Reformasi atau Revolusi
Rosa Luxemburg (1900)
This is the Bahasa Indonesia translation of Reform or
Revolution by Rosa Luxemburg, published by Gelompang Pasang Publishing House.
Bagian I
1 – Metode Oportunis
Jika benar bahwa teori hanyalah gambaran dari
fenomena-fenomena dunia luar dalam kesadaran manusia, maka harus ditambahkan
-berkaitan dengan sistem Eduard Bernstein- bahwa teori terkadang merupakan
gambaran-gambaran yang diputar-balikkan. Pikirkanlah tentang sebuah teori yang
berusaha mewujudkan sosialisme dengan cara reformasi sosial di tengah
kemandegan total gerakan reformasi di Jerman. Pikirkanlah sebuah teori tentang
kontrol serikat buruh terhadap produksi di tengah kenyataan kekalahan buruh
logam di Inggris. Bahaslah teori untuk memenangkan mayoritas di Parlemen,
setelah revisi konstitusi Saxony, dan dalam pandangan upaya-upaya terbaru yang
menentang hak universal untuk memilih. Bagaimanapun juga, poin sangat penting
dari sistem Bernstein bukan terletak pada konsepsinya tentang tugas-tugas
praktis sosial-demokrasi. Poin itu terletak pada sikap Bernstein tentang kurun
perkembangan obyektif masyarakat kapitalis, yang pada gilirannya terkait erat
dengan konsepsinya tentang tugas-tugas praktis sosial-demokrasi.
Menurut Bernstein, kemunduran umum kapitalisme nampaknya
menjadi kian mustahil karena, di satu sisi, kapitalisme menunjukkan suatu
kapasitas adaptasi yang makin tinggi dan, di sisi lain, produksi kapitalis
menjadi makin dan makin bervariasi.
Kapasitas kapitalisme untuk beradaptasi itu, kata
Bernstein, termanifestasi pertama-tama dalam sirnanya krisis-krisis umum yang
disebabkan oleh berkembangnya sistem kredit, organisasi-organisasi majikan,
sarana komunikasi yang lebih luas, dan jasa informasi. Kedua, kapasitas
kapitalisme untuk beradaptasi terbukti dalam keuletan kelas menengah yang
berasal dari diferensiasi yang meningkat dalam cabang-cabang produksi, dan
naiknya lapisan luas proletariat ke level kelas menengah. Dan hal ini lebih
lanjut dibuktikan, menurut argumen Bernstein, dengan adanya perbaikan situasi
ekonomi dan politik sebagai hasil dari aktivitas serikat buruh proletariat.
Dari sikap teoritis ini, kemudian ditarik kesimpulan umum
tentang kerja praktis sosial-demokrasi seperti berikut. Gerakan
Sosial-demokrasi hendaknya jangan mengarahkan aktivitasnya sehari-hari pada
penaklukan kekuasaan politik, melainkan menuju perbaikan kondisi kelas pekerja
di dalam tatanan yang kini ada. Gerakan Sosial-demokrasi jangan berharap untuk
membangun sosialisme sebagai hasil dari krisis sosial dan politik, tetapi
hendaknya membangun sosialisme melalui perluasan kontrol sosial secara
progresif dan penerapan prinsip kerjasama secara bertahap.
Bernstein sendiri tidak melihat adanya hal baru dalam
teori-teorinya. Sebaliknya, dia yakin bahwa teori-teorinya itu sesuai dengan
pernyataan-pernyataan tertentu dari Marx dan Engels. Namun demikian, sulit bagi
kita untuk menyangkal bahwa teori-teori Bernstein itu bertentangan secara
formal dengan konsepsi-konsepsi sosialisme ilmiah.
Jika revisionisme Bernstein sekedar hendak menegaskan
bahwa perjalanan perkembangan kapitalis lebih lambat daripada yang diperkirakan
sebelumnya, maka ia hanya akan menyajikan sebuah argumen untuk menangguhkan
penaklukan kekuasaan oleh proletariat, hal mana setiap orang sampai saat ini
telah sepakat. Konsekuensinya hanyalah perlambatan langkah perjuangan.
Namun, bukan itu yang terjadi. Yang dipersoalkan
Bernstein bukanlah tingkat kecepatan perkembangan masyarakat kapitalis,
melainkan perjalanan perkembangan itu sendiri, yang konsekuensinya berarti
kemungkinan hakiki untuk sebuah perubahan menuju sosialisme.
Teori sosialis sampai saat ini menyatakan bahwa titik
berangkat bagi suatu transformasi menuju sosialisme akan berupa sebuah krisis
umum dan katastropis (merupakan bencana besar). Dalam pandangan ini, kita harus
membedakan dua hal: ide fundamental dan bentuk luarnya.
Ide fundamentalnya mengandung penegasan bahwa
kapitalisme, sebagai akibat dari kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya,
bergerak ke arah satu titik ketika ia tidak akan seimbang, ketika kapitalisme
akan menjadi sungguh-sungguh tak mungkin. Ada alasan-alasan tepat untuk
memahami titik waktu dalam bentuk sebuah krisis komersial umum yang
katastropis. Akan tetapi, itu bersifat sekunder ketika ide fundamentalnya
dibahas.
Basis sosialisme ilmiah bertumpu pada -sebagaimana yang
lazim dikenal- tiga hasil utama dari perkembangan kapitalis. Pertama, pada
tumbuhnya anarki dalam ekonomi kapitalis, yang tak terelakkan lagi menuju pada
kehancurannya. Kedua, pada sosialisasi proses produksi secara progresif yang
menciptakan benih-benih tatanan sosial masa depan. Dan ketiga, pada organisasi
dan kesadaran kelas proletar yang meningkat, yang menimbulkan faktor aktif
dalam revolusi yang akan datang.
Bernstein meninggalkan poin pertama dari tiga faktor
pendukung fundamental sosialisme ilmiah. Dia mengatakan bahwa perkembangan
kapitalis tidak menuju pada sebuah keruntuhan ekonomi secara umum.
Bernstein bukan hanya menolak suatu bentuk tertentu dari
keruntuhan itu. Dia menolak kemungkinan hakiki dari keruntuhan tersebut. Dalam
tulisannya dia mengatakan: “Seseorang bisa saja mengklaim bahwa keruntuhan
masyarakat yang sekarang berarti sesuatu yang lain dari sekedar krisis
komersial umum, lebih buruk dari semua krisis lainnya, yakni keruntuhan total
sistem kapitalis yang terjadi sebagai akibat kontradiksi-kontradiksinya
sendiri.” Dan terhadap pernyataan ini, Bernstein menjawab: “Dengan semakin berkembangnya
masyarakat, sebuah keruntuhan total dan nyaris umum sistem produksi yang kini
ada menjadi makin dan makin mustahil, karena perkembangan kapitalis
meningkatkan, di satu sisi, kapasitas adaptasinya, dan -di sisi lain-
diferensiasi industri.” (Neue Zeit, 1897-1898, edisi 18, hal. 555).
Tetapi kemudian muncul pertanyaan: kalau begitu, mengapa
dan bagaimana kita bisa mencapai tujuan akhir kita? Menurut sosialisme ilmiah,
kebutuhan sejarah terutama termanifestasi dalam tumbuhnya anarki kapitalisme
yang menggerakkan sistem ini menuju sebuah jalan buntu. Namun, apabila
seseorang sepakat dengan Bernstein bahwa perkembangan kapitalis tidak bergerak
dalam arah yang menuju pada kehancurannya sendiri, maka sosialisme pun secara
obyektif tak lagi diperlukan. Disinilah tetap berlaku dua arus utama lain dari
penjelasan ilmiah tentang sosialisme, yang juga dikatakan sebagai konsekuensi
dari kapitalisme itu sendiri: sosialisasi proses produksi dan bangkitnya
kesadaran proletariat. Dua hal inilah yang ada di pikiran Bernstein ketika ia
mengatakan: “Peniadaan teori tentang keruntuhan sama sekali tidak menghalangi
doktrin sosialis tentang persuasi. Karena, jika diteliti secara mendalam, apa
faktor-faktor yang kita perhitungkan, yang menyebabkan peniadaan atau modifikasi
krisis-krisis terdahulu? Tak lain, pada kenyataannya, adalah syarat-syarat
-atau bahkan sebagian merupakan benih-benih dari- sosialisasi produksi dan
pertukaran.” (Ibid, hal. 554).
Sedikit sekali refleksi yang diperlukan untuk memahami
bahwa disinipun kita menghadapi sebuah kesimpulan yang keliru. Dimana letak
arti penting dari semua fenomena yang oleh Bernstein dikatakan sebagai sarana
adaptasi kapitalis - kartel, sistem kredit, perkembangan alat komunikasi,
perbaikan kondisi kelas pekerja, dan lain-lain? Jelas, pada asumsi bahwa
kartel, sistem kredit, dan lain-lain itu meniadakan atau setidaknya mengurangi
kontradiksi-kontradiksi dalam ekonomi kapitalis, dan menghentikan perkembangan
atau penajaman kontradiksi-kontradiksi itu. Dengan demikian, peniadaan krisis
hanya bisa berarti peniadaan pertentangan antara produksi dan pertukaran pada
basis kapitalis. Perbaikan kondisi kelas pekerja, atau penetrasi fraksi-fraksi
kelas tertentu ke dalam lapisan-lapisan menengah, hanya bisa berarti
pengurangan pertentangan antara modal dan kerja. Tetapi, bila faktor-faktor
yang disebutkan itu meniadakan kontradiksi-kontradiksi kapitalis, sehingga
menjaga sistem ini dari kehancuran; apabila faktor-faktor tersebut memungkinkan
kapitalisme untuk mempertahankan diri -dan itulah yang disebut Bernstein
sebagai “sarana adaptasi”- bagaimana mungkin kartel, sistem kredit, serikat
buruh, dan lain-lain itu sekaligus juga merupakan “syarat-syarat -dan bahkan,
sebagian merupakan benih-benih”- sosialisme? Jelaslah hanya dalam hal bahwa faktor-faktor
itu mengekspresikan secara paling jelas watak sosial dari produksi.
Akan tetapi, kalau disajikan dalam bentuk kapitalisnya,
maka faktor-faktor tadii menganggap sebagai sesuatu yang berlebihan -dan
berkebalikan dalam ukuran yang sama- transformasi dari produksi yang telah
tersosialisasikan ini menjadi produksi sosialis. Itulah sebabnya mengapa
faktor-faktor yang disebutkan Bernstein itu hanya bisa menjadi benih atau
syarat bagi suatu tatanan sosialis dalam makna teoritis, bukan dalam makna historis.
Faktor-faktor tersebut adalah fenomena yang -dari sudut pandang konsepsi kita
tentang sosialisme- kita pahami sebagai berkaitan dengan sosialisme, namun pada
kenyataannya bukan hanya tidak mengarah pada sebuah revolusi sosialis,
melainkan sebaliknya, menganggapnya berlebihan.
Tetap ada satu kekuatan yang memungkinkan realisasi
sosialisme, yakni kesadaran-kelas proletariat. Namun inipun, dalam hal
tertentu, bukanlah semata-mata refleksi intelektual tentang
kontradiksi-kontradiksi yang berkembang dalam kapitalisme serta keruntuhannya
yang mendekat. Kesadaran-kelas proletariat itu kini tak lebih sekedar sebuah
konsep ideal yang kekuatan persuasinya terletak hanya pada kesempurnaan yang
dianggap berasal darinya.
Dalam konsep Bernstein itu, kita mendapati penjelasan
singkat tentang program sosialis dengan cara “logika murni”. Yakni, kita
dipaksa menggunakan bahasa yang sederhana, sebuah penjelasan idealis tentang
sosialisme. Kebutuhan obyektif akan sosialisme, penjelasan tentang sosialisme
sebagai hasil dari perkembangan material masyarakat, kemudian gugur ke tanah.
