Citra Kepolisian Resort Kota Surakarta Antara Penegak Hukum dan Pelaku Pelanggaran Hukum

Sabtu, 11 Januari 2014

Menelusuri Implementasi 
UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Manyampaiakan Pendapat Dimuka Umum dan Ancaman Setingan Manajemen Konflik Terhadap Mahasiswa Papua 
Di Surakarta 

Pendahuluan

Sejak runtuhnya rejim militeristik Orde Baru, pada tanggal 21 Mei 1998 telah mengantarkan Negara Indonesia memasuki babak baru, babak dimana Hak Asasi Manusia dan Demokrasi setiap warga Negara dihargai, dilindungi, dan dijamin secara konstitusi sehingga mewajibkan semua unsur dalam Negara, baik institusi pemerintahan, LMS, dan seluruh warga Negara untuk mengamalkannya sesuai dengan amanah konstitusi.


Untuk menjamin terlindungi Hak Asasi Manusia dan Demokrasi pada tataran praktis telah diberlakukan beberapa aturan perundang-undangan yang eksistensinya khusus untuk melindungi kedua hal pokok diatas, seperti Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya, Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Sipil dan Politik, dan untuk menjamin perlindungannya maka istitusi legal negara seperi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penegak hukum berkewajiban mengawasi pelaksanaannya secara ekfektif. Dengan semangat untuk menegakkan aturan perundang-undangan diatas Kapolri sejak tahun 2009 telah mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Satandar dan Prinsip HAM dalam Tugas-Tugas Kepolisian.

Sejak diberlakukannya beberapa peraturan hukum diatas sampai sekarang masih saja terlihat perlanggaran-pelanggaran aturan tersebut, kenyataan itu hanya melahirkan pertanyaan sebenarnya apa penyebab utama terjadinya pelanggaran itu padahal berdasarkan usia berlakukanya peraturan perundang-undangan diatas sudah cukup lama. Untuk melihat dan menunjukan bentuk implementasi beberapa aturan diatas, maka layak diketengahkan catatan citra Kepolisian Resort Kota Surakarta dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum oleh mahasiswa Papua di Surakarta pada tanggal 10 November 2013 dan 19 Desember 2013 lalu.

Wajah Kebebasan Berekspresi Mahasiswa Papua Di Surakarta
Fakta hukum yang terjadi dalam perlindungan kemerdekaan menyampaiakan pendapat di muka umum terhadap Mahasiswa Papua pada tanggal 10 November 2013 di Surakarta, berjalan tidak sesuai dengan harapan demokrasi di Negara Indonesia. Hal itu diakibatkan oleh ulah beberapa oknum polisi dari Kepolisian Resort Kota Surakarta yang melakukan tindakan tarik menarik perangkat aksi dengan masa aksi Mahasiswa Papua sehingga sempat memancing situasi yang cukup tegang dan berdampak pada kemacetan aktifitas lalulintas umum disekitar tempat kejadian itu. Berdasarkan informasi dari Humas Aksi Mahasiswa Papua, sebelum aksi dilaksanakan mereka telah telah melayangkan “Surat Pemberitahuan” kepada pihak Kepolisian setempat dan telah menerima “Surat Tanda Terima Pemberitahuan” dari Kepolisian tempat mereka masukan surat tersebut, selain itu penanggungjawab aksi juga telah menyiapkan beberapa peserta aksi untuk menjadi kemanan agar aksi masanya berjalan dengan lancar tanpa menggangu atau menghalang aktifitas umum lainnya, namun anehnya pada saat peristiwa tarik menarik antara Polisi dan Masa Aksi itu terjadi Polisi terlihat memberikan informasi yang terkesan profokatif dan menegesankan bahwasannya aksi tersebut dilaksanakan “Tanpa Surat Pemberitahuan” kepada masyarakat umum dengan mengunakan microfon yang tersedia di Mobil Lantas Polresta Surakarta yang mengawal proses aksi tersebut.

