Marxisme dan Artikulasi Politik

Jumat, 03 Juli 2015


Oleh : Martin Suryajaya

Logika

Surabaya;SBT;-SECARA material, politik adalah perkara formasi, administrasi dan justifikasi pembagian kerja masyarakat dalam kerangka pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Administrasi masyarakat dalam rupa negara adalah salah satu bentuk pengorganisasian tersebut. Dalam arti ini, politik adalah aspek organisasional dari realitas ekonomi. Teori Marxian tentang politik lazimnya bergravitasi ke persoalan tersebut. Mulanya Hegel mengartikan Negara sebagai perwujudan dari rasionalitas publik berhadapan dengan Masyarakat Sipil (Bürgerliche Gesellschaft—harfiahnya: ‘masyarakat borjuis’) sebagai perwujudan dari  rasionalitas privat yang berbasis kepentingan-diri. Kemudian Marx menunjukkan bahwa Negara Hegelian sebagai mediator berbagai kepentingan-diri dalam Masyarakat Sipil nyatanya masih menyimpan kontradiksi tersendiri. Kontradiksi itu terletak dalam pemisahan antara yang-mewakili dan yang-diwakili, antara yang-didaulat dan yang-berdaulat, singkatnya: antara representasi politik dan presentasinya. Muara dari kontradiksi itu, telisik Marx, terletak pada aras ekonomi tempat realitas politik berpijak, yakni dalam realitas kelas atau dengan kata lain, dalam realitas pemisahan antara produsen dan pemilik sarana produksi. Selama masih ada kelas, selama itu jugalah akan ada pemisahan antara representasi dan presentasi dalam politik. Pemikiran politik dalam garis Marxian di kemudian hari berupaya mengklarifikasi, mempersoalkan dan memperbaiki konsepsi Marx tentang  hubungan antara realitas politik dan ekonomi. Ada yang berpendapat bahwa politik betul-betul tak lebih dari alat kelas dominan dalam melanggengkan dominasi ekonominya. Ada juga yang berpendapat bahwa politik memuat kekuatan yang dapat mengintervensi realitas perekonomian berlawanan dengan kepentingan kelas dominan.

Secara formal, politik adalah perkara penemuan kebenaran berkenaan dengan perikehidupan sosial. Apa yang hendak dicapai melalui setiap laku politik adalah penemuan kebenaran mengenai bagaimana semestinya kehidupan sosial dikelola. Perbedaan antar berbagai sistem politik adalah pada dasarnya perbedaan mengenai metode penemuan kebenaran kehidupan kolektif seperti itu. Persoalan yang utama bukanlah apa bentuk pengelolaan kehidupan kolektif yang benar, tetapi dengan cara bagaimana hal itu ditemukan? Dari pertanyaan ini tumbuh berbagai metode penemuan kebenaran sosial: mulai dari monarki, demokrasi perwakilan sampai dengan komune. Pendekatan Marxian percaya pada metode terakhir. Di balik kepercayaan itu, terletak asumsi bahwa kriteria penentu kebenaran politik adalah rakyat. Pemikir Marxis mulai dari Mao sampai Alain Badiou memegang teguh asumsi itu. Rakyat tak mungkin keliru, sebab rakyat adalah penentu kebenaran dan kesalahan dari kehidupan kolektif. Artinya, rakyat lah legislator sekaligus eksekutor sesungguhnya dari setiap sendi kehidupan politik.  Badiou menyebut prinsip Maois ini sebagai metapolitik, yakni pendekatan politik yang tidak bertolak dari postulat moral yang diasumsikan universal (misalnya bahwa ‘monarki itu jahat,’ ‘demokrasi perwakilan itu jahat’, dsb.), melainkan dari apa yang berakar pada kepentingan rakyat itu sendiri. Itulah sebabnya, kaum Marxis percaya pada komune, dewan rakyat dan segala bentuk partisipasi mutlak dalam politik. Alasannya jelas, partisipasi politik adalah sebagian dari emansipasi politik. Di mana sebagian lainnya? Itu ditemukan dalam aspek material politik, yakni dalam penghapusan kelas. Singkatnya, emansipasi Marxian=partisipasi politik mutlak+penghapusan kelas. Dengan itu, kebenaran politik ditemukan dan diwujudkan.

