Oleh : Martin Suryajaya
Logika
Surabaya;SBT;-SECARA material, politik adalah perkara formasi,
administrasi dan justifikasi pembagian kerja masyarakat dalam kerangka
pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Administrasi masyarakat dalam rupa negara
adalah salah satu bentuk pengorganisasian tersebut. Dalam arti ini, politik
adalah aspek organisasional dari realitas ekonomi. Teori Marxian tentang
politik lazimnya bergravitasi ke persoalan tersebut. Mulanya Hegel mengartikan
Negara sebagai perwujudan dari rasionalitas publik berhadapan dengan Masyarakat
Sipil (Bürgerliche Gesellschaft—harfiahnya: ‘masyarakat borjuis’) sebagai
perwujudan dari rasionalitas privat yang
berbasis kepentingan-diri. Kemudian Marx menunjukkan bahwa Negara Hegelian
sebagai mediator berbagai kepentingan-diri dalam Masyarakat Sipil nyatanya
masih menyimpan kontradiksi tersendiri. Kontradiksi itu terletak dalam
pemisahan antara yang-mewakili dan yang-diwakili, antara yang-didaulat dan
yang-berdaulat, singkatnya: antara representasi politik dan presentasinya. Muara
dari kontradiksi itu, telisik Marx, terletak pada aras ekonomi tempat realitas
politik berpijak, yakni dalam realitas kelas atau dengan kata lain, dalam
realitas pemisahan antara produsen dan pemilik sarana produksi. Selama masih
ada kelas, selama itu jugalah akan ada pemisahan antara representasi dan
presentasi dalam politik. Pemikiran politik dalam garis Marxian di kemudian
hari berupaya mengklarifikasi, mempersoalkan dan memperbaiki konsepsi Marx
tentang hubungan antara realitas politik
dan ekonomi. Ada yang berpendapat bahwa politik betul-betul tak lebih dari alat
kelas dominan dalam melanggengkan dominasi ekonominya. Ada juga yang
berpendapat bahwa politik memuat kekuatan yang dapat mengintervensi realitas
perekonomian berlawanan dengan kepentingan kelas dominan.
Secara formal, politik adalah perkara penemuan kebenaran
berkenaan dengan perikehidupan sosial. Apa yang hendak dicapai melalui setiap
laku politik adalah penemuan kebenaran mengenai bagaimana semestinya kehidupan
sosial dikelola. Perbedaan antar berbagai sistem politik adalah pada dasarnya
perbedaan mengenai metode penemuan kebenaran kehidupan kolektif seperti itu.
Persoalan yang utama bukanlah apa bentuk pengelolaan kehidupan kolektif yang
benar, tetapi dengan cara bagaimana hal itu ditemukan? Dari pertanyaan ini
tumbuh berbagai metode penemuan kebenaran sosial: mulai dari monarki, demokrasi
perwakilan sampai dengan komune. Pendekatan Marxian percaya pada metode
terakhir. Di balik kepercayaan itu, terletak asumsi bahwa kriteria penentu
kebenaran politik adalah rakyat. Pemikir Marxis mulai dari Mao sampai Alain
Badiou memegang teguh asumsi itu. Rakyat tak mungkin keliru, sebab rakyat
adalah penentu kebenaran dan kesalahan dari kehidupan kolektif. Artinya, rakyat
lah legislator sekaligus eksekutor sesungguhnya dari setiap sendi kehidupan
politik. Badiou menyebut prinsip Maois
ini sebagai metapolitik, yakni pendekatan politik yang tidak bertolak dari
postulat moral yang diasumsikan universal (misalnya bahwa ‘monarki itu jahat,’
‘demokrasi perwakilan itu jahat’, dsb.), melainkan dari apa yang berakar pada
kepentingan rakyat itu sendiri. Itulah sebabnya, kaum Marxis percaya pada
komune, dewan rakyat dan segala bentuk partisipasi mutlak dalam politik.
Alasannya jelas, partisipasi politik adalah sebagian dari emansipasi politik.
Di mana sebagian lainnya? Itu ditemukan dalam aspek material politik, yakni
dalam penghapusan kelas. Singkatnya, emansipasi Marxian=partisipasi politik
mutlak+penghapusan kelas. Dengan itu, kebenaran politik ditemukan dan diwujudkan.
Permasalahannya, sebelum kebenaran politik diwujudkan,
hal itu mesti diungkapkan terlebih dulu. Ini merupakan masalah sebab mengetahui
adalah satu hal, sementara mengungkapkannya adalah hal lain. Setiap Marxis tahu
bahwa kapitalisme itu kontradiktif, tetapi apakah setiap Marxis mampu
mengungkapkan tesis tersebut secara masuk akal di depan kalangan non-Marxis dan
anti-Marxis? Setiap Marxis tahu bahwa demokrasi perwakilan tidak akan
menghapuskan jurang antara representasi dan presentasi politik, tetapi apakah
setiap Marxis dapat menjabarkannya dengan argumen yang dapat diterima akal bagi
banyak orang tanpa mengandaikan komitmen terdahulu pada iman Marxisme? Setiap
Marxis tahu bahwa kemanusiaan dan kebebasan yang riil baru akan terwujud dalam
masyarakat komunis, tetapi apakah setiap Marxis dapat menjelaskannya dalam
argumen yang bisa dipahami oleh kalangan liberal? Sederet pertanyaan ini
mendesakkan sebuah agenda penting dalam politik Marxis, yakni soal artikulasi
politik.
Ketika seorang jenderal menyatakan ‘NKRI harga mati,’
kita dapat bertanya: apakah dia sedang meyakinkan orang lain ataukah dirinya
sendiri? Sebagai sebuah artikulasi politik, pernyataan yang terkesan sederhana
itu justru sebenarnya rumit. Mengapa rumit? Karena tidak jelas kriteria ‘harga
mati’ yang dimaksud dan terutama karena tidak jelas relevansinya bagi
pendengar. Seorang pengusaha yang bisnisnya tidak hanya ada dalam lingkup
‘NKRI’ tidak akan merasa diyakinkan oleh seruan itu. Buat dia, asal bisnisnya
tetap jalan, ada/tidaknya ‘NKRI’ tidak relevan. Pernyataan itu tidak akan
meyakinkannya sebab pernyataan tersebut mensyaratkan penerimaan implisit atas
asumsi tentang nilai-nilai luhur fasisme, sementara sang pengusaha hanya
mengenal nilai-nilai luhur bisnis.
Demikian pula dengan seorang Marxis yang menyatakan
‘kapitalisme itu kejam karena menghisap buruh.’ Buat para ekonom liberal dan
para pengusaha, pernyataan itu sulit dimengerti karena menurut mereka
kapitalisme justru merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang paling cepat
mendatangkan akumulasi kekayaan, tentunya dengan mengasumsikan trickle-down
effect sebagai mekanisme distribusi sumber daya yang optimal. Demikian juga
buat masyarakat awam yang cara berpikirnya cenderung menurut pada common sense
yang didikte secara kultural oleh kepentingan kapitalis. Pernyataan di muka
merupakan salah satu artikulasi dari tesis ‘kapitalisme mengandung kontradiksi
internal.’ Namun tesis yang sama juga dapat diartikulasikan secara berbeda.
Salah satu bentuk artikulasi lain yang mungkin adalah pernyataan: ‘kapitalisme
merugikan para pengusaha.’
Argumennya disediakan oleh Marx sendiri dalam teori kejatuhan tingkat laba alias teori krisis kapitalisme. Peningkatan teknologi produksi akan menyebabkan jatuhnya tingkat laba para kapitalis sebab kenaikan komposisi organik kapital (meningkatnya porsi kapital konstan di atas kapital variabel) setali tiga uang dengan penurunan nilai komoditas. Karenanya, secara jangka panjang, kapitalisme tidak hanya merugikan kelas buruh tetapi juga kelas kapitalis itu sendiri dan semua sektor kehidupan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis. Dengan memberikan penjabaran yang rinci, pernyataan tersebut lebih mungkin meyakinkan para ekonom liberal, pengusaha dan masyarakat awam daripada pernyataan pertama di muka. Mengapa begitu? Sebab melalui argumen yang menopang pernyataan tersebut ditunjukkan bahwa berdasarkan kriteria kapitalis itu sendiri, kapitalisme memang bermasalah. Jadi kapitalisme bermasalah bukan hanya karena menghisap kaum buruh, tetapi juga karena secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri. Kapitalisme bermasalah bukan hanya karena kejam, tetapi karena merugikan. Kriterianya bukan kekejaman, melainkan kerugian. Inilah salah satu contoh dari artikulasi politik Marxis non-konvensional yang mampu menjawab problem pengungkapan kebenaran Marxis di depan kalangan yang non- maupun anti-Marxis.
Argumennya disediakan oleh Marx sendiri dalam teori kejatuhan tingkat laba alias teori krisis kapitalisme. Peningkatan teknologi produksi akan menyebabkan jatuhnya tingkat laba para kapitalis sebab kenaikan komposisi organik kapital (meningkatnya porsi kapital konstan di atas kapital variabel) setali tiga uang dengan penurunan nilai komoditas. Karenanya, secara jangka panjang, kapitalisme tidak hanya merugikan kelas buruh tetapi juga kelas kapitalis itu sendiri dan semua sektor kehidupan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis. Dengan memberikan penjabaran yang rinci, pernyataan tersebut lebih mungkin meyakinkan para ekonom liberal, pengusaha dan masyarakat awam daripada pernyataan pertama di muka. Mengapa begitu? Sebab melalui argumen yang menopang pernyataan tersebut ditunjukkan bahwa berdasarkan kriteria kapitalis itu sendiri, kapitalisme memang bermasalah. Jadi kapitalisme bermasalah bukan hanya karena menghisap kaum buruh, tetapi juga karena secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri. Kapitalisme bermasalah bukan hanya karena kejam, tetapi karena merugikan. Kriterianya bukan kekejaman, melainkan kerugian. Inilah salah satu contoh dari artikulasi politik Marxis non-konvensional yang mampu menjawab problem pengungkapan kebenaran Marxis di depan kalangan yang non- maupun anti-Marxis.
Apabila disarikan dari ilustrasi di muka, prinsip
artikulasi politik Marxis ialah berangkat dari kerangka berpikir Marxian dan
tesis kuncinya lantas menemukan penerjemahannya ke dalam kerangka berpikir non-
maupun anti-Marxis. Di sini para Marxis bisa menimba pelajaran dari pernyataan
Adam Smith dalam Wealth of Nations:
Bukanlah dari kebaikan hati sang tukang daging, peramu
minuman ataupun tukang roti kita mengharapkan santap malam kita, melainkan dari
perhatian mereka terhadap kepentingan mereka sendiri. Kita menghaturkan diri
kita tidak terhadap rasa kemanusiaan mereka, melainkan terhadap rasa cinta-diri
mereka; dan jangan pernah berbicara pada mereka tentang keperluan-keperluan
kita, melainkan tentang keuntungan-keuntungan mereka.
Smith menunjukkan bahwa kita dapat memperoleh daging dari
sang tukang daging bukan lantaran ia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
melainkan karena ia memiliki kepentingan untuk jualan daging. Karenanya, dalam
bernegosiasi dengan sang tukang daging, Smith berpesan, kita jangan berbicara
tentang kepentingan kita, tetapi bicaralah tentang keuntungan yang dapat
diterima sang tukang daging dari transaksi tersebut.
Model artikulasi politik ini sangat berguna sebab dengan
cara itu kebenaran Marxisme dapat diungkapkan dalam argumen yang masuk akal
bagi kaum anti-Marxis sekalipun. Hal ini menjadi penting karena salah satu
tugas utama yang diemban kaum Marxis dalam perjuangan menuju masyarakat tanpa
kelas adalah meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan yang tentu
saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme. Dalam arti itu,
apa yang penting bukanlah meyakinkan (lebih tepatnya, meyakinkan ulang) sejawat
sendiri tentang keburukan kapitalisme, tetapi meyakinkan orang lain.
Proses artikulasi politik semacam itu memang terkesan
tidak keren dan heroik. Tidak ada orasi berapi-api, tidak ada teatrikal Kiri
yang tipikal, tidak ada pembangkangan-pembangkangan yang showy. Kemungkinan
inilah sebab mengapa artikulasi politik Marxis yang ada selama ini cenderung
terbatas. Seakan-akan seseorang belum bisa dianggap Marxis kalau belum pernah
mengutuk-sumpahi kapitalisme atau melecehkan demokrasi borjuis dengan heroisme
naif yang dapat diperagakan bahkan oleh intel Melayu. Tanpa pembelajaran
artikulasi politik yang matang, ungkapan Marxis rentan terjatuh dalam buzzwords
dan fashionable nonsense yang pada akhirnya justru kontra-produktif bagi
cita-cita emansipasi Marxis. Sebabnya, emansipasi Marxian dalam rupa
partisipasi politik mutlak dan penghapusan kelas tak akan terwujud tanpa
penguasaan beragam artikulasi politik. Perwujudan kebenaran politik Marxis tak
akan mengemuka hanya dengan diketahui dan diyakini oleh sekelompok penghayat
yang militan, tetapi juga dengan diungkapkan, diartikulasikan kepada
pihak-pihak yang tak peduli ataupun antipati terhadap Marxisme. Dan Marxisme
tak akan menang selama kaum Marxis masih terkungkung dalam heroisme ababil
(‘abg labil’) yang membuat cupet artikulasi politiknya sendiri.
Dengan demikian, emansipasi Marxis = partisipasi politik
mutlak + penghapusan kelas + artikulasi politik. Tanpa penguasan artikulasi
politik, emansipasi Marxis hanya akan tinggal sebagai cita-cita luhur semata.
Sentralitas artikulasi politik mengemuka terutama ketika kita menyadari bahwa
politik bukan soal tabula rasa, bukan soal pembangunan dari nol, penciptaan
dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Kalau politik adalah soal tabula rasa,
tentu mudah sekali kerja politik Marxis: tinggal bangun semuanya sesuai dengan
kutipan-kutipan Marx atau Lenin. Persoalannya, cara berpolitik seperti Tuhan
ini melompati kenyataan aktual dan karenanya tidak akan punya dampak berarti
pada kenyataan aktual. Sosialisme tidak akan terjadi hanya dengan
mengharuskannya untuk terjadi: ‘Jadilah terang; maka terang itu jadi.’
Emansipasi Marxis yang nyata tak akan terwujud dengan program kolektivisasi
seluruh sarana produksi sekarang juga, bentuk pemerintahan revolusioner buruh
sekarang juga, entah apa realitas politik yang sedang terjadi. Emansipasi
Marxis yang nyata baru akan terjadi bila ada upaya artikulasi politik yang
setapak demi setapak mewujudkan program kolektivisasi tersebut melalui argumen
dan pengalaman historis yang mengkonfirmasinya bagi berbagai pihak. Emansipasi
Marxis hanya akan akan terwujud melalui negosiasi dengan sejarah dan di situ
artikulasi politik memegang peranan penting.
Heroisme ababil dan gagasan tentang politik sebagai
tabula rasa adalah dua sisi dari satu mata koin yang sama. Keduanya saling
menggenapi dan terus meneguhkan kaum Marxis agar hidup di semesta angan-angan,
agar lupa pada kenyataan dan karenanya terus melanggengkan ketakberartian dan
involusi gerakan Marxis. Keduanya seakan-akan mengarah pada sebuah semboyan
‘radikal:’ ‘semakin tak relevan, semakin revolusioner. Semakin gagal meyakinkan
pihak-pihak lawan, semakin murni derajat Marxisnya. Semakin sulit berkomunikasi
dengan pihak yang ideologinya berbeda, semakin otentiklah dia sebagai Marxis.
Semakin terkurung dalam rimba kosakata Marxis, semakin revolusioner. Semakin
involutif, semakin revolusioner.’ Kecenderungan seperti ini hanya bisa diatasi
dengan pembelajaran artikulasi politik.
Artikulasi politik tak hanya berguna untuk meyakinkan
orang pada Marxisme secara keseluruhan. Justru itu bukan fungsi utama
artikulasi politik Marxis. Itu hanya berguna dalam diskusi-diskusi intelektual
tentang Marxisme sebagai sistem pemikiran. Fungsi utama artikulasi politik
adalah memberikan kerangka perumusan program politik dan komunikasi politik
dalam front luas. Dengan demikian, artikulasi politik amat penting dalam
aktivitas politik intra-parlementer dan perdebatan kebijakan publik. Misalnya,
mengenai MP3EI. Setiap Marxis tentu menolak platform kebijakan yang dirumuskan
berdasarkan paradigma debottlenecking alias deregulasi dan privatisasi. Namun
tahu bahwa itu salah berbeda dengan mampu mengungkapkannya secara efektif.
Seorang Marxis bisa saja memberikan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI salah
karena bertentangan dengan Marxisme’ atau ‘MP3EI adalah alat kapitalis untuk
memiskinkan buruh.’ Namun relevansi politis dari artikulasi semacam itu dari
sudut pandang realpolitik sehari-hari amatlah kecil dibandingkan, misalnya,
dengan artikulasi politik bahwa ‘MP3EI keliru karena menyebabkan anjloknya
pendapatan nasional dalam jangka panjang’ atau bahwa ‘MP3EI merugikan
perekonomian negara dan swasta domestik.’ Artikulasi politik semacam ini memang
terkesan tidak Marxis dan cenderung populis-reformis saja. Namun artikulasi
semacam itulah yang dapat diterima akal sehat kalangan awam dan para pengambil
kebijakan. Jadi kita tinggal pilih: mau mempertahankan fashion atau atribut
Marxis dan dengan itu jadi semakin tidak relevan dengan realpolitik, atau mau
mewujudkan intervensi efektif dalam realpolitik dengan mengesampingkan keriuhan
atributif?
Artikulasi politik Marxis, dengan demikian, dapat
didefinisikan secara sederhana sebagai pengungkapan kebenaran Marxis dalam
rumusan yang masuk akal secara non-Marxis. Dalam pertarungan politik nasional
di masa mendatang, kemenangan agenda-agenda Kiri akan lebih banyak ditentukan
oleh artikulasi politik ketimbang oleh repetisi slogan, penolakan membuta dan
serentetan parade heroisme ababil lainnya. Lewat artikulasi politik jugalah
perluasan atau penyempitan gerakan Kiri di tengah-tengah gelombang perlawanan
rakyat ditentukan. Artikulasi politik yang terbatas hanya akan membuat khalayak
umum gagal paham dan karenanya kontribusi gerakan Kiri dalam perlawanan rakyat akan
mengecil. Sementara artikulasi politik Kiri yang luwes akan dapat memperbesar
partisipasi rakyat bersama dengan gerakan dalam perjuangan melawan kapitalisme.
Dengan demikian, tak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa masa depan
Marxisme di Indonesia bertumpu pada perkembangan artikulasi politik gerakan
Kiri, pada sejauh mana gerakan mampu merumuskan agenda Marxis dalam kerangka
tuntutan yang sifatnya lebih merangkul banyak pihak daripada mengisolir diri
sendiri dengan tuntutan yang hanya masuk akal bagi teman sendiri.
Di situlah juga terletak peran taktis gerakan Kiri dalam
gelombang populisme hari ini. Persoalannya bukan percaya atau tidak percaya
pada populisme dan reformisme, persoalannya bukan soal apakah populisme itu
halal atau haram menurut akidah Marxisme, tetapi apa yang bisa dihasilkan dari
sana untuk memajukan agenda Marxis dan apa yang mesti diperbuat untuk
memastikan kemajuan agenda tersebut. Tujuan gerakan Kiri adalah kemenangan
politik rakyat, bukan penegakkan syariat Marxis. Tujuannya adalah memenangkan
agenda Marxis, bukan sertifikasi halal-haram. Dan artikulasi politik yang luwes
adalah salah satu sarana di antara segudang sarana lainnya untuk merealisasikan
tujuan tersebut. Dalam gelombang populisme yang cair secara ideologis, gerakan
dituntut untuk mampu mengartikulasikan agenda Marxis tanpa mengasumsikan
penerimaan publik atas kebenaran pokok-pokok Marxisme. Ini berujung pada dua
konsekuensi. Pada aras teoretis, gerakan dituntut untuk mampu mengartikulasikan
kritik imanen atas kapitalisme dan kultur borjuis. Artinya, mampu menunjukkan
bahwa dari sudut pandang kepentingan kapitalis itu sendiri, kapitalisme itu
memang bermasalah (misalnya merugikan), atau bahwa dari kriteria budaya borjuis
itu sendiri, penegakan HAM tidak mungkin terwujud secara utuh dalam lingkup
kebudayaan borjuis. Pada aras praktis, gerakan dituntut untuk mampu
mengartikulasikan kritik imanen atas kebijakan pro-pemodal dan ideologi liberal
yang menopangnya. Artinya, mampu menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan
investasi itu sendiri, neoliberalisme memang bermasalah karena tidak hanya
merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara. Di
sini, kerja politik sesungguhnya lebih terletak dalam artikulasi politik
ketimbang dalam revolutionary showmanship.
Sumber : indoprogress.com