Lebih lanjut melalui sikap anggota Kepolisian Resort Kota Surakarta, terlihat jelas adanya skenario penghambatan kebebasan menyampaiakan pendapat dimuka umum yang ditunjukan dengan diletakannya “Mobil Banser” pada ditempat yang dijadikan titik akhir aksi sehingga proses menyampaikan pendapat di muka umum Mahasiswa Papua berjalan tidak sesuai dengan rute yang direncanakan sebelumnya seperti yang termuat dalam surat pemberitahuan diatas. (baca :http://politik.kompasiana.com/2013/11/10/sita-simbol-separatisme-cara-polresta-surakarta-hormati-hari-pahlawan--608145.html).

Aksi penghambatan ruang demokrasi terhadap Mahasiswa Papua di Surakarta kembali terjadi lagi pada tanggal 19 Desemeber 2013, padahal untuk melaksanakan aksi ini telah dilayangkan Surat Pemeberitahuan kepada Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagaimana arahan UU dan juga telah mencantumkan rute aksi. Penghambatan ruang demokrasi kali ini sedikit berbeda dengan sebelumnya, karena penghalangan itu dilakukan oleh segelintir masyarakat Surakarta yang mengatasnamakan Organisasi Masyarakat Gempar, dengan tuntutan aksi yang tidak jelas arah dan tujuannya.

Jika dianalisis secara yuridis, sikap Kepolisian Resort Kota Surakarta yang seakan-akan tidak mengetahui aksi Ormas Gempar sehingga berujung pada pertemuan langsung dengan aksi Mahasiswa Papua ditempat yang sama telah membuktikan bahwa aksi Ormas Gempar tidak melayangkan Surat Pemberitahuan, dan dalam melakukan aksinya mereka tidak memiliki rute aksi yang jelas sehingga berujung pada pertemuan langsung dengan aksi Mahasiswa Papua. Sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 sebenarnya Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagai Penegak Hukum wajib membubarkan Aksi Ormas Gempar demi melindungi ruang demokrasi Mahasiswa Papua yang telah mengikuti ketentuan undang-undang yang ada.

Berdasarkan pemberitaan yang dinaikan oleh sebuah media, terlihat jelas adanya skenario yang dimainkan oleh Kepolisian Resort Kota Surakarta untuk mengalihkan Isu Publik yang dinaikan oleh Mahasiswa Papua dengan cara membiarkan Aksi Ormas Gempar untuk berpapasan langsung dengan aksi Mahasiswa Papua agar Kepolisian Resort Kota Surakarta mengambil Posisi Netral sebagai pengaman dalam situasi tegag yang terjadi setelah pertemuan itu. Berdasarkan kesimpulan media yang meliput kejadian itu telah membuktikan sekanario manajemen konflik sosial, dimana polisi menempatkan diri pada posisi aman dengan bertindak sebagai pengaman dan berhasil mengamankan situasi ketegangan antara Ormas Gempar dan Mahasiswa Papua sesuai dengan skenario yang diinginkan Kepolisian Resort Kota Surakarta. (baca : http: // manteb.com / berita / 19105 / Demo. Aliansi.Mahasiswa.Papua.Dapat.Tandingan)

Bila dianalisis dengan mengunakan dua fakta hukum penghamabatan ruang Demokrasi bagi Mahasiswa Papua diatas, dapat disimpulkan bahwa aktor utama penghambatannya adalah Kepolisian Resort Kota Surakarta dan Organisasi Masyarakat Gempar. Namun jika dikaji lebih mendalam berdasarkan aturan hukum yang ada dan dengan melihat teknis pelaksanaan kemerdekaan pendapat dimuka umum maka dapat disimpulkan bahwa aktor sesungguhnya adalah Kepolisian Resort Kota Surakarta sebab berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 semua aktifitas kebebasan ekspresi yang dilakukan sebelumnya wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Kepada Kepolisian Setempat (bukan Surat Ijin), dengan demikian maka semua aksi yang akan dilakukan secara pasti diketahui oleh kepolisian setempat.