Permasalahannya, sebelum kebenaran politik diwujudkan, hal itu mesti diungkapkan terlebih dulu. Ini merupakan masalah sebab mengetahui adalah satu hal, sementara mengungkapkannya adalah hal lain. Setiap Marxis tahu bahwa kapitalisme itu kontradiktif, tetapi apakah setiap Marxis mampu mengungkapkan tesis tersebut secara masuk akal di depan kalangan non-Marxis dan anti-Marxis? Setiap Marxis tahu bahwa demokrasi perwakilan tidak akan menghapuskan jurang antara representasi dan presentasi politik, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjabarkannya dengan argumen yang dapat diterima akal bagi banyak orang tanpa mengandaikan komitmen terdahulu pada iman Marxisme? Setiap Marxis tahu bahwa kemanusiaan dan kebebasan yang riil baru akan terwujud dalam masyarakat komunis, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjelaskannya dalam argumen yang bisa dipahami oleh kalangan liberal? Sederet pertanyaan ini mendesakkan sebuah agenda penting dalam politik Marxis, yakni soal artikulasi politik.

Ketika seorang jenderal menyatakan ‘NKRI harga mati,’ kita dapat bertanya: apakah dia sedang meyakinkan orang lain ataukah dirinya sendiri? Sebagai sebuah artikulasi politik, pernyataan yang terkesan sederhana itu justru sebenarnya rumit. Mengapa rumit? Karena tidak jelas kriteria ‘harga mati’ yang dimaksud dan terutama karena tidak jelas relevansinya bagi pendengar. Seorang pengusaha yang bisnisnya tidak hanya ada dalam lingkup ‘NKRI’ tidak akan merasa diyakinkan oleh seruan itu. Buat dia, asal bisnisnya tetap jalan, ada/tidaknya ‘NKRI’ tidak relevan. Pernyataan itu tidak akan meyakinkannya sebab pernyataan tersebut mensyaratkan penerimaan implisit atas asumsi tentang nilai-nilai luhur fasisme, sementara sang pengusaha hanya mengenal nilai-nilai luhur bisnis.

Demikian pula dengan seorang Marxis yang menyatakan ‘kapitalisme itu kejam karena menghisap buruh.’ Buat para ekonom liberal dan para pengusaha, pernyataan itu sulit dimengerti karena menurut mereka kapitalisme justru merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang paling cepat mendatangkan akumulasi kekayaan, tentunya dengan mengasumsikan trickle-down effect sebagai mekanisme distribusi sumber daya yang optimal. Demikian juga buat masyarakat awam yang cara berpikirnya cenderung menurut pada common sense yang didikte secara kultural oleh kepentingan kapitalis. Pernyataan di muka merupakan salah satu artikulasi dari tesis ‘kapitalisme mengandung kontradiksi internal.’ Namun tesis yang sama juga dapat diartikulasikan secara berbeda. Salah satu bentuk artikulasi lain yang mungkin adalah pernyataan: ‘kapitalisme merugikan para pengusaha.’

Argumennya disediakan oleh Marx sendiri dalam teori kejatuhan tingkat laba alias teori krisis kapitalisme. Peningkatan teknologi produksi akan menyebabkan jatuhnya tingkat laba para kapitalis sebab kenaikan komposisi organik kapital (meningkatnya porsi kapital konstan di atas kapital variabel) setali tiga uang dengan penurunan nilai komoditas. Karenanya, secara jangka panjang, kapitalisme tidak hanya merugikan kelas buruh tetapi juga kelas kapitalis itu sendiri dan semua sektor kehidupan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis. Dengan memberikan penjabaran yang rinci, pernyataan tersebut lebih mungkin meyakinkan para ekonom liberal, pengusaha dan masyarakat awam daripada pernyataan pertama di muka. Mengapa begitu? Sebab melalui argumen yang menopang pernyataan tersebut ditunjukkan bahwa berdasarkan kriteria kapitalis itu sendiri, kapitalisme memang bermasalah. Jadi kapitalisme bermasalah bukan hanya karena menghisap kaum buruh, tetapi juga karena secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri. Kapitalisme bermasalah bukan hanya karena kejam, tetapi karena merugikan. Kriterianya bukan kekejaman, melainkan kerugian. Inilah salah satu contoh dari artikulasi politik Marxis non-konvensional yang mampu menjawab problem pengungkapan kebenaran Marxis di depan kalangan yang non- maupun anti-Marxis.

Apabila disarikan dari ilustrasi di muka, prinsip artikulasi politik Marxis ialah berangkat dari kerangka berpikir Marxian dan tesis kuncinya lantas menemukan penerjemahannya ke dalam kerangka berpikir non- maupun anti-Marxis. Di sini para Marxis bisa menimba pelajaran dari pernyataan Adam Smith dalam Wealth of Nations:

Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu minuman ataupun tukang roti kita mengharapkan santap malam kita, melainkan dari perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menghaturkan diri kita tidak terhadap rasa kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri mereka; dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang keperluan-keperluan kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.

Smith menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh daging dari sang tukang daging bukan lantaran ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, melainkan karena ia memiliki kepentingan untuk jualan daging. Karenanya, dalam bernegosiasi dengan sang tukang daging, Smith berpesan, kita jangan berbicara tentang kepentingan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan yang dapat diterima sang tukang daging dari transaksi tersebut.