Dengan demikian, teori revisionis menempatkan dirinya
sendiri dalam sebuah dilema. Apakah transformasi sosialis merupakan
-sebagaimana yang diakui sampai sekarang- konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi
internal kapitalisme, yang pada suatu titik tertentu tak terelakkan lagi akan
mengakibatkan kehancurannya, (yang dengan begitu berarti “sarana adaptasi”
menjadi tidak efektif, dan teori keruntuhan itulah yang benar); ataukah “sarana
adaptasi” akan betul-betul menghentikan keruntuhan sistem kapitalis, dan dengan
demikian berarti memungkinkan kapitalisme untuk mempertahankan diri dengan
meniadakan kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Kalau seperti itu halnya, maka
sosialisme bukan lagi sebuah kebutuhan sejarah. Sosialisme kemudian menjadi
apapun yang ingin anda sebut sebagai sosialisme, tetapi bukan lagi hasil dari
perkembangan material masyarakat.
Dilema itu menyebabkan munculnya dilema lain. Apakah
revisionisme itu benar dalam posisinya mengenai kurun perkembangan kapitalis,
dan karenanya transformasi sosialis masyarakat hanyalah sebuah utopia; ataukah
sosialisme itu bukan sebuah utopia, dan teori tentang “sarana adaptasi” itu
keliru. Itu adalah persoalan dalam sebuah kulit kacang.
2 – Adaptasi Kapitalisme
Menurut Bernstein, sistem kredit, sarana komunikasi yang
disempurnakan dan persekutuan-persekutuan baru kapitalis, adalah faktor-faktor
penting yang memajukan adaptasi ekonomi kapitalis.
Kredit memiliki beragam aplikasi dalam kapitalisme. Dua fungsinya
yang paling penting adalah untuk memperluas produksi, dan untuk memfasilitasi
pertukaran. Ketika kecenderungan-dalam (inner tendency) produksi kapitalis
untuk meluas secara tak terhingga membentur dimensi-dimensi terbatas dari
kepemilikan pribadi, maka kredit muncul sebagai suatu sarana untuk mengatasi
batas-batas ini dengan cara kapitalis yang luarbiasa. Melalui kepemilikan
saham, kredit menggabungkan besarnya modal dari sejumlah besar modal-modal
individu. Hal ini memungkinkan masing-masing kapitalis untuk menggunakan uang
para kapitalis lainnya – dalam bentuk kredit industri. Sebagai kredit
komersial, ia mempercepat pertukaran komoditas, sehingga juga mempercepat
kembalinya modal ke dalam produksi, dan dengan begitu berarti membantu
keseluruhan siklus produksi. Cara bagaimana kedua fungsi utama kredit ini
mempengaruhi terbentuknya krisis juga cukup jelas. Jika benar bahwa krisis
timbul sebagai akibat dari kontradiksi yang ada di antara kapasitas perluasan,
kecenderungan produksi untuk meningkat serta kapasitas konsumsi pasar yang
terbatas, maka kredit tepatnya justru merupakan -dalam pandangan seperti
dinyatakan di atas- sarana spesifik yang menyebabkan kontradiksi ini meledak
sesering mungkin. Sebagai permulaannya, kredit secara tidak sebanding meningkatkan
kapasitas perluasan produksi, sehingga menimbulkan suatu kekuatan motif-dalam
(inner motive) yang secara konstan mendesak produksi untuk melampaui
batas-batas pasar. Akan tetapi, kredit menggempur dari dua sisi. Setelah
(sebagai faktor dalam proses produksi) memprovokasi terjadinya produksi
berlebihan, kredit (sebagai faktor dalam pertukaran) juga menghancurkan -selama
masa krisis- kekuatan-kekuatan sangat produktif yang ia ciptakan sendiri.
Pada gejala pertama krisis, kredit memudar. Kredit meninggalkan
pertukaran ketika sesungguhnya ia masih sangat dibutuhkan, sehingga kemudian
kredit nampak menjadi tidak efektif dan tak berguna. Dan ketika pertukaran
masih berlanjut, kredit mengurangi kapasitas konsumsi pasar sampai ke batas
minimal.
Selain menyebabkan dua akibat utama itu, kredit juga
mempengaruhi terbentuknya krisis dengan cara-cara berikut. Kredit memunculkan
sarana teknis yang memungkinkan tersedianya modal bagi seorang pengusaha,
padahal modal itu adalah kepunyaan pemilik lain. Kredit sekaligus merangsang
penggunaan kepemilikan orang lain secara berani dan tanpa peduli benar atau
salah. Ini berarti bahwa kredit memicu terjadinya spekulasi. Kredit tidak hanya
memperparah krisis dalam kapasitasnya sebagai sarana pertukaran yang
tersembunyi, melainkan juga membantu membawa dan memperluas krisis dengan
mentransformasikan semua pertukaran ke dalam suatu mekanisme yang sangat rumit
dan artifisial, yang -karena hanya memiliki tingkat minimal uang logam sebagai
basis riil-nya- mudah sekali diobrak-abrik pada peluang paling kecil sekalipun.
Kini kita melihat bahwa kredit bukannya menjadi instrumen
untuk meniadakan atau mengurangi krisis, melainkan sebaliknya, adalah suatu
instrumen yang luar biasa kuat bagi terbentuknya krisis. Ia tak bisa menjadi sesuatu
selain itu. Kredit menghapuskan kakunya hubungan-hubungan kapitalis yang masih
ada. Ke mana-mana ia mengintrodusir elastisitas sebesar mungkin. Kredit
menyebabkan semua kekuatan kapitalis menjadi bisa diperluas, relatif dan
sensitif secara mutual sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dengan cara ini,
kredit memfasilitasi dan memperparah krisis yang -tak lebih, tak kurang- adalah
tabrakan periodik dari kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam ekonomi
kapitalis.
Hal ini mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan lain.
Mengapa kredit umumnya memiliki penampilan sebagai “sarana adaptasi”
kapitalisme? Tak menjadi persoalan, apapun bentuk atau relasi di mana
“adaptasi“ ini direpresentasikan oleh orang-orang tertentu, namun jelas ia
hanya bisa berisikan kekuasaan untuk meniadakan satu dari beberapa relasi yang
bertentangan dalam ekonomi kapitalis, yakni kekuasaan untuk menekan atau
melemahkan salah satu dari kontradiksi-kontradiksi ini, dan memungkinkan adanya
kebebasan bergerak -pada satu titik atau lainnya- bagi kekuatan-kekuatan
produktif yang, jika tidak dibebaskan, akan terbelenggu. Kenyataannya, memang
kreditlah yang mempertajam kontradiksi-kontradiksi ini sampai ke tingkat yang
paling tinggi. Kredit mempertajam pertentangan antara corak produksi dan corak
pertukaran dengan merentangkan produksi sampai pada batasnya, dan sekaligus
melumpuhkan pertukaran pada dalih yang paling kecil. Kredit mempertajam
pertentangan antara corak produksi dan corak apropriasi (pemakaian tanpa ijin)
dengan memisahkan produksi dari kepemilikan, yakni dengan mentransformasikan
modal yang dipakai dalam produksi menjadi modal “sosial”, dan sekaligus
mentransformasikan sebagian keuntungan -dalam bentuk bunga atas modal- menjadi
suatu hak kepemilikan yang sederhana. Kredit mempertajam pertentangan yang ada
antara relasi-relasi kepemilikan dan relasi-relasi produksi dengan memasukkan
tenaga-tenaga produktif yang sangat besar ke dalam sejumlah kecil tangan, dan
mengambil alih sejumlah besar dari para kapitalis kecil. Akhirnya, kredit
mempertajam pertentangan yang ada antara watak sosial produksi dan kepemilikan
kapitalis swasta dengan menganggap perlu intervensi negara ke dalam produksi.
Singkatnya, kredit mereproduksi semua pertentangan
fundamental dalam dunia kapitalis. Ia memperkuat pertentangan-pertentangan
tersebut. Kredit mempercepat berkembangnya pertentangan itu, sehingga mendesak
dunia kapitalis untuk bergerak maju menuju kehancurannya sendiri. Tindakan
utama adaptasi kapitalis, sejauh berkaitan dengan kredit, seharusnya
betul-betul terwujud dalam penghancuran dan peniadaan kredit. Kenyataannya,
kredit jauh dari bisa menjadi sarana adaptasi kapitalis. Sebaliknya, kredit
merupakan sarana kehancuran dari signifikansi revolusioner yang paling ekstrem.
Apakah watak revolusioner dari kredit ini sebetulnya belum memberi inspirasi
bagi rancangan-rancangan reformasi “sosialis”? Demikianlah, kredit telah
memiliki beberapa tokoh pendukung yang termahsyur, yang beberapa di antaranya
(seperti, Isaac Pereira di Perancis) adalah -sebagaimana disebut oleh Marx-
separoh nabi, separoh bajingan.
Yang sama rapuhnya adalah “sarana adaptasi” yang kedua,
yakni: organisasi-organisasi para majikan. Menurut Bernstein,
organisasi-organisasi seperti itu akan mengakhiri anarki produksi dan
menghapuskan krisis melalui pengaturan produksinya. Pengaruh berlipat-ganda
dari perkembangan kartel dan trust (gabungan perusahaan) belum dipertimbangkan
dengan sangat teliti sampai sekarang. Namun keduanya memprediksikan sebuah permasalahan
yang hanya bisa dipecahkan dengan bantuan teori marxis.
Satu hal yang pasti. Kita bisa berbicara tentang
pembendungan anarki kapitalis melalui biro persekutuan-persekutuan kapitalis
hanya dengan patokan bahwa kartel, trust dan lain-lain lebih-kurang telah
menjadi bentuk dominan dari produksi. Tetapi kemungkinan seperti itu menjadi
terabaikan dengan adanya sifat hakiki dari kartel-kartel. Tujuan ekonomi dan
hasil akhir dari persekutuan-persekutuan itu adalah sebagai berikut. Melalui
peniadaan persaingan dalam suatu cabang produksi tertentu, distribusi sebagian
besar keuntungan yang direalisasikan di pasar dipengaruhi sedemikian rupa,
sehingga terdapat peningkatan saham yang masuk ke cabang industri ini.
Organisasi dalam bidang seperti itu dapat menaikkan tingkat keuntungan pada
satu cabang industri dengan mengorbankan cabang industri lainnya. Itulah
tepatnya mengapa hal tersebut tidak bisa digeneralisir, karena ketika ia
diperluas ke semua cabang industri yang penting, maka kecenderungan ini akan
meniadakan pengaruhnya sendiri.
Lebih jauh lagi, dalam batas-batas penerapan praktisnya,
hasil dari persekutuan-persekutuan tersebut justru adalah kebalikan dari
peniadaan anarki industri. Kartel-kartel biasanya berhasil dalam mendapatkan
suatu peningkatan keuntungan di pasar dalam negeri, dengan cara memproduksi
untuk pasar luar negeri dengan tingkat keuntungan yang lebih rendah, yang
dengan begitu berarti menggunakan porsi tambahan dari modal yang tidak bisa
mereka gunakan untuk kebutuhan-kebutuhan dalam negeri. Maksudnya ialah bahwa
mereka menjual ke luar negeri dengan harga yang lebih murah daripada harga
dalam negeri. Akibatnya adalah menajamnya persaingan di luar negeri – justru
sangat berlawanan dengan apa yang ingin didapati oleh orang-orang tertentu. Hal
ini ditunjukkan secara sangat jelas oleh sejarah industri gula dunia.