Pada kenyataannya dimana Kepolisian Resort Kota Surakarta yang terkesan tidak mengetahui aksi Ormas Gempar telah menunjukan dengan jelas-jelas bahwa aksi yang dilakukan oleh Ormas Gempar tanpa memberikan Surat Pemberitahuan ke kantor Kepolisian Resort Kota Surakarta. Jika pada kenyataannya Ormas Gempar telah memberikan Surat Pemberitahuan dengan menentukan rute aksi yang akan berbenturan dengan aksi Mahasiswa Papua, pertanyaannya adalah mengapa Kepolisian Resort Kota Surakarta tidak mengklarifikasi rute aksi Ormas Gempar berdasarkan Surat Pemberitahuan yang telah dilayangkan oleh pengurus Aksi Mahasiswa Papua. Selain itu pada kenyataannya aksi gempar berbenturan langsung dengan aksi Mahasiswa Papua baik secara rute dan juga secara isu, namun mengapa polisi justru membiarkan aksi ormas tetap berlangsung.

Berdasarkan kondisi itu maka seharusnya sikap Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagai penegak hukum yang mengawal terimplementasinya UU Kebebasan menyampaiakan pendapat dimuka umum seharusnya membatalkan aksi Ormas Gempar karena akan berdampak pada konflik horisontal, namun pada kenyataannya dibiarkan maka secara jelas-jelas telah membuktikan bahwasannya Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagai aktor penghambat ruang demokrasi Mahasiswa Papua di Kota Surakarta.

Penghambatan Ruang Demokrasi Tanpa Dasar Hukum
Berdasarkan keterangan media, Aksi Mahasiswa Papua dibatasi oleh Polisi dan Warga Surakarta karena dalam aksinya Mahasiswa Papua sering menjadikan lambang Bintang Kejora sebagai perangkat aksi, dan dalam tuntutannya mereka menuntut Kemerdekaan West Papua.

Menurut aturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia, tidak ada satupun dasar hukum yang secara detail menyebutkan pelarangan pembentangan “Gambar Bintang Kejora” dimanapun dan dalam situasi apapun, selain itu dalam Aturan Hukum Negara Indonesia juga tidak perna mengatur secara detai tetang larangan Kemerdekaan Negara West Papua. Memang dalam KUHP ada Pasal tertentu, khususnya tentang Tindak Pidana Makar (aanslag) yang melarang, namun wajib dipahami istilah makar sendiri memiliki pengertian lain dan tidak pernah secara detail meneyebutkan nama west papua atapun wilayah papua. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan istilah makar itu sendiri, maker adalah adalah suatu tindakan penyerangan secara sepihak terhadap penguasa umum dengan maksud supaya sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah dari negara lain. Secara normatif Perbuatan makar tercantum dalam Pasal 104, 106, 107, 108 dan 110 sebagai berikut :
• Pasal 104,
Perbuatan dapat dikatakan makar harus mengandung maksud/niat untuk membunuh presiden atau wakil presiden atau merampas kemerdekaan presiden atau wakil presiden atau mengakibatkan presiden atau wakil presiden tidak cakap menjalankan tugasnya.
• Pasal 106,
suatu perbuatan dapat dikategorikan makar harus mengandung maksud/niat supaya wilayah Republik Indonesia sebagian atau seluruhnya dikuasai musuh atau pihak asing atau memisahkan sebagian wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah lainnya secara ilegal (separatis).
• Pasal 107,
suatu perbuatan dapat dikategorikan makar harus mengandung maksud/niat untuk menggulingkan pemerintahan dengan cara yang tidak sah.
• Pasal 108,
perbuatan dapat dikategorikan makar harus mengandung maksud/niat dari seseorang atau sekelompok orang mengadakan perlawanan bersenjata terhadap pemerintahan yang sah (pemberontakan bersenjata).
• Pasal 110,
perbuatan dapat dikategorikan makar harus mengandung maksud / niat adanya pemufakatan jahat dari sekelompok orang yang didahului oleh adanya konspirasi politik, agitasi dan provokasi.
Berdasarkan uraian panjang tentang makar dalam pasal-pasal KUHP diatas pada unsur-unsurnya tidak pernah menyebutkan secara spesifik kepada Negara West Papua dan juga secara jelas tentang Wilayah Papua, serta terlebih khususnya tentang pelarangan Bintang Kejora dalam bentuk bendera maupun gambar.
Secara objektif perangkat aksi yang digunakan oleh Mahasiswa Papua adalah Gambaran Bintang Kejora yang dicetak dalam kertas sehingga Berbentuk Poster yang dalam ketentuan hukum tidak ada pasal yang membatasi ataupun melarangnya, namun pada kenyataannya Poster dimaksud yang menjadi landasan pelarangan yang berujung pada pembubaran aktifitas Kemerdekaan Penyampaian Di Muka Umum. Dengan demikian bahwa jelas-jelas Kepolisi Resort Kota Surakarta telah menyalahi aturan hukum yang ada, dan lebih jauh lagi Polisi telah melanggar asas legalitas serta terkesana membentuk ketentuan hukum secara sepihak untuk menghambat terimplementasinya Hak Konstitusi Mahasiswa Papua.
Terkait Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 Tentang Lambang Daerah ditujukan kepada Pemerintah Daerah Papua, bukan kepada Mahasiswa Papua ataupun Masyarakat Adat Papua, sehingga sangat tidak logis dan sangat mengada-ngada jika Kepolisian ataupun masyarakat atau bahkan pejabat Negara seperti Presiden atau bawahannya mengartikan Bintang Kejora dalam bentuk poster sebagai lambang yang dilarang. Jika kenyataan itu masih terus terjadi maka, pertanyaannya adalah apa dasar hukumnya ?, artinya sebenarnya selama ini tindakan yang dilakukan oleh Polisi, Pemerintah, dan bahkan segelintir masyarakat Indonesia dimanapun merupakan tindakan subjektif yang tidak berdasarkan hukum alias illegal.
Terkait tuntutan Kemerdekaan West Papua yang diteriakkan oleh Mahasiswa Papua dimanapun, terkhususnya di Surakarta secara yuridis dijamin dalam alinia Pertama UUD 1945 yang menjelaskan :
“bahwasannya kemerdekaan adalah hak segalah bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”,
selain itu secara umum dijamin juga dalam BAB Xa Pasal 28, 28a – 28 j UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia khususnya “Hak Berkeyakinan Politik”, dengan demikian maka Hak Asasi Manusia merupakan Hak Konstitusi setiap warga Negara Indonesia termasuk Mahasiswa Papua, selain itu secara khusus telah diatur dan dijamin dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Ekonomi Sosial dan Budaya dan UU Nomor 12 Tentang Sipil dan Politik pada Pasal 1 Tentang Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Setiap Bangsa, khususnya Bangsa Papua.
Berdasarkan kenyataan itu maka secara jelas telah terbukti bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta dengan mengunakan landasan secara sepihak (secara subjektif) dan bertentangan dengan Hukum yang berlaku di Indonesia telah sukses menghambat Hak Konstitusi Mahasiswa Papua di Surakarta. Sikap Kepolisian Resort Kota Surakarta itu dengan jelas-jelas telah melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.
Bila kita diamati secara objektif dari landasan sosiologis dan historis yang melatarbelakangi aksi-aksi Mahasiswa Papua yaitu terletak pada Sejarah Politik Bangsa Papua yang benar-benar terjadi disana, seperti :
• Perumusan dan penetapan simbol dan Lambang Negara West Papua oleh Para Politikus Bangsa Papua dalam Nieuw Guinea Raad (Parlemen Pemerintah Belanda Di Papaua) melalui Komite Nasional Papua (KNP) pada akhir tahun 1950-an,
• Peristiwa Deklarasi Kemerdekaan West Papua 1 Desember 1961 di Holandia (Jayapura),
• Peluncuran TRIKORA pada tanggal 19 Desember 1961 oleh Soekarno untuk membubarkan Negara West Papua yang telah dideklarasikan, Agresi Militer Indonesia atas Bangsa Papua dibawah penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) atas seluruh wilayah Papua yang telah menelan sekian ribu korban jiwa dan harta benda Bangsa Papua,
• Peristiwa Peralihan Kekuasaan dari PBB kepada Indonesia secara sementara pada tahun 1963 yang meneguhkan Agresi Militer Indonesia secara masih dibawah “Sistim Binominal” dimana panglima daerah militer (Pangdam) bertindak sebagai kepala pemerintah sekaligus sebagai kepala perang dibawah status DOM yang sukses membubarkan Perangkat Negara West Papua dan mengejar Tokoh-Tokoh Politik West Papua sehingga banyak yang meminta suaka keberbagai negara (Belanda, Australia, Vanuatu, Swiss, dll),
• Peritiwa perampokan Kekayaan Alam Bangsa Papua oleh Indonesia dan Amerika Serikat melalui Penandatannganan KK I PT. Freeport Mc Morand And Gold Copeer In pada tanggal 7 April 1967 saat wilayah Papua masih berstatus sengketa Internasional,
• Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 melalui Dewan Musyawara Penentuan Pendapat Rakyat (DEMUS PEPERA) yang beranggotakan Pegawai Negeri Indonesia dan Legislatif yang bertugas di Papua sebagai pemilih dan dilaksanakan dibawah muncung laras yang bertentanggan dengan New Yoork Agreemend (Hukum Internasional Tentang Penyelesaian Masalah Politik West Papua), dan lain sebagainya