Model artikulasi politik ini sangat berguna sebab dengan cara itu kebenaran Marxisme dapat diungkapkan dalam argumen yang masuk akal bagi kaum anti-Marxis sekalipun. Hal ini menjadi penting karena salah satu tugas utama yang diemban kaum Marxis dalam perjuangan menuju masyarakat tanpa kelas adalah meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan yang tentu saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme. Dalam arti itu, apa yang penting bukanlah meyakinkan (lebih tepatnya, meyakinkan ulang) sejawat sendiri tentang keburukan kapitalisme, tetapi meyakinkan orang lain.

Proses artikulasi politik semacam itu memang terkesan tidak keren dan heroik. Tidak ada orasi berapi-api, tidak ada teatrikal Kiri yang tipikal, tidak ada pembangkangan-pembangkangan yang showy. Kemungkinan inilah sebab mengapa artikulasi politik Marxis yang ada selama ini cenderung terbatas. Seakan-akan seseorang belum bisa dianggap Marxis kalau belum pernah mengutuk-sumpahi kapitalisme atau melecehkan demokrasi borjuis dengan heroisme naif yang dapat diperagakan bahkan oleh intel Melayu. Tanpa pembelajaran artikulasi politik yang matang, ungkapan Marxis rentan terjatuh dalam buzzwords dan fashionable nonsense yang pada akhirnya justru kontra-produktif bagi cita-cita emansipasi Marxis. Sebabnya, emansipasi Marxian dalam rupa partisipasi politik mutlak dan penghapusan kelas tak akan terwujud tanpa penguasaan beragam artikulasi politik. Perwujudan kebenaran politik Marxis tak akan mengemuka hanya dengan diketahui dan diyakini oleh sekelompok penghayat yang militan, tetapi juga dengan diungkapkan, diartikulasikan kepada pihak-pihak yang tak peduli ataupun antipati terhadap Marxisme. Dan Marxisme tak akan menang selama kaum Marxis masih terkungkung dalam heroisme ababil (‘abg labil’) yang membuat cupet artikulasi politiknya sendiri.

Dengan demikian, emansipasi Marxis = partisipasi politik mutlak + penghapusan kelas + artikulasi politik. Tanpa penguasan artikulasi politik, emansipasi Marxis hanya akan tinggal sebagai cita-cita luhur semata. Sentralitas artikulasi politik mengemuka terutama ketika kita menyadari bahwa politik bukan soal tabula rasa, bukan soal pembangunan dari nol, penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Kalau politik adalah soal tabula rasa, tentu mudah sekali kerja politik Marxis: tinggal bangun semuanya sesuai dengan kutipan-kutipan Marx atau Lenin. Persoalannya, cara berpolitik seperti Tuhan ini melompati kenyataan aktual dan karenanya tidak akan punya dampak berarti pada kenyataan aktual. Sosialisme tidak akan terjadi hanya dengan mengharuskannya untuk terjadi: ‘Jadilah terang; maka terang itu jadi.’ Emansipasi Marxis yang nyata tak akan terwujud dengan program kolektivisasi seluruh sarana produksi sekarang juga, bentuk pemerintahan revolusioner buruh sekarang juga, entah apa realitas politik yang sedang terjadi. Emansipasi Marxis yang nyata baru akan terjadi bila ada upaya artikulasi politik yang setapak demi setapak mewujudkan program kolektivisasi tersebut melalui argumen dan pengalaman historis yang mengkonfirmasinya bagi berbagai pihak. Emansipasi Marxis hanya akan akan terwujud melalui negosiasi dengan sejarah dan di situ artikulasi politik memegang peranan penting.

Heroisme ababil dan gagasan tentang politik sebagai tabula rasa adalah dua sisi dari satu mata koin yang sama. Keduanya saling menggenapi dan terus meneguhkan kaum Marxis agar hidup di semesta angan-angan, agar lupa pada kenyataan dan karenanya terus melanggengkan ketakberartian dan involusi gerakan Marxis. Keduanya seakan-akan mengarah pada sebuah semboyan ‘radikal:’ ‘semakin tak relevan, semakin revolusioner. Semakin gagal meyakinkan pihak-pihak lawan, semakin murni derajat Marxisnya. Semakin sulit berkomunikasi dengan pihak yang ideologinya berbeda, semakin otentiklah dia sebagai Marxis. Semakin terkurung dalam rimba kosakata Marxis, semakin revolusioner. Semakin involutif, semakin revolusioner.’ Kecenderungan seperti ini hanya bisa diatasi dengan pembelajaran artikulasi politik.