Secara umum, persekutuan-persekutuan yang diperlakukan
sebagai suatu manifestasi dari corak produksi kapitalis hanya bisa dipandang
sebagai suatu fase tertentu dari perkembangan kapitalis. Kartel secara
fundamental tak lain adalah suatu cara yang digunakan oleh corak produksi
kapitalis untuk tujuan menahan kejatuhan fatal tingkat keuntungan dalam
cabang-cabang produksi tertentu. Metode apa yang digunakan oleh kartel untuk
tujuan ini? Yaitu dengan mempertahankan agar sebagian dari modal yang
terakumulasi tidak aktif. Maksudnya ialah bahwa mereka menggunakan metode yang
sama, yang dalam bentuk lainnya digunakan di saat krisis. Obat dan sakitnya
menyerupai satu sama lain laksana dua tetes air. Sesungguhnya, obat itu bisa
dianggap tak begitu buruk hanya sampai suatu titik tertentu. Apabila
saluran-saluran pembuangan itu mulai menutup, dan pasar dunia telah diperluas
sampai pada batasnya, serta menjadi kelelahan dengan adanya persaingan di antara
negeri-negeri kapitalis -dan cepat atau lambat pasti tiba- maka sebagian dari
modal yang terpaksa menganggur (menjadi tak berguna) itu akan mencapai
dimensi-dimensi sedemikian rupa, sehingga obat tersebut akan bertransformasi
menjadi suatu penyakit. Dan modal, yang telah cukup banyak “tersosialisasi”
melalui regulasi, akan cenderung berbalik kembali kepada bentuk modal individu.
Berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang meningkat untuk mencari pasar, maka
masing-masing porsi individu dari modal akan memilih untuk mengambil peluang
ini sendirian. Ketika itu, organisasi-organisasi pengatur yang besar akan
meletus seperti gelembung-gelembung busa sabun, dan membuka jalan bagi
persaingan yang menajam.
Oleh karena itu, dalam cara yang umum, kartel, seperti
juga kredit, muncul sebagai suatu fase yang pasti dari perkembangan kapitalis,
yang dalam analisis terakhirnya memperparah anarki dunia kapitalis dan
mengekspresikan serta mematangkan kontradiksi-kontradiksi internalnya.
Kartel-kartel mempertajam pertentangan yang ada antara corak produksi dan
pertukaran dengan mempertajam perjuangan antara produsen dan konsumen, seperti
khususnya kasus Amerika Serikat. Lebih jauh lagi, kartel-kartel mempertajam
pertentangan yang ada antara corak produksi dan corak apropriasi dengan
mempertentangkan -melalui model yang paling brutal- kepada kelas pekerja,
kekuatan superior modal yang terorganisir, yang dengan begitu berarti
meningkatkan antagonime antara modal dan kerja.
Akhirnya, kombinasi-kombinasi kapitalis mempertajam kontradiksi
yang ada antara watak internasional dari ekonomi dunia kapitalis dengan watak
nasional negara – sejauh kombinasi-kombinasi itu selalu disertai dengan perang
tarif secara umum, yang mematangkan perbedaan-perbedaan di antara negara-negara
kapitalis. Untuk hal ini, kita harus menambahkan adanya pengaruh revolusioner
secara tegas oleh kartel-kartel dalam hal konsentrasi produksi, kemajuan
teknis, dan lain-lain.
Dengan kata lain, jika dievaluasi dari sudut dampak akhir
terhadap ekonomi kapitalis, maka kartel dan kredit gagal sebagai “sarana
adaptasi”. Kartel dan trust gagal mengurangi kontradiksi-kontradiksi
kapitalisme. Sebaliknya, kartel dan kredit itu muncul menjadi suatu instrumen
anarki yang lebih besar. Mereka justru mendorong terjadinya perkembangan lebih
lanjut dari kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme. Kartel dan trust
mempercepat datangnya kejatuhan umum kapitalisme.
Namun apabila sistem kredit, kartel dan semacamnya tidak
meniadakan anarki kapitalisme, maka mengapa kita belum mengalami krisis
perdagangan yang besar selama dua dekade, sejak 1873? Apakah ini bukan suatu
tanda bahwa -bertentangan dengan analisis Marx – ternyata corak produksi
kapitalis telah mengadaptasikan diri, setidaknya dengan suatu cara yang umum,
terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat? Begitulah pada tahun 1898 Bernstein
menolak keras teori Marx tentang krisis, padahal sebuah krisis besar pecah pada
tahun 1900. Dan tujuh tahun kemudian, sebuah krisis baru yang mulai muncul di
Amerika Serikat pun memukul pasar dunia. Fakta membuktikan bahwa teori
“adaptasi” itu keliru. Fakta itu juga sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang
yang mengabaikan teori Marx tentang krisis -hanya karena tidak ada krisis yang
terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu- kebingungan antara esensi dari teori
ini dengan salah satu aspek eksteriornya, yakni siklus sepuluh tahunan. Uraian
tentang siklus industri kapitalis moderen sebagai suatu periode sepuluh tahunan
bagi Marx dan Engels di tahun 1860 dan 1870 hanyalah suatu pernyataan sederhana
tentang fakta-fakta. Pernyataan tersebut tidak didasarkan pada suatu hukum
alam, melainkan pada serangkaian situasi historis tertentu yang berhubungan
dengan pesatnya persebaran aktivitas kapitalisme muda.
Dahulu pernah terjadi krisis pada tahun 1825 akibat penanaman
modal yang luas dalam pembangunan jalan raya, kanal, dan kilang gas yang
terjadi selama dekade terdahulu, khususnya di Inggris di mana krisis itu pecah.
Krisis berikutnya pada 1836-1839 secara serupa adalah akibat investasi yang
sangat besar dalam pembangunan sarana transportasi. Krisis tahun 1847
diprovokasi oleh demam pembangunan jalan kereta api di Inggris (sejak 1844
sampai 1847, selama tiga tahun Parlemen Inggris konsesi untuk jalan kereta api
sampai senilai 15 milyar dollar AS). Pada masing-masing dari tiga kasus yang
disebutkan tadi, sebuah krisis muncul setelah basis-basis baru bagi
perkembangan kapitalis terbangun. Pada tahun 1857, akibat yang sama ditimbulkan
oleh pembukaan secara tiba-tiba pasar-pasar baru bagi industri Eropa di Amerika
dan Australia setelah ditemukannya tambang emas dan perluasan pembangunan jalan
kereta api, terutama di Perancis, di mana contoh Inggris ketika itu sangat
ditiru. (Di Perancis sendiri, jalan-jalan kereta api baru sampai senilai 1,25
juta franc dibangun dari 1852 sampai 1856). Dan akhirnya, kita mengalami krisis
besar pada tahun 1873 – sebuah konsekuensi langsung dari booming dahsyat
industri besar di Jerman dan Austria, yang diikuti dengan kejadian-kejadian
politik tahun 1866 dan 1871.
Jadi, sampai sekarang, perluasan tiba-tiba ranah ekonomi
kapitalis -dan bukan penciutannya- setiap kali merupakan penyebab terjadinya
krisis perdagangan. Bahwa krisis internasional berulang sendiri setiap sepuluh
tahun adalah murni suatu fakta eksterior, sebuah persoalan peluang. Rumusan
marxis untuk krisis seperti yang disajikan oleh Engels dalam Anti-Duehring, dan
oleh Marx dalam jilid pertama serta jilid ketiga Kapital, berlaku bagi semua
krisis hanya dalam hal bahwa rumusan tersebut menyingkap mekanisme
internasionalnya serta sebab-sebab pokoknya yang umum.
Krisis bisa berulang sendiri setiap lima atau sepuluh
tahun, ataupun bahkan setiap delapan atau duapuluh tahun. Tetapi apa yang
paling membuktikan kekeliruan teori Bernstein ialah bahwa justru di
negeri-negeri yang mengalami perkembangan terbesar dalam “sarana adaptasi” yang
terkenal -kredit, sarana komunikasi yang disempurnakan, dan trust- itulah,
krisis terbaru (1907-1908) terjadi secara paling ganas.
Keyakinan bahwa produksi kapitalis mampu “mengadaptasikan
diri” terhadap pertukaran mengasumsikan satu dari dua hal: apakah pasar dunia
bisa menyebar secara tak terbatas, atau sebaliknya, perkembangan tenaga
produktif begitu terbelenggu, sehingga tidak bisa melewati batas-batas pasar.
Hipotesis pertama menimbulkan suatu kemustahilan material. Sedangkan hipotesis
kedua dianggap tidak mungkin dengan adanya kemajuan teknis yang konstan, yang
setiap hari menciptakan tenaga-tenaga produktif baru di semua cabang.
Masih ada satu fenomena lain yang, menurut Bernstein,
bertentangan dengan perjalanan perkembangan kapitalis sebagaimana ditunjukkan
di atas. Dalam barisan mantap perusahaan-perusahaan berskala menengah,
Bernstein melihat adanya tanda perkembangan industri besar yang tidak bergerak
dalam arah revolusioner, dan tidaklah seefektif -dilihat dari sudut konsentrasi
industri- seperti yang diperkirakan oleh “teori” keruntuhan. Namun demikian, di
sini Bernstein adalah korban dari kekurang-pahamannya sendiri; karena memandang
lenyapnya perusahaan berskala menengah sebagai akibat pasti dari perkembangan
industri besar, berarti -sangat menyedihkan- salah memahami sifat dari proses
ini.
Menurut teori marxis, dalam kurun umum perkembangan
kapitalis, para kapitalis kecil memainkan peran sebagai pelopor perubahan
teknis. Mereka memiliki peran itu dalam makna ganda. Mereka memulai
metode-metode produksi baru dalam cabang-cabang industri yang telah sangat
mapan; mereka adalah instrumen dalam penciptaan cabang-cabang produksi baru
yang belum dieksploitasi oleh kapitalis besar.
Adalah keliru bila kita membayangkan sejarah
kemapanan-kemapanan kapitalis menengah bergerak dalam garis lurus ke arah
melenyapnya mereka secara progresif. Sebaliknya, kurun perkembangan ini murni
dialektis dan bergerak secara konstan di antara kontradiksi-kontradiksi.
Lapisan-lapisan kapitalis menengah mendapati dirinya -sama seperti pekerja-
berada di bawah pengaruh dua kecenderungan yang bertentangan, yang satu
ascendant (berpengaruh/berkuasa), yang lainnya descendant (menurun/melemah).
Dalam hal ini, kecenderungan descendant adalah terus naiknya skala produksi
yang secara periodik membanjiri dimensi-dimensi paket modal berukuran
rata-rata, dan melepaskannya secara berulang dari arena persaingan dunia. Kecenderungan
ascendant pertama-tama merupakan depresiasi periodik dari modal yang ada, yang
untuk suatu waktu tertentu menurunkan kembali skala produksi sebanding dengan
nilai dari jumlah minimum yang diperlukan modal. Selain itu, hal ini
direpresentasikan oleh penetrasi produksi kapitalis ke dalam ruang-ruang
lingkup baru. Perjuangan perusahaan berskala kecil melawan modal besar tidak
bisa dianggap suatu pertempuran yang bergerak secara reguler, di mana pasukan
dari pihak yang lebih lemah terus memudar secara langsung dan kuantitatif.
Perjuangan itu seharusnya lebih dipandang sebagai berondongan periodik
perusahaan-perusahaan kecil yang dengan pesat tumbuh kembali, hanya akan
diberondong habis sekali lagi oleh industri besar. Kedua kecenderungan itu bermain
bola dengan lapisan-lapisan kapitalis menengah. Kecenderungan yang menurun pada
akhirnya pasti akan menang.
Padahal, justru kebalikannyalah yang benar mengenai
perkembangan kelas pekerja. Kemenangan kecenderungan yang menurun tidak harus
menunjukkan kepada dirinya sendiri menyusutnya bilangan perusahaan-perusahaan
berskala menengah secara mutlak. Ia haruslah menunjukkan kepada dirinya
sendiri, pertama-tama, dalam peningkatan progresif jumlah minimum modal yang
diperlukan untuk pemfungsian perusahaan-perusahaan dalam cabang-cabang produksi
lama. Kedua, dalam penyusutan konstan selang waktu, yang selama itu para
kapitalis kecil melestarikan peluang untuk mengeksploitasi cabang-cabang
produksi baru. Sejauh berkenaan dengan kapitalis kecil, maka akibatnya adalah
masa tinggalnya yang secara progresif lebih pendek dalam industri baru, dan
suatu perubahan yang secara progresif lebih pesat dalam hal metode-metode
produksi sebagai suatu bidang investasi. Untuk strata kapitalis rata-rata, jika
dihitung secara keseluruhan, terdapat suatu proses asimilasi dan disimilasi
yang makin dan makin pesat.