Berdasarkan pada kenyataan landasan hukum yang berlaku di Indonesia, dan melihat landasan Sejarah Nasional West Papua serta menyadari kenyataan bahwasannya Mahasiswa Papua sebagai Generasi Penerus Bangsa Papua yang berbeda dengan Bangsa Melayu Indonesia yang didalam sejarahnya tidak pernah bersumpah dalam Sumpah Pemuda 1928 sebagai Bangsa Indonesia, memiliki sikap tegas untuk menuntut kepada Negara Indonesia untuk mewujudkan dan/atau mengimplementasikan amanah UUD 1945 dan UU lainnya agar dapat dilaksankannya Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dan Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa Papua guna mengakhiri penindasan nyata terhadap bangsa Papua yang sedang dilancarkan oleh Negara Indonesia melalui alat reaksionernya yaitu TNI dan Polri.

Masyarakat Sipil Indonesia Dan Ancaman Manajemen Konflik (TNI-POLRI)
Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia adalah tanggungjawab seluruh Masyarakat Indonesia, perlindungan atas Hak Asasi Manusia Bangsa Papua adalah tanggungjawab seluruh Masyarakat Sipil Indonesia. Dalam rumusan pelanggaran Hak Asasi Manusia akan dikatan terjadi pelanggaran HAM Berat jika Negara melalui perangkatnya yaitu TNI atau Polisi melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan penganiayaan kepada masyarakat sipil.

Berdasarkan rumusan itu TNI dan POLRI akan berusaha mencari cara untuk melindungi dirinya dari tindakan langsung pelanggaran Hak Asasi Manusia, berdasarkan situasi itulah mereka akan membentuk kelompok atau apapun bentuknya tetapi masanya bersumber dari masyarakat sipil dan selanjutnya diperintahkan untuk melaksanakan tugas yang diinginkan oleh mereka, selanjutnya dalam prakteknya kelompok tersebut sangat kebal hukum dan anti hukum. Selain membentuk kelompok, TNI dan POLRI terkadang menunggu respon dari sikap atau tindakan yang lahir secara spontan dari dalam masyarakat seperti konflik yang dilatarbelakangi oleh persoalan sosial, agama, ras, dan lahan yang selanjutnya dimanfaati demi kepentingan mendapatkan dana keamanan, kenaikan pangkat, dan juga pemulusan bisnis keluarga.
Situasi itulah yang dinamakan penerapan manajemen konflik dalam masyarakat, terkait penghargaan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia khususnya perjuangan Bangsa Papua untuk menentukan Nasib Sebagai Suatu Bangsa Yang Merdeka melalui aksi Mahasiswa Papua wajib dilingungi oleh seluruh Warga Negara Indonesia terkhususnya Warga Surakarta sebagai bentuk penghormatan kepada UUD 1945 dan juga sebagai pemenuhan UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Secara khusus disampaikan kepada Warga Surakarta, lihatlah Nasib Warga Kentingan Baru, Jebres, Surakarta yang selama ini dikriminalisasi oleh Kepolisian Resort Kota Surakarta yang telah dibayar oleh Pengusaha Sukses untuk mengusur Warga Surakarta yang menghuni Tanah Negar. Wajib diketahui bahwasannya kasus yang menimpa Warga Kentingan Baru, pada waktunya dapat menimpa anggota ormas gempar sebab alat keamanan Negara (POLISI dan TNI) lebih loyal kepada orang yang berduit, hal ini juga akan semakin kuat didukung oleh Pemerintah Surakarta yang juga Pro Pengusaha seperti yang sedang terjadi di Pasar Tradisional Klewer yang mulai ditutup dan digantikan dengan moll berbintang, pada prinsipnya dalam moll tersebut tidak akan ada pedangan kecil dari Masyarakat Sipil Surakarta yang mampu berdagang disana karena ongkos sewa sebuah bilik dagang sangat tinggi sedangkan pemasukannya rendah.