Artikulasi politik tak hanya berguna untuk meyakinkan orang pada Marxisme secara keseluruhan. Justru itu bukan fungsi utama artikulasi politik Marxis. Itu hanya berguna dalam diskusi-diskusi intelektual tentang Marxisme sebagai sistem pemikiran. Fungsi utama artikulasi politik adalah memberikan kerangka perumusan program politik dan komunikasi politik dalam front luas. Dengan demikian, artikulasi politik amat penting dalam aktivitas politik intra-parlementer dan perdebatan kebijakan publik. Misalnya, mengenai MP3EI. Setiap Marxis tentu menolak platform kebijakan yang dirumuskan berdasarkan paradigma debottlenecking alias deregulasi dan privatisasi. Namun tahu bahwa itu salah berbeda dengan mampu mengungkapkannya secara efektif. Seorang Marxis bisa saja memberikan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI salah karena bertentangan dengan Marxisme’ atau ‘MP3EI adalah alat kapitalis untuk memiskinkan buruh.’ Namun relevansi politis dari artikulasi semacam itu dari sudut pandang realpolitik sehari-hari amatlah kecil dibandingkan, misalnya, dengan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI keliru karena menyebabkan anjloknya pendapatan nasional dalam jangka panjang’ atau bahwa ‘MP3EI merugikan perekonomian negara dan swasta domestik.’ Artikulasi politik semacam ini memang terkesan tidak Marxis dan cenderung populis-reformis saja. Namun artikulasi semacam itulah yang dapat diterima akal sehat kalangan awam dan para pengambil kebijakan. Jadi kita tinggal pilih: mau mempertahankan fashion atau atribut Marxis dan dengan itu jadi semakin tidak relevan dengan realpolitik, atau mau mewujudkan intervensi efektif dalam realpolitik dengan mengesampingkan keriuhan atributif?

Artikulasi politik Marxis, dengan demikian, dapat didefinisikan secara sederhana sebagai pengungkapan kebenaran Marxis dalam rumusan yang masuk akal secara non-Marxis. Dalam pertarungan politik nasional di masa mendatang, kemenangan agenda-agenda Kiri akan lebih banyak ditentukan oleh artikulasi politik ketimbang oleh repetisi slogan, penolakan membuta dan serentetan parade heroisme ababil lainnya. Lewat artikulasi politik jugalah perluasan atau penyempitan gerakan Kiri di tengah-tengah gelombang perlawanan rakyat ditentukan. Artikulasi politik yang terbatas hanya akan membuat khalayak umum gagal paham dan karenanya kontribusi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat akan mengecil. Sementara artikulasi politik Kiri yang luwes akan dapat memperbesar partisipasi rakyat bersama dengan gerakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa masa depan Marxisme di Indonesia bertumpu pada perkembangan artikulasi politik gerakan Kiri, pada sejauh mana gerakan mampu merumuskan agenda Marxis dalam kerangka tuntutan yang sifatnya lebih merangkul banyak pihak daripada mengisolir diri sendiri dengan tuntutan yang hanya masuk akal bagi teman sendiri.

Di situlah juga terletak peran taktis gerakan Kiri dalam gelombang populisme hari ini. Persoalannya bukan percaya atau tidak percaya pada populisme dan reformisme, persoalannya bukan soal apakah populisme itu halal atau haram menurut akidah Marxisme, tetapi apa yang bisa dihasilkan dari sana untuk memajukan agenda Marxis dan apa yang mesti diperbuat untuk memastikan kemajuan agenda tersebut. Tujuan gerakan Kiri adalah kemenangan politik rakyat, bukan penegakkan syariat Marxis. Tujuannya adalah memenangkan agenda Marxis, bukan sertifikasi halal-haram. Dan artikulasi politik yang luwes adalah salah satu sarana di antara segudang sarana lainnya untuk merealisasikan tujuan tersebut. Dalam gelombang populisme yang cair secara ideologis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan agenda Marxis tanpa mengasumsikan penerimaan publik atas kebenaran pokok-pokok Marxisme. Ini berujung pada dua konsekuensi. Pada aras teoretis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kapitalisme dan kultur borjuis. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan kapitalis itu sendiri, kapitalisme itu memang bermasalah (misalnya merugikan), atau bahwa dari kriteria budaya borjuis itu sendiri, penegakan HAM tidak mungkin terwujud secara utuh dalam lingkup kebudayaan borjuis. Pada aras praktis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan pro-pemodal dan ideologi liberal yang menopangnya. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan investasi itu sendiri, neoliberalisme memang bermasalah karena tidak hanya merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara. Di sini, kerja politik sesungguhnya lebih terletak dalam artikulasi politik ketimbang dalam revolutionary showmanship.

Sumber : indoprogress.com
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar