Oleh: DR. Neles Kebadabi Tebay. Pr
Ketika membuka Forum Demokrasi Bali
(FDB), 7 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan tentang
pentingya partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan yang akan berdampak
langsung pada rakyat.
Menurut Presiden, merupakan satu
dari empat kunci sukses untuk memperkuat demokrasi. Presiden mengakui juga
pentingnya partisi pasirakyat Papua dalam pengambilan kebijakan, termasuk dalam
mengatasi konflik di Papua (tempo.co, 7 November 2013).
Pernyataan presiden ini mengandung
dua hal mendasar.
Pertama, Presiden Yudhoyono secara
jelas menegaskan pentingnya partisipasi rakyat Papua dalam menyelesaikan
konflik Papua.
Keterlibatan rakyat Papua dalam
mencari solusi demokratis merupakan faktor yang sangat fundamental danm
emengaruhi proses penyelesaian konflik Papua. Itu berarti rakyat Papua tidak
boleh diabaikan dalam mencari solusi demokratis atas konflik ini.
Guna memahami relevansi dari
pernyataan Presiden ini, kita perlu memahami secara benar kodrat dari konflik
Papua. Konflik Papua tidak merupakan konflik horizontal antara warga sipil. Ini
bukan konflik antar suku-suku asli Papua. Bukan pula konflik antar pemeluk
agama yang berbeda.
Konflik Papua tidak terjadi antara
orang asli Papua dan komunitas-komunitas non-Papua yang berasal dari berbagai
suku di luar Papua, seperti dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, dll.
Konflik Papua bukanlah pertikaian
internal antara orang Papua, terutama antara mereka yang mendukung pemerintah
dan yang mendukung OPM.
Konflik Papua,dari kodratnya, adalah
konflik vertical yakni konflik antara Pemerintah Indonesia dan orang Papua yang
bergabung dalam OPM. Konflik ini sudah berlangsung selama 50 tahun karena
dimulai sejak Indonesia mulai berkuasa atas Papua tanggal 1 Mei 1963.
Penegasan presiden di atas perlu
digaris bawahi karena partisipasi rakyat Papua inilah yang diabaikan secara
sengaja selama lima dekade.
Pada zaman orde baru (orba),
pemerintah mengedepankan pendekatan keamanan. Papua ditetapkan sebagai Daerah
Operasi Militer (DOM). Militer menentukan kebijakan untuk Papua. Pemerintah
berusaha mengatasi konflik Papua dengan menggunakan senjata.
Memasuk era reformasi, pemerintah
menerapkan pendekatan kesejahteraan untuk mengatasi konflik Papua. Pendekatan
ini diperjelas dalam kebijakan Otonomi khusus (Otsus) yang dilegalkan melalui
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Tetapi, implementasi UU Otsus selama
12 tahun belum memperlihatkan keberhasilannya –untuk tidak mengatakan gagal.
Sekalipun trilyunan rupiah dikucurkan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat,
tingkat kesejahteraan rakyat Papua belum terdongkrak. Orang Papua masih hidup
miskin di atas kekayaan alamnya.
Sekalipun diamanatkan oleh UU Otsus,
pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) belum didirikan untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM di masalalu.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) belum dibentuk untuk menyelesaikan masalah sejarah tentang bagaimana
Papua dimasukkan kedalam Republik Indonesia.
Sementara itu, rakyat Papua masih
merasa tidak memiliki terhadap kebijakan Otsus. Mereka bahkan pernah menolak
kebijakan ini secara simbolik.
Penolakan Otsus ini dilakukan
pertama-tama bukan karena tidak menyetujui isi UU Otsus Papua, melainkan karena
mereka tidak diajak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan
tersebut.
Maka solusi otsus bukanlah hasil
dialog atau negosisasi antara pemerintah dan rakyat Papua. Solusi ini
ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah.
Setelah UU Otsus diberlakukan,
pemerintah tanpa berkonsultasi dengan rakyat Papua mengeluarkan kebijakan
pemekaran kabupaten baru (UU Nomor 26 Tahun 2002)dan provinsi baru (INPRES
Nomor 1 Tahun 2003), percepatan pembangunan (INPRES Nomor 5 Tahun 2007 dan
Perpres Nomor 65 Tahun 2011 ),serta pembentukan Unit Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Perpres Nomor 66 Tahun 2011).
Semua kebijakan yang disebutkan di
atas belum berhasil menyelesaikan konflik Papua karena, menurut saya, satu
alasan saja yakni rakyat Papua tidak dilibatkan dalam proses pembahasan
kebijakan-kebijakan tersebut.
Oleh sebab itu, apabila pemerintah
sungguh berkomitment untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai dan
bermartabat, maka partisipasi rakyat Papua, terutama OPM, adalah suatu
keharusan.
Rakyat Papua mesti dilibatkan,
seperti yang ditegaskan oleh Presiden Yudhoyono, dalam proses pembuatan
kebijakan untuk Papua, termasuk dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pemerintahan Papua.
Rakyat Papua sebagai partner
Kedua, penegasan presiden
mengisyaratkan pandangan yang benartentang orang Papua. Selama masa orde baru,
orang Papua dipandang sebagai separatis yang merongrong keutuhan teritorial
Indonesia. Mereka jarang dihormati sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Pemerintah memperlakukan orang Papua
bukan sebagai manusia, melainkan musuhnegara. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha
membasmi musuh Negara ini melalui sejumlah operasi militer dengan alasan
memberantas separatisme di Papua.
Banyak orang Papua mengibarkan
bendera merah putih dan mengakui dirinya sebagai WNI. Tetapi mereka pun merasa
dicurigai pemerintah. Sekalipun tidak bergabung dengan OPM, mereka jarang
dipercayai sebagai WNI. Pemerintah terkadang meragukan nasionalisme mereka.
Oleh sebab itu, dapat dimaklumi
apabila pemerintah tidak melibatkan rakyat Papua, yang sudah distigmakan
sebagai musuh negara, dalam mencari solusi yang demokratis untuk Papua.
Maka penegasan Presiden Yudhoyono
tentang pentingya partisipasi rakyat Papua dalam menetapkan kebijakan bagi
Papua mengandung suatu pengakuan bahwa orang Papua adalah partner yang mampu
memberikan kontribusinya dalam menyelesaikan konflik Papua. Mereka tidak lagi
dipandang dan diperlakukan sebagai musuh negara.
Memandang mereka sebagai partner,
Presiden menghormati rakyat Papua sebagai manusia ciptaan Allah. Mereka
dipandang sebagai WNI yang wajib berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Pengakuan kemanusiaan dan
kewarganegaraan orang Papua ini, pada gilirannya, menjadi dasar bagi pemerintah
untuk melibatkan rakyat Papua, termasuk OPM, dalam membahas kebijakan bagi
Papua.
Penegasan Presiden Yudhoyono
mengingatkan bahwa apabila pemerintah menetapkan kebijakan tertentu secara
unilateral, tanpa partisipasi rakyat Papua seperti yang terjadi selama 50
tahun, maka konflik Papua tetap membara dan menjadi beban politik bagi
pemerintah.
Oleh sebab itu, saatnya sudah tiba
bagi pemerintah untuk melibatkan rakyat Papua melalui konsultasi dan komunikasi
konstruktif guna secara bersama mencari dan menetapkan kebijakan yang dapat
menyelesaikan konflik Papua.
Penulis adalah dosen STFT Fajar
Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua di Jayapura.