Untuk diketahui bahwa hari ini Negara Indonesia tidak akan menghargai apapun yang akan dilakukan masyarakat sipil, sebagai bukti Para Veteran Pejuang Kemerdekaan Indonesia ataupun pembantai bangsa papua pada tahun 1960-an dalam hidup hingga mati semua dialami diemperan jalan tanpa rumah yang layak sebagai imbalan atas perjuangannya, apalagi nasib anda yang hari ini yang berhadapan langsung dengan pengusuran dengan adanya Program Pembangunan Pemerintah Surakarta. Secara nyata hari ini negara Indonesia telah menjadi hamba kapitalis atau hamba pemilik modal, berdasarkan pada Kasus Kentingan Baru telah menunjukan bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta juga telah menjadi hamba pemilik modal, maka dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia telah dikuasai oleh Pemilik Modal atau Kapitalis.
Ditengah situasi tersebut hanya ada pernyataan tegas kepada Masyarakat Sipil Surakarta bahwasannya Kepolisian Resort Kota Surakarta telah sukses mempraktekan manajemen konflik dalam rangka membendung Ruang Demokrasi Mahasiswa Papua di Surakarta.

Selain itu perlu diketahui bahwa dalam UU Nomor 7 Tahun 2012 Tentang pengendalian konflik sosial kini sudah ada dasar hokum yang melegalkan pelibatan TNI dalam penangulangan konflik social. Berdasarkan kenyataan itu maka manajemen konflik yang diragakan Kapolrestas Surakarta melalui pembentukan ormas gempar yang telah berbenturan langsung dengan mahasiswa papua merupakan bukti bahwasannya, Kepolisian Resort Kota Surakarta dan TNI sedang menciptakan situasi ini untuk benar-benar ingin mengaktifkan UU tentang pengendalian konflik sosial di Surakarta dengan memanfaatkan Ormas Gempar dan Mahasiswa Papua, sembari ingin mencuci tanggan akan sikap tidak professional beberapa anggota kepolisian resort kota Surakarta pada aksi tanggal 11 November 2013 lalu.

Pelanggaran Hukum Oleh Kepolisian Resort Kota Surakarta, Dimana Kompolnas ?
Berdasarkan hokum, dua peristiwa diatas telah membuktikan bahwasannya Kepolisian Resort Kota Surakarta telah melanggar Hak Konstitusi Mahasiswa Papua untuk menyampaikan pendapat dimuka umum. Pelanggaran Hak Konstitusi Mahasiswa Papua terlihat jelas dimana Kepolisian Resort Kota Surakarta yang berhadapan langsung dengan masa aksi Mahasiswa Papua dan terjadi tarik menarik perlengkapan aksi, sudah membuktikan adanya pengahambatan ruang demokrasi Mahasiswa Papua secara langsung oleh Polisi yang adalah Penegak Hukum atau secara khusus penegak UU Nomor 9 Tahun 1998.

Dalam kasus benturan Mahasiswa Papua dengan Organisasi Masyarakat Gempar benar-benar membuktikan bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta melakukan tindakan pembiaran terhadap kegiatan aksi tandingan yang dilakukan oleh Ormas Gempar. Jika dianalisis dengan melihat rute dan isu aksi yang dinaikan dan dikaitkan dengan Surat Pemberitahuan yang disampaikan Mahasiswa Papua kepada Kepolisian Resort Kota Surakarta dengan jelas menunjukan bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta telah mengetahui aksi Mahasiswa Papua dan agenda yang akan dinaikan, sehingga untuk mencegahnya polisi dengan segerah melakukan suatu tindakan licik dengan tujuan melecehan Hak Konstitusi Mahasiswa Papua dengan cara membentuk ormas yang dinamakan Gempar untuk menandingi isu Mahasiswa Papua dan selanjutnya menaikan situasi ketidak nyamanan untuk selanjutnya membuka peluang naiknya pamor Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagai Istitusi yang mampu mengamankan kondisi ketegangan itu.

Berdasarkan kenyataan itu telah menunjukan bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta sebagai Aktor Intelektual penghambatan atau Pelanggar Hak Konstitusi Mahasiswa Papua dan lebih jauh lagi Kepolisian Resort Surakarta telah menunjukan sikapnya untuk menciptakan Konflik Horisontal dengan memanfaatkan Masyarakat Sipil.

Sikap Kepolisian Resort Kota Surakarta jelas-jelas telah melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 dan terlebih khususnya telah melanggar Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Prinsip Hak Asasi Manusi dalam Tugas-Tugas Kepolisian. Berdasarkan setinggannya yang berujung pada Konflik Horisontal telah menunjukan bahwa Kepolisian Resort Kota Surakarta telah melanggar Asas Pelindung Masyarakat dan Asas Pengayom Masyarakat sebagaimana telah dijamin dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Dengan demikian maka wajib adanya tindakan tegas oleh Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS) untuk menghindari terjadinya tindakan-tindakan serupa dikemudian hari.

Penutup
Indonesia sebagai negara hukum, sudah selayaknya mempraktekkan semua tindakan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku agar terwujud asas legalitas dan terlebih khususnya perlakuan yang sama didepan hukum agar tidak terlihat diskriminasi dalam mengimplementasi negara hukum tersebut.
Secara jelas dalam konstitusi telah menyebutkan penghargaan dan perlindungan terhadap keyakinan politik, Mahasiswa Papua dalam berkeyakinan Politik untuk menyelesaikan persoalan Nasib bangsanya dengan cara Pelaksanaan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Yang Demokratis yang dijamin dalam semangat Hak Asasi Manusia dan Demokrasi secara internasional dan bahkan oleh Negara Indonesia berdasarkan Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik yang diundangkan kedalam UU Nomor 12 Tahun 2005 sepatutnya dipandang sebagai suatu usulan yang bijaksana bukannya dipandang sebelah mata dan diletakan pada posisi yang rentan dikriminaslisasikan dengan cara penghambatan ruang demokrasi.
Sikap Kepolisian Resort Kota Surakakarta dalam menghambat aksi Mahasiswa Papua pada Hari Peringatan 12 Tahun Pembunuhan Theis H Eluwai pada tanggal 11 November 2013 dan mengerahkan masa yang mengatasnakan Ormas Gempar untuk menghambat ruang demokrasi Mahasiswa Papua pada peringatan 52 Tahun Deklarasi TRIKORA pada tanggal 19 Desember 2013 menunjukan sikap Negara Indonesia yang tidak menghargai Hak Asasi Manusia dan lebih jelasnya sikap Negara Indonesia yang anti Demokrasi dalam menyelesaiakan Persoalan Politik Papua.

Dalam konteks pengarahan masa diatas, Negara Indonesia kembali menunjukan sikap ketidakdewasaan dalam berpolitik dan mengajarkan pendidikan politik yang keliru kepada masyarakat sipilnya sendiri, dengan cara mengarahkan masyarakat sipil untuk melakukan pelanggaran HAM terhadap sesama manusia yang telah dijamin dalam Konstitusi Negara Indonesia, lebih jauh lagi mengarahkan masyarakat untuk melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Pendapat DI Muka Umum. Jika demikian faktanya maka siapa yang akan menegakkan Hukum dalam Negara Hukum Indonesia, ataukah mungkin Negara Indonesia telah berubah menjadi negara Kekuasaan (Mahcstaat).

Demi menegakkan ketentuan hukum yang berlaku di Negara Indonesia maka negara melalui Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Propam Kapolda Jawa Tenggah segerah mengadili Kepala Kepolisian Resort Kota Surakarta atas terhambatnya Hak Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Mahasiswa Papua di Surakarta sebagaimana dijaminan dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 dan Pelanggaran Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Tugas-Tugas Kepolisian dalam semangat peghormatan terhadap HAM dan dalam rangkan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia.

Selanjutnya untuk mengakhiri pertentangan politik berkepanjangan antara Indonesia dan West Papua yang berujung pada peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia secara sistematik hingga berujung pada Genosida yang hanya akan mengkritik nurani kemanusiaan kita dimasa yang akan datang dan hanya menambah sederetam catatan dalam Buku Merah pelanggaran HAM Berat Negara Indonesia terhadap Bangsa Papua yang akan menurunkan Martabat Negara Indonesia di mata Internasional serta terjadinya konflik horisontal seperti yang mulai dipanaskan oleh Kepolisian Resort Kota Surakarta, maka perlu dilaksanakannya Hak Menentukan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua di Bawah Pengawasan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai Solusi Demokratis Pemecahan Masalah Politik Bangsa Papua.

Rekomendasi Untuk Mahasiswa Papua Di Surakarta
Dua kenyataan pembungkaman ruang demokrasi Mahasiswa Papua di Surakarta diatas, telah membuktikan bahwasannya kawan-kawan telah mampu menunjukan bagaimana cara berdemokrasi yang baik dan dijamin dalam aturan hukum Negara Indonesia. Sikap masyarakat Surakarta yang mudah diprofokasi menunjukan keluguan masyarakat setempat, situasi tersebut kemungkinan juga dirasakan oleh beberapa organisasi mahasiswa lainnya yang berada di Surakarta, untuk itu maka sudah saatnya kita Mahasiswa Papua yang telah menjadi kampiun demokrasi di Surakarta melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengagas solidaritas dengan organisasi mahasiswa lainnya dan menyatukan pandangan untuk mengawal terciptanya ruang demokrasi yang sejati di Surakarta;
2. Memberikan pengertian kepada warga Surakarta tentang kondisis sosial papua, kondisi pelanggaran HAM, sejarah konspirasi Amerika Serikat dan Indonesia untuk mengkolonisasi dan merampok kekayaan alam di Papua, dan menyampaikan latar belakang tuntutan Papua Merdeka dan tentunya merasionalisasikan alternatif Hak Menentukan Nasib Sebagai Solusi Demokratis melalui aksi demostrasi, aksi selebaran, diskusi, dan seminar;
3. Menegaskan kepada masyarakat Surakarta bahwasannya lawan kita sama yaitu Kapitalisme dan Imprealisme yang sedang hidup subur dalam tubuh Negara Indonesia hanya saja tujuan akhir kami berbeda anda mau merenofasi rumah sedangkan kami ingin membuat rumah baru. Untuk mengambil alih perhatian masyarakat Surakarta maka kita juga wajib menyampaiakan kepedulian kami atas nasib warga Surakarta yang selalui dikorbankan oleh Negara dan pemerintah dalam orasi-orasi kami atau dalam selebaran kami, dan lain sebagainya agar dapat mendapat simpati dan dukungan warga Surakarta;
4. Untuk membuka mata ormas-ormas yang tidak berlatar belakang jelas di Surakarta, diharapkan agar AMP KK Solo turut aktif dalam mengadvokasi kasus-kasus yang menimpa Rakyat Miskin Surakarta yang diakibatkan oleh kepentingan Pemerintah Surakarta, Kepolisian Surakarta, dan Pengusaha sebagai wujud perlawanan kita terhadap Sistim Imprealisme dan Kolonialisme Indonesia, sebagai contoh Kasus Kentingan Baru; (Pertentangan Antar Pengusaha, BPN, dan Kepolisian Resort Kota Surakarta melawan Warga Kentingan Baru).

Semoga Bermanfaat, Salam Juang
Penulis : Pedalaman Gunung
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar