigasi,” serunya.
Indonesia menolak berkomentar dalam majelis warga yang juga
meminta agar Australia bersikap.
“Pemerintah Australia punya kewajiban kepada orang orang
yang tewas dan para ahli waris untuk mengekspose apa yang terjadi dan
menghentikan hal itu terjadi lagi,” tutup Dowd.
Sunber : www.radioaustralia.net.au