Bernstein sangat memahami hal ini. Dia sendiri
berkomentar tentang hal tersebut. Tetapi yang nampaknya dia lupakan, ialah
bahwa hal ini memang merupakan hukum gerak dari rata-rata perusahaan kapitalis.
Jika seseorang mengakui bahwa para kapitalis kecil adalah pelopor kemajuan
teknis, dan apabila benar bahwa kemajuan teknis merupakan urat nadi ekonomi
kapitalis, maka, bahwa para kapitalis kecil merupakan bagian integral dari perkembangan
kapitalis, adalah sesuatu yang manifes. Dan para kapitalis kecil itu akan
hilang hanya dengan adanya perkembangan kapitalis. Melenyapnya perusahaan
berskala menengah secara progresif -dalam pengertian mutlak yang dipandang oleh
Bernstein- bukanlah berarti, sebagaimana yang dia kira, perjalanan revolusioner
dari perkembangan kapitalis, melainkan justru sebaliknya, adalah penghentian,
perlambatan perkembangan. “Tingkat keuntungan, yakni kenaikan modal secara
relatif,” kata Marx, “adalah penting pertama-tama bagi para penanam modal baru,
yang mengelompok sendiri secara independen. Dan segera setelah pembentukan
modal jatuh secara eksklusif ke dalam sejumlah kapitalis besar, maka api
penyala produksi itu menjadi padam, menjadi sirna.”
3 – Realisasi Sosialisme melalui Reformasi Sosial
Bernstein menolak “teori keruntuhan” sebagai sebuah jalan
historis menuju sosialisme. Lantas apa jalan menuju masyarakat sosialis yang
diajukan oleh “teorinya tentang adaptasi kapitalisme"? Bernstein menjawab
pertanyaan ini hanya dengan kiasan. Namun demikian, Konrad Schmidt berupaya
untuk berkutat dalam hal-hal rinci ini menurut cara berpikir Bernstein. Menurut
Konrad, “perjuangan serikat buruh demi jam kerja dan upah, dan perjuangan
politik untuk reformasi, akan menyebabkan terjadinya kontrol yang secara
progresif lebih luas terhadap kondisi-kondisi produksi,” dan “karena hak-hak
proprietor (pemilik) kapitalis akan dikurangi melalui legislasi [hal-hal yang
berkaitan dengan hukum dan perundang-undangan – penerj.], maka pada waktunya
nanti perannya akan terkurangi hingga hanya menjadi seorang administrator.”
“Para kapitalis akan melihat bahwa kepemilikannya akan makin dan makin
kehilangan nilai bagi dirinya sendiri,” sampai akhirnya “arah dan administrasi
eksploitasi akan direnggut dari dirinya secara keseluruhan,” kemudian
terbangunlah “eksploitasi kolektif”.
Oleh karena itu, serikat-serikat buruh, reformasi sosial
dan -tambah Bernstein- demokratisasi politik negara, adalah sarana untuk
mewujudkan sosialisme secara progresif.
Akan tetapi, kenyataannya ialah bahwa fungsi utama dari
serikat buruh (dan ini dengan sangat baik dijelaskan oleh Bernstein sendiri
dalam Neue Zeit pada tahun 1891) diwujudkan dengan menyediakan bagi buruh suatu
cara untuk menyadari upah yang rendah dari kapitalis, yakni penjualan tenaga
kerja mereka dengan harga pasar masa kini. Serikat buruh memungkinkan
proletariat untuk menggunakan konjungtur [serentetan kejadian, terutama yang
berhubungan dengan kondisi kritis – penerj.] pasar setiap saat. Namun,
konjungtur ini – (1) permintaan akan tenaga kerja yang ditentukan oleh kondisi
produksi, (2) pasokan tenaga kerja yang diciptakan oleh proletarisasi lapisan
menengah di masyarakat serta reproduksi alami dari kelas-kelas pekerja, dan (3)
tingkat sementara produktivitas kerja- tetap berada di luar ruang lingkup
pengaruh serikat buruh. Serikat buruh tidak bisa menekan hukum tentang upah.
Dalam situasi yang paling mendukung, hal paling maksimal yang bisa dilakukan
oleh serikat buruh hanyalah mendesakkan kepada eksploitasi kapitalis, batas
“normal” pada saat itu. Bagaimanapun juga, serikat buruh tidak memiliki
kekuatan untuk menghapuskan eksploitasi itu sendiri, bahkan secara perlahanpun
tidak.
Memang benar, Schmidt memandang gerakan serikat buruh
sekarang ini berada dalam “tahap awal yang lemah”. Dia berharap bahwa “di masa
depan”, “gerakan serikat buruh akan menjalankan pengaruh yang meningkat secara
progresif terhadap pengaturan produksi”. Namun dengan pengaturan produksi, kita
hanya bisa mengerti dua hal: intervensi dalam ranah teknis dan menetapkan skala
produksi itu sendiri. Bagaimana sifat dari pengaruh yang dijalankan oleh
serikat buruh dalam dua bagian ini? Jelas bahwa dalam teknik produksi,
kepentingan kapitalis berkesesuaian -sampai titik tertentu- dengan kemajuan dan
perkembangan ekonomi kapitalis. Kepentingan kapitalis itu sendirilah yang
mendorongnya untuk melakukan perbaikan-perbaikan teknis. Akan tetapi, buruh
yang terisolasi mendapati dirinya dalam posisi yang jelas berbeda. Setiap
transformasi teknis bertentangan dengan kepentingan buruh. Transformasi teknis
memperburuk situasi buruh yang tak berdaya dengan menurunkan nilai tenaga
kerjanya, dan membuat kerja buruh menjadi lebih serius, lebih monoton, dan
lebih sulit.
Sejauh serikat buruh bisa melakukan intervensi ke dalam
bagian teknis dari produksi, maka mereka hanya bisa menentang inovasi teknis.
Namun dalam hal ini, serikat buruh tidaklah bertindak demi kepentingan seluruh
kelas pekerja dan emansipasinya, yang lebih berkesesuaian dengan kemajuan
teknis, sehingga sesuai dengan kepentingan kapitalis yang tertutup. Di sini,
serikat buruh bertindak dalam arah yang reaksioner. Dan pada kenyataannya, kita
memang mendapati upaya-upaya pada sebagian buruh untuk melakukan intervensi ke
dalam bagian teknis dari produksi, bukan di masa mendatang seperti yang
diharapkan oleh Schmidt, melainkan di masa lalu dari gerakan serikat buruh.
Upaya-upaya seperti itu dicirikan oleh fase lama dari trade unionism [serikat
buruhisme – penerj.] Inggris (sampai tahun 1860) ketika organisasi-organisasi
Inggris masih terikat pada sisa-sisa “korporasi” Abad Pertengahan, dan
menemukan inspirasi dalam prinsip usang “upah harian yang adil untuk kerja
harian yang adil,” sebagaimana dinyatakan oleh Webb dalam karyanya Sejarah Trade
Unionism.
Di sisi lain, upaya serikat buruh untuk menetapkan skala
produksi dan harga komoditas merupakan suatu fenomena yang baru muncul.
Baru-baru ini saja kita menyaksikan upaya-upaya seperti itu – dan kembali ini
terjadi di Inggris. Dalam sifat dan kecenderungan-kecenderungannya, upaya-upaya
ini mewakili hal-hal yang disebutkan di atas. Lalu, apa makna dari partisipasi
aktif serikat buruh dalam menetapkan skala dan biaya produksi? Maknanya ialah
sebuah kartel yang terdiri atas para pekerja dan para pengusaha dalam suatu
sikap yang sama menghadapi konsumen, dan terutama menghadapi
pengusaha-pengusaha saingannya. Efek dari hal ini sama sekali tidak berbeda
dengan efek dari asosiasi-asosiasi majikan yang biasanya. Pada dasarnya, dalam
hal ini kita tidak lagi mendapati perjuangan antara modal dan kerja, melainkan
solidaritas antara modal dan kerja melawan keseluruhan konsumen. Jika dipandang
dari nilai sosialnya, serikat buruh terlihat sebagai sebuah gerak reaksioner
yang tidak bisa menjadi sebuah tahap dalam perjuangan untuk emansipasi
proletariat, karena ia mengkonotasikan watak yang sangat bertentangan dengan
perjuangan kelas. Kalau dilihat dari sudut penerapan praktisnya, maka didapati
bahwa serikat buruh merupakan suatu utopia yang -sebagaimana ditunjukkan oleh
penelitian yang berlangsung cepat- tidak bisa diperluas ke cabang-cabang
industri besar yang berproduksi untuk pasar dunia.
Jadi, lingkup gerak serikat buruh secara esensial
terbatas pada perjuangan untuk kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, yakni
terbatas pada upaya-upaya pengaturan oleh eksploitasi kapitalis, seiring dengan
kenyataan bahwa upaya-upaya tersebut memang diperlukan oleh situasi sementara
dari pasar dunia. Namun serikat buruh sama sekali tidak bisa mempengaruhi
proses produksi itu sendiri. Terlebih lagi, perkembangan serikat buruh bergerak
-bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Konrad Schmidt- dalam arah
keterlepasan total pasar tenaga kerja dari hubungan apapun yang sangat dekat
dengan bagian lain dari pasar itu.
Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa, bahkan
upaya-upaya untuk menghubungkan kontrak-kontrak kerja dengan situasi umum
produksi melalui sebuah sistem penggeseran (naik-turun) skala upah, telah
ketinggalan zaman seiring perkembangan sejarah. Serikat-serikat buruh Inggris
kini bergerak makin dan makin menjauh dari upaya-upaya seperti itu.
Bahkan dalam batas-batas efektif dari aktivitasnya,
gerakan serikat buruh tidak bisa menyebar dengan cara yang tak terbatas,
berbeda dengan apa yang di-klaim oleh teori adaptasi. Sebaliknya, apabila kita
meneliti faktor-faktor besar dari perkembangan sosial, kita melihat bahwa kita
tidak sedang bergerak menuju suatu zaman yang ditandai dengan perkembangan
kemenangan serikat buruh, melainkan lebih menuju ke suatu masa ketika kesulitan-kesulitan
serikat buruh akan meningkat. Suatu saat ketika perkembangan industri telah
mencapai titik tertingginya yang paling mungkin, dan kapitalisme telah memasuki
fase menurunnya pada pasar dunia, maka perjuangan serikat buruh akan menjadi
dua kali lipat lebih sulit. Pertama, konjungtur obyektif pasar akan jadi kurang
mendukung bagi para penjual tenaga kerja, karena permintaan tenaga kerja akan
meningkat dengan tingkat yang lebih lambat, dan pasokan tenaga kerja akan lebih
pesat daripada saat sekarang. Kedua, para kapitalis sendiri -untuk menutup
kerugian-kerugian yang diderita di pasar dunia- akan melakukan upaya yang lebih
keras daripada masa sekarang guna mengurangi bagian dari keseluruhan produk
yang mengalir ke buruh (dalam bentuk upah). Pengurangan upah itu -sebagaimana
dijelaskan oleh Marx- adalah salah satu cara utama untuk menghambat jatuhnya
tingkat keuntungan. Situasi di Inggris telah memberikan kepada kita suatu
gambaran tentang permulaan tahap kedua dari perkembangan serikat buruh. Aksi
serikat buruh berkurang arti pentingnya sampai hanya berupa tindakan
mempertahankan hasil-hasil yang telah dicapai, bahkan itu pun kini menjadi
makin dan makin sulit. Situasi seperti itu adalah kecenderungan umum dari
hal-hal yang terjadi di masyarakat kita. Pengimbang bagi kecenderungan ini
seharusnya adalah perkembangan sisi politik dari perjuangan kelas.
Konrad Schmidt melakukan kesalahan yang sama tentang
perspektif sejarah ketika dia membahas reformasi sosial. Dia mengharapkan bahwa
reformasi sosial -seperti organisasi-organisasi serikat buruh- akan “mendikte
para kapitalis dengan syarat-syarat, yang hanya dengan itu mereka akan bisa
mempekerjakan tenaga kerja.” Melihat reformasi dari sudut pandang ini,
Bernstein menyebut legislasi tentang kerja sebagai sekeping “kontrol sosial”,
dan yang demikian itu berarti sekeping sosialisme. Secara serupa, Konrad Schmidt
selalu menggunakan istilah “kontrol sosial” ketika dia mengacu pada hukum-hukum
perlindungan tenaga kerja. Sehingga ketika dengan senang hati ia mengubah
negara menjadi masyarakat, ia pun menambahkan: “Maksudnya adalah kelas pekerja
yang bangkit.” Akibat dari trik substitusi ini, Undang-Undang tentang Kerja
-bersifat apa adanya- yang diundangkan oleh Dewan Federal Jerman, diubah
menjadi langkah-langkah sosialis bersifat peralihan yang dianggap diundangkan
oleh proletariat Jerman.
Mistifikasinya terlihat jelas. Kita tahu bahwa negara
yang ada sekarang ini bukanlah “masyarakat” yang mewakili “kelas pekerja yang
bangkit”. Negara itu sendiri adalah representasi dari masyarakat kapitalis. Ia
adalah sebuah negara kapitalis. Karena itu, langkah-langkah reformasi bukanlah
suatu penerapan “kontrol sosial”, yaitu kontrol dari masyarakat yang bekerja
dengan bebas dalam proses kerjanya sendiri. Langkah-langkah reformasi adalah
bentuk-bentuk kontrol yang diterapkan oleh organisasi kelas dari modal terhadap
produksi modal. Ya, Bernstein dan Konrad Schmidt sekarang ini hanya melihat
“permulaan yang lemah” dari kontrol ini. Mereka berharap untuk melihat suatu
suksesi panjang reformasi-reformasi di masa mendatang, yang kesemuanya
mendukung kelas pekerja. Akan tetapi, dalam hal ini mereka melakukan kesalahan
yang serupa dengan keyakinan mereka akan perkembangan gerakan serikat buruh
yang tak terbatas.
Syarat pokok bagi teori pencapaian sosialisme secara
perlahan melalui reformasi-reformasi sosial adalah perkembangan obyektif
tertentu dari kepemilikan kapitalis dan perkembangan obyektif tertentu dari
negara. Konrad Schmidt mengatakan bahwa proprietor kapitalis cenderung untuk
kehilangan hak-hak istimewanya seiring dengan perkembangan sejarah, dan akan
terkurangi perannya hanya menjadi sekedar administrator. Dia mengira bahwa
pengambil-alihan alat produksi tidak mungkin bisa dilaksanakan sebagai suatu
tindakan historis tunggal. Karena itu, dia terpaksa menggunakan teori
pengambil-alihan secara bertahap. Dengan pemikiran ini, Konrad membagi hak atas
kepemilikan menjadi (1) hak “kedaulatan” (kepemilikan) -yang dia lekatkan pada
sesuatu yang disebut “masyarakat”, dan yang dia inginkan untuk meluas- dan (2)
lawannya, yaitu hanya hak guna yang dipegang oleh kapitalis, namun yang dianggap
akan terkurangi di tangan para kapitalis, hingga hanya menjadi semata-mata
administrasi atas perusahaan-perusahaan mereka.
Interpretasi ini bisa jadi hanya merupakan permainan
kata-kata, dan dalam hal ini berarti teori tentang pengambil-alihan secara
perlahan tidak memiliki basis yang riil, atau ia merupakan gambaran sejati dari
perkembangan yudisial, di mana kita akan melihat bahwa teori pengambil-alihan
secara perlahan itu sama sekali keliru.
Pembagian hak atas kepemilikan menjadi beberapa komponen
hak, yakni sebuah konsep yang memberi legitimasi bagi Konrad Schmidt agar bisa
menyusun teorinya tentang “pengambil-alihan secara bertahap”, menunjukkan ciri
masyarakat feodal yang didirikan berdasarkan ekonomi alami. Dalam feodalisme,
keseluruhan produk dibagi di antara kelas-kelas sosial di masa itu berdasarkan
hubungan-hubungan pribadi yang ada antara tuan tanah dengan hamba ataupun
penyewanya. Penguraian kepemilikan menjadi beberapa hak parsial mencerminkan
cara distribusi kekayaan sosial pada periode itu. Dengan berjalannya proses
menuju produksi komoditas dan diputuskannya semua ikatan pribadi di antara para
peserta dalam proses produksi, maka hubungan antara manusia dan benda (yakni
kepemilikan pribadi) secara resiprokal menjadi lebih kuat. Karena pembagian itu
tidak lagi dilakukan berdasarkan hubungan-hubungan pribadi, melainkan melalui
pertukaran, maka hak-hak berbeda atas suatu bagian dalam kekayaan sosial tidak
lagi dihitung sebagai bagian-bagian dari hak-hak properti yang memiliki
kepentingan yang sama. Hak-hak yang berbeda itu dihitung berdasarkan nilai yang
dibawa oleh masing-masing hak itu di pasar.
Perubahan pertama yang diintrodusir ke dalam
hubungan-hubungan yuridis dengan adanya kemajuan produksi komoditas pada
komune-komune perkotaan Abad Pertengahan adalah perkembangan dari kepemilikan
pribadi yang absolut. Kepemilikan pribadi yang absolut ini muncul di antara
hubungan-hubungan yuridis feodal. Perkembangan ini telah bergerak maju dengan
langkah pesat dalam produksi kapitalis. Makin proses produksi tersosialisasi,
maka proses distribusi (pembagian kekayaan) semakin bertumpu pada pertukaran.
Dan makin kepemilikan pribadi menjadi tak bisa dilanggar dan tertutup, maka
kepemilikan kapitalis menjadi semakin tertransformasikan dari hak atas hasil
kerja seseorang itu sendiri menjadi hak untuk menggunakan (tanpa ijin) kerja
dari seseorang yang lain. Selama kapitalis itu sendiri yang mengelola
pabriknya, maka distribusi masih -sampai titik tertentu- terikat pada
partisipasi pribadinya dalam proses produksi. Namun seiring dengan manajemen
pribadi pada bagian kapitalis menjadi berlebihan -yang ini merupakan kasus
dalam masyarakat-masyarakat pemegang saham di masa sekarang- maka properti
modal, sejauh berkenaan dengan haknya atas bagian dalam distribusi (pembagian
kekayaan), menjadi terpisah dari hubungan pribadi apapun dengan produksi. Ia
kini muncul dalam bentuknya yang paling murni. Hak kapitalis atas properti
mencapai perkembangannya yang paling sempurna dalam modal yang dipegang dalam
bentuk saham-saham dan kredit industri.
Demikianlah skema historis Konrad Schmidt, yang
menelusuri transformasi kapitalis “dari seorang proprietor menjadi
administrator semata”, ternyata memberi gambaran keliru tentang perkembangan
sejarah yang riil. Sebaliknya, dalam realitas sejarah, kapitalis cenderung
berubah dari proprietor dan administrator menjadi proprietor semata. Dalam hal
ini, apa yang terjadi pada Konrad Schmidt, telah pula terjadi pada Goethe:
Apa yang nyata, ia lihat sebagaimana yang ada dalam
mimpi.
Apa yang tak lagi nyata, baginya menjadi nyata.
Karena skema sejarah Schmidt secara ekonomi berjalan
mundur dari suatu masyarakat pemegang saham menuju bengkel pengrajin, maka
secara yuridis dia berkehendak untuk memimpin dunia kapitalis mundur kembali
kepada rangka feodal lama Abad Pertengahan.
Dari sudut pandang ini pula, “kontrol sosial” dalam
realitas ternyata muncul dalam aspek yang berbeda dengan apa yang dilihat oleh
Konrad Schmidt. Apa yang sekarang ini berfungsi sebagai “kontrol sosial”
-legislasi tentang kerja, kontrol organisasi-organisasi industri melalui
kepemilikan saham, dan lain-lain- sama sekali tidak ada hubungannya dengan
konsepnya tentang “kepemilikan yang maha tinggi”. Jauh dari -sebagaimana
diyakini oleh Schmidt- asumsi terjadinya pengurangan kepemilikan kapitalis,
sebaliknya “kontrol sosial” itu tak lain adalah perlindungan atas kepemilikan
kapitalis. Atau, kalau diungkapkan dari sudut pandang ekonomi, “kontrol sosial“
itu bukanlah suatu ancaman terhadap eksploitasi kapitalis, melainkan hanyalah
pengaturan eksploitasi. Jika Bernstein bertanya apakah ada sedikit-banyak
sosialisme dalam suatu Undang-Undang perlindungan tenaga kerja, maka kita bisa
meyakinkan dia bahwa sebaik-baiknya Undang-Undang perlindungan tenaga kerja,
tak ada lagi “sosialisme” selain sekedar sebuah ordonansi kotapraja yang
mengatur soal pembersihan jalan ataupun hidup/matinya lampu jalan.
4 – Kapitalisme dan Negara
Syarat kedua dari realisasi sosialisme secara perlahan,
menurut Bernstein, adalah evolusi negara dalam masyarakat. Telah menjadi
sesuatu yang lumrah untuk mengatakan bahwa negara yang ada sekarang ini adalah
negara kelas. Hal ini juga, seperti segala sesuatu yang mengacu pada masyarakat
kapitalis, hendaknya tidak dipahami dengan cara yang absolut dan kaku, melainkan
secara dialektis.
Negara menjadi kapitalis karena adanya kemenangan politik
borjuasi. Perkembangan kapitalis mengubah secara esensial watak negara,
memperluas lingkup tindakan negara, secara konstan memaksakan fungsi-fungsi
baru pada negara (khususnya fungsi-fungsi yang mempengaruhi kehidupan ekonomi),
membuat intervensi dan kontrol negara dalam masyarakat menjadi makin dan makin
diperlukan. Dalam hal ini, perkembangan kapitalis sedikit demi sedikit
menyiapkan penggabungan (fusi) negara dengan masyarakat di masa depan.
Maksudnya ialah bahwa perkembangan kapitalis menyiapkan kembalinya negara
kepada masyarakat. Mengikuti garis pikiran ini, seseorang bisa berbicara
tentang evolusi negara kapitalis menjadi masyarakat, dan ini tak ragu lagi
adalah apa yang ada dalam pikiran Marx ketika ia mengacu pada legislasi tentang
kerja sebagai intervensi secara sadar yang pertama dari “masyarakat” dalam
proses sosial yang vital. Sebuah frasa yang kepadanya Bernstein sangat
bergantung.
Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan kapitalis yang
sama mewujudkan transformasi lain dalam hal watak negara. Negara yang ada
sekarang pertama-tama adalah sebuah organisasi dari kelas yang
berkuasa/memerintah. Ini mengasumsikan fungsi-fungsi yang mendukung
perkembangan sosial, khususnya karena -dan dalam ukuran bahwa-
kepentingan-kepentingan ini dan perkembangan-perkembangan sosial sesuai -dalam
model yang umum- dengan kepentingan-kepentingan dari kelas yang dominan.
Legislasi tentang kerja diundangkan berdasarkan kepentingan mendesak kelas
kapitalis, selaras dengan kepentingan masyarakat secara umum. Tetapi harmoni
ini hanya bertahan sampai suatu titik tertentu dari perkembangan kapitalis.
Ketika perkembangan kapitalis telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka
kepentingan borjuasi sebagai sebuah kelas, dan kebutuhan akan kemajuan ekonomi,
mulai berbenturan, bahkan dalam makna kapitalis. Kita percaya bahwa fase ini
telah dimulai. Ia mewujudkan diri dalam dua fenomena yang sangat penting dari
kehidupan sosial kontemporer: di satu sisi, kebijakan tentang proteksi tarif
dan di sisi lain, militerisme. Kedua fenomena ini telah memainkan peran yang
sangat dibutuhkan dan -dalam makna itu- bersifat revolusioner sepanjang sejarah
kapitalisme. Tanpa adanya proteksi tarif, perkembangan industri besar akan
menjadi mustahil di beberapa negeri. Namun sekarang situasinya berbeda.
Sekarang ini, proteksi tidak begitu berperan dalam
mengembangkan industri muda untuk secara artifisial mempertahankan
bentuk-bentuk produksi tertentu yang sudah tua.
Dari sudut perkembangan kapitalis, yakni dari titik
pandang dunia ekonomi, hanyalah persoalan kecil apakah Jerman mengekspor lebih
banyak barang dagangan ke Inggris, ataukah Inggris mengekspor lebih banyak
barang dagangan ke Jerman. Dari sudut pandang perkembangan ini, bisa dikatakan
bahwa sang blackamoor telah melakukan pekerjaannya, dan kini waktunya bagi dia
untuk berjalan dengan caranya sendiri. Dengan adanya kondisi tertentu berupa
ketergantungan resiprokal, yang itu didapati oleh berbagai cabang industri,
maka suatu tarif proteksionis pada komoditas apapun akan mengakibatkan naiknya
biaya produksi komoditas-komoditas lainnya di dalam negeri itu. Karena itu, ia
merintangi perkembangan industri. Tetapi tidaklah demikian halnya dari sudut
pandang kepentingan kelas kapitalis. Walaupun industri tidak memerlukan
proteksi tarif untuk perkembangannya, namun bisnis memerlukan tarif untuk
melindungi pasarnya. Ini menandakan bahwa di masa sekarang, tarif tidak lagi
berfungsi sebagai sarana untuk melindungi suatu bagian kapitalis yang sedang
berkembang terhadap bagian-bagian lain yang sudah lebih maju. Tarif kini adalah
senjata yang digunakan oleh satu kelompok kapitalis nasional untuk menghadapi
kelompok lainnya. Lebih jauh, tarif kini bukan lagi merupakan instrumen
proteksi bagi industri dalam geraknya untuk menciptakan dan menguasai pasar
dalam negeri. Tarif sekarang ini adalah sarana yang sangat dibutuhkan untuk
kartelisasi industri, yakni sarana yang digunakan dalam perjuangan para
produsen kapitalis untuk menghadapi masyarakat konsumen dalam agregat itu. Apa
yang dengan cara empatik menjelaskan karakter spesifik dari kebijakan-kebijakan
tentang pajak impor kontemporer adalah fakta bahwa sekarang ini bukan industri,
melainkan pertanian lah yang memainkan peran utama dalam penentuan tarif.
Kebijakan tentang proteksi pajak impor telah menjadi suatu alat untuk
mengkonversikan dan mengekspresikan kepentingan-kepentingan feodal dalam bentuk
kapitalis.
Perubahan yang sama telah terjadi dalam militerisme.
Apabila kita mempertimbangakan sejarah seperti apa adanya dulu, bukan apa yang
bisa jadi atau seharusnya bisa jadi, maka kita harus mengakui bahwa perang
telah menjadi bagian istimewa yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan
kapitalis. Amerika Serikat, Jerman, Italia, negara-negara Balkan, Polandia,
semuanya berhutang budi kepada perang untuk perkembangan kapitalisnya, baik
perang itu berakhir dengan kemenangan ataupun dengan kekalahan. Selama ada
negeri-negeri yang ditandai dengan pembagian politik atau isolasi ekonomi
internal yang harus dihancurkan, maka militerisme memainkan sebuah peran
revolusioner jika dilihat dari sudut pandang kapitalisme. Namun sekarang ini
situasinya berbeda. Jika politik dunia telah menjadi tahap yang mengancam
munculnya konflik-konflik, maka ia bukan lagi merupakan persoalan terbukanya
negeri-negeri baru bagi kapitalisme. Ia adalah persoalan yang telah ada dalam
pertikaian-pertikaian Eropa, yang kemudian dikirimkan ke negeri-negeri lain,
lalu meledak di sana. Lawan-lawan bersenjata yang kini kita lihat di Eropa dan
benua-benua lainnya tidak membariskan diri sebagai negeri-negeri kapitalis di
satu sisi, dan sebagai negeri-negeri terbelakang di sisi lain. Mereka adalah
negara-negara yang dipaksa berperang, khususnya sebagai akibat perkembangan kapitalisnya
yang maju secara serupa. Dalam pandangan ini, sebuah ledakan pasti akan fatal
bagi perkembangan itu, dalam hal bahwa ia pasti memprovokasi kekacauan yang
sangat mendalam dan transformasi kehidupan ekonomi di semua negeri.
Namun demikian, persoalan ini muncul secara sama sekali
berbeda jika dilihat dari pandangan kelas kapitalis. Bagi kelas kapitalis,
militerisme telah menjadi sangat dibutuhkan. Pertama, sebagai suatu sarana
perjuangan untuk membela kepentingan “nasional” dalam persaingan melawan
kelompok-kelompok “nasional” lainnya. Kedua, sebagai suatu metode penempatan
untuk modal finansial dan industri. Ketiga, sebagai suatu instrumen dominasi
kelas terhadap populasi pekerja di dalam negeri. Di dalam dirinya sendiri,
kepentingan-kepentingan ini tidak memiliki kesamaan dengan perkembangan corak
produksi kapitalis. Apa yang paling menunjukkan karakter khusus dari
militerisme sekarang ini adalah fakta bahwa militerisme berkembang secara umum
di semua negeri sebagai suatu akibat -boleh dikatakan- dari kekuatan motif
internalnya sendiri yang mekanis. Sebuah fenomena yang sama sekali belum
dikenal beberapa dekade yang lalu. Kita mengenali hal ini dalam karakter fatal
dari ledakan di ambang pintu yang tak terhindarkan, meskipun terdapat keraguan
total mengenai tujuan-tujuan dan motif-motif konflik. Perkembangan militerisme
telah berubah dari motor kapitalis, menjadi suatu penyakit kapitalis.
Dalam perbenturan antara perkembangan kapitalis dan
kepentingan kelas yang dominan, negara mengambil posisi di pihak kelas yang
dominan. Kebijakan negara, seperti juga kebijakan borjuasi, menjadi berkonflik
dengan perkembangan sosial. Dengan begitu, negara makin dan makin kehilangan
karakternya sebagai representasi dari keseluruhan masyarakat, dan dengan
tingkat yang sama pula bertransformasi menjadi murni sebuah negara kelas. Atau
lebih tepatnya, dua kualitas ini semakin membedakan diri dari satu sama lain,
dan mendapati dirinya pada hubungan yang bertentangan dalam watak hakiki
negara. Kontradiksi ini secara progresif menjadi bertambah tajam. Ini karena di
satu sisi, kita mengalami pertumbuhan fungsi-fungsi dari suatu kepentingan umum
pada bagian negara, intervensinya dalam kehidupan sosial, “kontrol"nya
terhadap masyarakat. Namun, di sisi lain, karakter kelasnya mengharuskan negara
untuk makin dan makin menggerakkan poros aktivitas dan alat kekerasannya ke
dalam ranah-ranah yang berguna hanya bagi karakter kelas borjuasi, sedangkan
bagi masyarakat secara keseluruhan hanyalah mendatangkan arti penting yang
negatif, sebagaimana dalam hal militerisme serta kebijakan-kebijakan tarif dan
kolonial. Terlebih lagi, “kontrol sosial” yang dipraktekkan oleh negara ini
sekaligus menerobos dengan -dan didominasi oleh- karakter kelasnya (lihatlah
bagaimana legalisasi tentang kerja diterapkan di semua negeri).
Perluasan demokrasi, yang dilihat Bernstein sebagai suatu
sarana untuk mewujudkan sosialisme secara bertahap, tidaklah bertentangan,
justru sebaliknya secara sempurna berkesesuaian dengan transformasi yang
diwujudkan dalam watak negara.
Konrad Schmidt menyatakan bahwa kemenangan suatu
mayoritas sosial-demokratik di parlemen akan secara langsung menyebabkan
terjadinya "sosialisasi” masyarakat. Kini, bentuk-bentuk demokratis dari
kehidupan politik tak ragu lagi merupakan fenomena yang mengekspresikan secara
jelas evolusi negara dalam masyarakat. Bentuk-bentuk demokratis ini pada batas
itu memang menimbulkan suatu gerak menuju suatu transformasi sosialis. Tetapi
konflik di dalam negara kapitalis seperti diuraikan di atas, termanifestasi
sendiri bahkan secara lebih empatik dalam parlementarisme moderen.
Sesungguhnya, sesuai dengan dengan bentuknya, parlementarisme berfungsi untuk
mengekspresikan -di dalam organisasi negara-kepentingan-kepentingan dari
seluruh masyarakat. Namun apa yang diekspresikan oleh parlementarisme di sini
adalah masyarakat kapitalis, yaitu suatu masyarakat di mana
kepentingan-kepentingan kapitalis lebih berkuasa. Dalam masyarakat seperti ini,
lembaga-lembaga perwakilan yang demokratis dalam bentuknya, ternyata dalam
isinya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa. Hal ini
termanifestasi sendiri dengan model yang nyata dalam fakta bahwa segera setelah
demokrasi menunjukkan kecenderungan untuk menegasikan karakter kelasnya dan
mulai tertransformasikan menjadi instrumen dari kepentingan riil populasi, maka
bentuk-bentuk demokratis itupun dikorbankan oleh borjuasi dan oleh wakil-wakil
negaranya. Itulah mengapa ide tentang penaklukan oleh suatu mayoritas reformis
parlementer merupakan perhitungan yang -sepenuhnya dalam semangat liberalisme
borjuis- berasyik-asyik sendiri hanya memikirkan satu sisi, yakni sisi formal
demokrasi, namun tidak mempertimbangkan sisi lainnya, yakni kandungan
sesungguhnya dari demokrasi. Seluruhnya, parlementarisme bukanlah suatu elemen
sosialis langsung yang membuahi seluruh masyarakat kapitalis secara perlahan.
Sebaliknya, parlementarisme adalah bentuk spesifik dari negara kelas borjuis
yang membantu mematangkan dan mengembangkan pertentangan-pertentangan yang kini
ada dalam kapitalisme.
Dari sudut sejarah perkembangan obyektif negara,
keyakinan Bernstein dan Konrad Schmidt bahwa “kontrol sosial” yang meningkat
menghasilkan pengantar langsung menuju sosialisme, tertransformasikan menjadi
suatu rumusan yang mendapati dirinya sendiri semakin berkontradiksi dengan
realitas dari hari ke hari.
Teori introduksi sosialisme secara perlahan mengajukan
reformasi progresif terhadap kepemilikan kapitalis dan negara kapitalis dalam
arahan sosialisme. Namun, sebagai konsekuensi dari hukum-hukum obyektif
masyarakat yang kini ada, satu dan lainnya berkembang dalam arah yang persis
berlawanan. Proses produksi semakin tersosialisasi, dan intervensi negara,
yakni kontrol negara terhadap proses produksi, menjadi semakin luas. Tetapi
pada saat yang sama, properti pribadi makin dan makin menjadi bentuk dari
eksploitasi kapitalis secara terbuka terhadap kerja orang lain, dan kontrol
negara diterobos dengan adanya kepentingan-kepentingan eksklusif dari kelas
yang berkuasa. Negara (organisasi politik dari kapitalisme) dan
hubungan-hubungan kepemilikan (organisasi yuridis dari kapitalisme) menjadi
semakin bersifat kapitalis, dan bukan sosialis, menghadapkan pada teori
introduksi sosialisme secara progresif, dua kesulitan yang tak bisa
ditanggulangi.
Skema Fourier tentang mengubah air -melalui sebuah sistem
phalansteries- di seluruh laut menjadi limun yang sedap tentunya merupakan ide
yang fantastis. Tetapi Bernstein, dengan mengajukan gagasan untuk mengubah
lautan kepahitan kapitalis menjadi lautan manisnya sosialis dengan secara
progresif menuangkan limun reformis sosial ke dalam lautan itu, sesungguhnya
menyajikan sebuah ide yang sekedar menjadi makin hambar, namun tak lagi
fantastis.
Relasi-relasi produksi di masyarakat kapitalis makin dan
makin mendekati relasi-relasi produksi masyarakat sosialis. Tetapi di sisi
lain, hubungan-hubungan politik dan yuridisnya menegakkan tembok kokoh di
antara masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Tembok ini belum hancur,
namun sebaliknya diperkuat dan dikonsolidasikan oleh perkembangan reformasi
sosial dan jalannya demokrasi. Hanya pukulan palu revolusi, yakni penaklukan
kekuasaan politik oleh proletariat lah yang bisa menghancur-leburkan tembok
itu.
5 – Konsekuensi Reformisme Sosial dan Watak Umum
Revisionisme
Di bab pertama kami bermaksud menunjukkan bahwa teori
Bernstein mencabut program gerakan sosialis lepas dari basis materialnya, dan
berusaha meletakkan program gerakan sosialis di atas suatu basis yang idealis.
Bagaimana teori ini berjalan ketika diterjemahkan ke dalam praktek?
Berdasarkan perbandingan pertama, praktek partai sebagai
akibat dari teori Bernstein tidaklah nampak berbeda dengan praktek yang dianut
oleh sosial-demokrasi sampai sekarang. Dahulu, aktivitas Partai
Sosial-Demokrasi terdiri atas kerja serikat buruh, agitasi untuk memperjuangkan
reformasi-reformasi sosial dan demokratisasi lembaga-lembaga politik yang ada.
Perbedaannya bukanlah pada apa, melainkan pada bagaimana.
Sekarang ini, perjuangan serikat buruh dan praktek
parlementer dianggap sebagai sarana pembinaan dan pendidikan proletariat dalam
persiapan untuk tugas merebut kekuasaan. Dari sudut pandang revisionis,
penaklukan kekuasaan ini adalah mustahil sekaligus sia-sia. Dan karenanya,
aktivitas serikat buruh dan parlementer hendak dilaksanakan oleh partai hanya
demi mencapai hasil-hasilnya yang mendesak, yakni untuk tujuan memperbaiki
kondisi buruh yang kini ada, mengurangi eksploitasi kapitalis secara perlahan,
dan perluasan kontrol sosial.
Dengan demikian, apabila kita tidak mempertimbangkan
perbaikan sementara kondisi buruh yang mendesak -sebuah tujuan yang sama baik
bagi program partai kita, maupun bagi revisionisme- maka perbedaan antara dua
pandangan ini secara singkat adalah sebagai berikut. Menurut konsepsi partai
yang kini ada, aktivitas serikat buruh dan parlementer itu penting bagi gerakan
sosialis, karena aktivitas seperti itu bisa menyiapkan proletariat, yakni
menciptakan faktor subyektif dari transformasi sosialis, demi tugas untuk
mewujudkan sosialisme. Tetapi menurut Bernstein, aktivitas serikat buruh dan
parlementer secara perlahan akan mengurangi eksploitasi kapitalis itu sendiri.
Aktivitas tersebut akan melepaskan karakter kapitalis dari masyarakat kapitalis.
Aktivitas tersebut akan secara obyektif mewujudkan perubahan sosial yang
diinginkan.
Apabila diteliti secara seksama, kita akan melihat bahwa
kedua konsepsi itu secara diametris bertentangan. Memandang situasi itu dari
sudut pandang partai kita sekarang ini, kita katakan bahwa sebagai hasil dari
perjuangan-perjuangan serikat buruh dan parlementer, proletariat menjadi yakin
akan mustahilnya pencapaian suatu perubahan sosial yang fundamental melalui
aktivitas seperti itu, sehingga sampai pada pemahaman bahwa penaklukan
kekuasaan adalah tak terhindarkan. Bagaimanapun juga, teori Bernstein dimulai
dengan menyatakan bahwa penaklukan seperti itu mustahil. Teori Bernstein
menarik kesimpulan dengan menegaskan bahwa sosialisme hanya bisa diintrodusir
sebagai hasil dari perjuangan serikat buruh dan aktivitas parlementer. Karena,
sebagaimana dilihat oleh Bernstein, aksi serikat buruh dan parlementer memiliki
suatu karakter sosialis, karena ia menjalankan pengaruh sosialisasi secara
progresif terhadap ekonomi kapitalis.
Kita telah coba menunjukkan bahwa pengaruh semacam itu
murni bersifat imajiner. Hubungan-hubungan antara properti kapitalis dan negara
kapitalis berkembang dalam arah yang sama sekali berlawanan, sehingga aktivitas
praktis sehari-hari dari Sosial-Demokrasi sekarang ini kehilangan -dalam
analisis terakhir- semua hubungannya dengan kerja untuk mencapai sosialisme.
Dari sudut pandang sebuah gerakan untuk mencapai sosialisme, perjuangan serikat
buruh dan praktek parlementer kita amatlah penting sejauh keduanya membuat
pemahaman serta kesadaran proletariat menjadi sosialistik, dan membantu dalam
mengorganisir proletariat sebagai sebuah kelas. Namun ketika perjuangan serikat
buruh dan praktek parlementer dianggap sebagai instrumen untuk melakukan sosialisasi
secara langsung terhadap ekonomi kapitalis, maka keduanya tidak hanya
kehilangan efektivitasnya yang lazim, melainkan juga tak lagi menjadi sarana
untuk menyiapkan kelas pekerja bagi penaklukan kekuasaan. Eduard Bernstein dan
Konrad Schmidt sama sekali salah mengerti ketika keduanya menghibur diri dengan
keyakinan bahwa, meskipun program partai direduksi hanya menjadi kerja untuk
mencapai reformasi-reformasi sosial dan kerja serikat buruh seperti biasa,
namun tujuan akhir gerakan buruh tidaklah menjadi percuma, karena setiap
langkah majunya bergerak melampaui tujuan jangka pendek tertentu, dan tujuan
sosialis terimplikasi sebagai suatu kecenderungan dari kemajuan yang
dikehendaki.
Tentu saja hal itu benar berkenaan dengan
Sosial-Demokrasi Jerman. Hal tersebut benar, bilamana sebuah upaya yang tegas
dan sadar untuk penaklukan kekuasaan politik menyuburkan perjuangan serikat
buruh dan kerja untuk mencapai reformasi-reformasi sosial. Tetapi apabila upaya
ini dipisahkan dari gerakan itu sendiri, dan reformasi-reformasi sosial dengan
begitu dijadikan semata-mata sebagai tujuan, maka aktivitas tersebut bukan
hanya tidak mengarah pada tujuan akhir sosialisme, melainkan bahkan bergerak
dalam arah yang persis bertentangan.
Konrad Schmidt terjerumus pada ide bahwa jika suatu
gerakan yang ternyata bersifat mekanis telah dimulai, maka ia tidak bisa
berhenti sendiri, karena “selera seseorang justru tumbuh ketika makan,” dan
kelas pekerja disangka tidak akan berpuas diri dengan reformasi-reformasi
sampai transformasi akhir sosialis terwujud.
Memang kondisi yang disebutkan terakhir tadi cukup riil.
Efektivitasnya dijamin oleh amat tidak memadainya reformasi kapitalis. Akan
tetapi, kesimpulan yang ditarik dari hal itu hanya bisa menjadi benar jika
memang memungkinkan untuk membangun sebuah rantai reformasi yang terus
memanjang dan tak terputus, yang beranjak dari kapitalisme masa kini menuju
sosialisme. Ini tentu saja hanya fantasi belaka. Sesuai dengan sifat segala
sesuatu sebagaimana adanya, rantai akan putus dengan cepat, dan jalur yang bisa
diambil oleh gerakan mulai saat itu, yang diharapkan untuk maju, adalah banyak
dan bervariasi.
Apa akibat yang segera akan terjadi jika partai kita
harus mengubah prosedur umumnya untuk disesuaikan dengan sudut pandang yang ingin
menekankan perhatian pada hasil-hasil praktis dari perjuangan kita? Segera
setelah “hasil-hasil jangka pendek” menjadi tujuan utama aktivitas kita, maka
hal nyata yang tak terdamaikan dengan sudut pandang yang baru akan memiliki
makna jikalau ia mengajukan konsep untuk memenangkan kekuasaan, akan didapati
makin dan makin sulit. Konsekuensi langsung dari hal ini akan berupa adopsi
oleh partai terhadap “kebijakan kompensasi”, yakni suatu kebijakan perdagangan
politis, dan sebuah sikap yang kurang percaya diri, perdamaian diplomatis.
Tetapi sikap ini tidak bisa berlanjut untuk waktu yang lama, karena reformasi
sosial hanya bisa menawarkan janji kosong. Konsekuensi logis dari program
seperti itu pastilah berupa kekecewaan.
Tidaklah benar bahwa sosialisme bisa muncul secara
otomatis dari perjuangan sehari-hari kelas pekerja. Sosialisme akan menjadi
konsekuensi dari (1) kontradiksi-kontradiksi yang tumbuh di dalam ekonomi
kapitalis, dan (2) pemahaman oleh kelas pekerja tentang tak terhindarkannya
penghapusan kontradiksi-kontradiksi ini melalui transformasi sosial. Apabila
-dengan cara revisionisme- syarat pertama disanggah dan syarat kedua ditolak,
maka gerakan buruh akan mendapati diri tereduksi menjadi semata-mata gerakan
yang kooperatif dan reformis. Ini berarti kita bergerak dalam garis lurus
menuju pengabaian total sudut pandang kelas.
Konsekuensi ini juga menjadi nyata apabila kita meneliti
karakter umum revisionisme. Jelas bahwa revisionisme tidak ingin mengakui bahwa
sudut pandangnya adalah sikap apologis kapitalis. Revisionisme tidak bergabung
dengan ekonom-ekonom borjuis dalam menolak eksistensi kontradiksi-kontradiksi
dalam kapitalisme. Namun, di sisi lain, apa yang memang merupakan titik
fundamental revisionisme, dan membedakannya dengan sikap yang diambil oleh
sosial-demokrasi sampai sekarang, ialah bahwa revisionisme tidak mendasarkan
teorinya pada keyakinan bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme akan
terhapuskan sebagai akibat perkembangan internal logis dari sistem ekonomi yang
ada sekarang.
Kita bisa mengatakan bahwa teori revisionisme menempati
sebuah ruang di antara dua hal ekstrem. Revisionisme tak ingin melihat
matangnya kontradiksi-kontradiksi kapitalisme. Ia tidak mengajukan konsep untuk
menghapuskan kontradiksi-kontradiksi ini melalui suatu transformasi
revolusioner. Revisionisme ingin memperkecil, meredakan kontradiksi-kontradiksi
kapitalis. Dengan demikian, pertentangan yang ada antara produksi dan
pertukaran hendak diredakan dengan dihentikannya krisis dan dibentuknya
persekutuan kapitalis. Pertentangan antara modal dan kerja hendak didamaikan
dengan memperbaiki kondisi buruh dan dengan pelestarian kelas-kelas menengah.
Dan kontradiksi antara negara kelas dan masyarakat hendak dihilangkan dengan
cara kontrol negara yang meningkat serta kemajuan demokrasi.
Benar bahwa prosedur sosial-demokrasi yang ada sekarang
ini tidak mengandung muatan untuk menunggu agar antagonisme-antagonisme
kapitalisme berkembang dan kemudian sekedar berlanjut pada tugas untuk
menghapuskan antagonisme-antagonisme tersebut. Sebaliknya, esensi dari prosedur
revolusioner ialah akan dipandu oleh perkembangan ini ketika perkembangan itu
telah bisa dipastikan, dan menarik kesimpulan dari arahan ini tentang
konsekuensi-konsekuensi apa yang diperlukan bagi perjuangan politik. Jadi,
sosial-demokrasi telah melawan perang tarif dan militerisme tanpa menunggu
karakter reaksioner kedua hal itu menjadi jelas. Prosedur Bernstein tidak
dipandu oleh suatu pertimbangan tentang perkembangan kapitalisme, oleh prospek
tentang menajamnya kontradiksi-kontradiksi kapitalis. Prosedur Bernstein
dipandu oleh prospek tentang meredanya kontradiksi-kontradiksi ini. Dia
menunjukkan hal ini ketika berbicara tentang “adaptasi” ekonomi kapitalis.
Lalu, kapan konsepsi itu bisa menjadi benar? Jika benar
bahwa kapitalisme akan terus berkembang dalam arah yang ditempuhnya sekarang
ini, maka kontradiksi-kontradiksinya pasti akan menajam serta semakin parah,
dan bukan melenyap. Kemungkinan berkurangnya kontradiksi-kontradiksi tersebut
mengasumsikan bahwa corak produksi kapitalis itu sendiri akan menghentikan
gerak majunya. Singkatnya, syarat umum bagi teori Bernstein adalah berhentinya
perkembangan kapitalis.
Namun demikian, teori Bernstein menunjukkan kesalahannya
sendiri secara duakali lipat.
Pertama, teori itu memanifestasikan karakter utopisnya
dalam sikapnya tentang pembangunan sosialisme. Karena sudah jelas, bahwa
perkembangan kapitalis yang tak sempurna tidak bisa menuju pada suatu
transformasi sosialis.
Kedua, teori Bernstein mengungkap karakter reaksionernya
ketika ia mengacu pada perkembangan pesat kapitalis yang terjadi di masa
sekarang. Dengan mengasumsikan perkembangan kapitalisme yang sesungguhnya,
bagaimana kita bisa menjelaskan -atau lebih tepatnya menyatakan- posisi
Bernstein?
Pada bab pertama kita telah menunjukkan tidak konkretnya
basis kondisi-kondisi ekonomi, yang berlandaskan itu Bernstein membangun
analisisnya mengenai hubungan sosial yang ada. Kita telah melihat bahwa, baik
sistem kredit maupun kartel, tidak bisa dikatakan sebagai “sarana adaptasi”
ekonomi kapitalis. Kita telah melihat bahwa, bahkan berhenti-sementaranya
krisis, ataupun bertahan hidupnya kelas menengah, tidak bisa dianggap sebagai
gejala-gejala adaptasi kapitalis. Tetapi, meskipun kita akan gagal menjelaskan
sifat keliru dari semua hal rinci dalam teori Bernstein, namun kita tak berdaya
kecuali dihentikan sejenak oleh satu gambaran yang sama dari semua hal rinci
tersebut. Teori Bernstein tidak menangkap manifestasi-manifestasi dari
kehidupan ekonomi kontemporer ini sebagaimana manifestasi tersebut muncul dalam
hubungan organiknya dengan keseluruhan perkembangan kapitalis, dengan
keseluruhan mekanisme ekonomi kapitalisme. Teori Bernstein menarik hal-hal
rinci itu keluar dari konteks ekonominya yang hidup. Teori ini memperlakukan
hal-hal rinci tersebut sebagai disjecta membra (bagian-bagian yang terpisah)
dari sebuah mesin mati.
Lihatlah, misalnya, konsepsi Bernstein tentang efek
adaptif dari kredit. Jika kita mengenali kredit sebagai suatu tahap alami yang
lebih tinggi dari proses pertukaran, dan karenanya juga merupakan tahap alami
yang lebih tinggi dari kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam pertukaran
kapitalis, maka kita tidak bisa sekaligus melihatnya sebagai sarana mekanis
adaptasi yang berada di luar proses pertukaran. Demikian pula, adalah mustahil
untuk menganggap uang, barang dagangan dan modal sebagai “sarana adaptasi”
kapitalisme.
Bagaimanapun juga, kredit, seperti juga uang,
komoditas-komoditas dan modal, adalah suatu link organik dari ekonomi kapitalis
pada suatu tahap perkembangannya yang tertentu. Seperti uang, komoditas dan
modal, kredit merupakan alat yang sangat dibutuhkan dalam mekanisme ekonomi
kapitalis, dan sekaligus merupakan instrumen penghancur, karena ia mempertajam
kontradiksi-kontradiksi internal kapitalisme.
Hal yang sama juga berlaku pada kartel dan sarana-sarana
komunikasi baru yang disempurnakan.
Pandangan mekanis yang sama disajikan oleh Bernstein
dalam upaya untuk menjelaskan tentang harapan berhentinya krisis sebagai suatu
gejala “adaptasi” ekonomi kapitalis. Bagi Bernstein, krisis hanyalah kekacauan
mekanisme ekonomi. Dengan berhentinya kekacauan itu, dia pikir, mekanisme akan
bisa berfungsi dengan baik. Namun faktanya ialah bahwa krisis bukanlah
“kekacauan” dalam makna kata yang biasanya. Krisis adalah
“kekacauan-kekacauan”, yang tanpa itu ekonomi kapitalis tidak bisa berkembang
sama sekali. Karena apabila krisis memunculkan satu-satunya metode yang mungkin
dalam kapitalisme -dan karena itu, merupakan metode yang normal- untuk
menyelesaikan secara periodik konflik yang ada antara perluasan produksi yang
tak terbatas dan batas-batas sempit pasar dunia, maka krisis adalah manifestasi
organik yang tidak bisa dipisahkan dari ekonomi kapitalis.
Dalam kemajuan produksi kapitalis yang “tak terhalangi”
tersembunyi suatu ancaman yang lebih besar daripada krisis. Ia adalah ancaman
jatuhnya tingkat keuntungan secara konstan yang diakibatkan bukan hanya oleh
kontradiksi antara produksi dan pertukaran, melainkan juga oleh pertumbuhan
produktivitas kerja itu sendiri. Jatuhnya tingkat keuntungan memiliki
kecenderungan sangat berbahaya, yakni menyebabkan tidak-mungkinnya bisnis
apapun bagi modal kecil dan menengah. Dengan begitu, jatuhnya tingkat keuntungan
membatasi pembentukan baru dan -karenanya- juga perluasan penempatan modal.
Dan memang krisislah yang memunculkan konsekeuensi lain
itu dari proses yang sama. Sebagai akibat dari depresiasi modalnya yang
periodik, krisis membawa kejatuhan dalam harga alat produksi, kelumpuhan suatu
bagian dari modal aktif, dan pada waktunya juga macetnya peningkatan
keuntungan. Dengan demikian, krisis menciptakan kemungkinan-kemungkinan
kemajuan produksi yang diperbaharui. Karena itu, krisis muncul sebagai
instrumen untuk menyalakan kembali api perkembangan kapitalis. Berhentinya
krisis -bukan berhenti yang sementara, melainkan melenyapnya secara total di
pasar dunia- tidak akan menyebabkan perkembangan lebih lanjut ekonomi
kapitalis. Ia akan menghancurkan kapitalisme.
Selaras dengan pandangan mekanis dari teorinya tentang
adaptasi, Bernstein melupakan kebutuhan akan krisis, maupun kebutuhan akan
penempatan-penempatan baru modal-modal kecil dan menengah. Dan itulah mengapa
kemunculan kembali modal kecil secara konstan, bagi Bernstein nampak menjadi
tanda berhentinya perkembangan kapitalis, meskipun pada kenyataannya itu adalah
suatu gejala dari perkembangan kapitalis yang normal.
Penting untuk dicatat bahwa terdapat suatu sudut pandang
dari mana semua fenomena yang telah disebutkan di atas dipandang secara tepat
sebagaimana fenomena-fenomana itu telah disajikan oleh teori “adaptasi”. Ia
adalah sudut pandang tentang kapitalis yang terisolasi (tunggal) yang
mencerminkan dalam pikirannya fakta-fakta ekonomi di sekelilingnya, hanya
karena fakta-fakta itu muncul ketika dibiaskan oleh hukum-hukum persaingan.
Kapitalis yang terisolasi melihat masing-masing bagian organik dari keseluruhan
ekonomi kita sebagai suatu entitas independen. Dia melihat krisis itu hanya
sebagaimana yang berlaku pada dirinya, seorang kapitalis tunggal. Karena itu,
dia menganggap fakta-fakta ini merupakan “kekacauan” sederhana dari “sarana
adaptasi” sederhana. Bagi kapitalis yang terisolasi, benar bahwa krisis memang
merupakan kekacauan sederhana; berhentinya krisis memungkinkan kapitalis itu
untuk memiliki eksistensi yang lebih lama. Sejauh berkenaan dengan kapitalis
semacam ini, kredit hanyalah suatu sarana untuk “mengadaptasikan”
kekuatan-kekuatan produktifnya yang tak memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan pasar.
Dan nampak bagi dia bahwa kartel yang mana dia menjadi seorang anggotanya,
benar-benar menghapuskan anarki industri.
Revisionisme tak lain adalah sebuah generalisasi teoritis
yang disusun dari sudut pandang kapitalis yang terisolasi. Secara teoritis,
sudut pandang ini masuk ke bagian yang mana, kalau bukan ke dalam ekonomi
borjuis?
Segala kesalahan aliran pemikiran ini persis terletak
pada konsepsi yang keliru memahami fenomena persaingan sebagai sesuatu yang
dilihat dari sudut pandang kapitalis tunggal, lalu diterapkan pada fenomena
keseluruhan ekonomi kapitalis. Tepat sebagaimana Bernstein menganggap kredit
sebagai suatu sarana “adaptasi” terhadap kebutuhan-kebutuhan pertukaran, maka
ekonomi vulgar pun berusaha menemukan penawar racun untuk melawan
penyakit-penyakit kapitalisme dalam fenomena-fenomena kapitalisme. Seperti
Bernstein, ekonomi vulgar juga yakin bahwa adalah mungkin untuk mengatur
ekonomi kapitalis. Dan seperti cara Bernstein pula, ekonomi vulgar pada
waktunya sampai pada keinginan untuk meredakan kontradiksi-kontradiksi
kapitalisme, yakni pada keyakinan akan kemungkinan untuk menambal luka-luka
kapitalisme. Ekonomi vulgar berujung dengan menjanjikan sebuah program reaksi.
Ekonomi vulgar berujung pada suatu utopia.
Karena itu, teori revisionisme dapat didefinisikan dengan
cara berikut ini. Ia adalah sebuah teori tentang keadaan tak-bergerak dalam
gerakan sosialis, yang dibangun -dengan bantuan ekonomi vulgar- di atas
landasan sebuah teori tentang berhentinya perkembangan kapitalis.
6 – Perkembangan Ekonomi dan Sosialisme
Kemenangan terbesar gerakan proletarian yang sedang
berkembang adalah ditemukannya landasan yang mendukung bagi perwujudan
sosialisme pada kondisi ekonomi masyarakat kapitalis. Berkat penemuan ini,
sosialisme berubah dari impian “ideal” oleh umat manusia selama ribuan tahun,
menjadi sesuatu yang merupakan kebutuhan sejarah.
Bernstein menolak adanya syarat-syarat ekonomi bagi
sosialisme pada masyarakat masa sekarang. Dalam hal ini, penalarannya telah
mengalami suatu evolusi yang menarik. Pertama-tama, di Neue Zeit Bernstein
membantah pesatnya proses konsentrasi yang terjadi dalam industri. Dia
mendasarkan sikapnya atas sebuah perbandingan statistik tentang pekerjaan di
Jerman tahun 1882 dan 1895. Untuk menggunakan angka-angka ini bagi tujuannya,
Bernstein terpaksa harus bergerak dalam suatu model yang sama sekali bersifat
ringkasan dan mekanis. Dalam hal yang paling mendukung sekalipun, Bernstein
bahkan tidak bisa -dengan menunjukkan kegigihan perusahaan-perusahaan berskala
menengah- sedikitpun melemahkan analisis marxian, karena analisis marxian tidak
menganggap suatu tingkat konsentrasi industri yang pasti (yakni penundaan
tertentu terhadap realisasi sosialisme) ataupun, sebagaimana telah kita
tunjukkan, melenyapnya modal-modal kecil secara mutlak yang biasanya
digambarkan sebagai melenyapnya borjuasi kecil, sebagai sebuah syarat untuk
mewujudkan sosialisme.
Dalam kurun perkembangan terakhir ide-idenya, Bernstein
melengkapi kita -dalam bukunya- dengan sebuah kumpulan bukti-bukti baru:
statistik mengenai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Statistik ini
digunakan untuk membuktikan bahwa jumlah para pemegang saham meningkat secara
konstan, dan akibatnya kelas kapitalis tidak bertambah kecil, melainkan tumbuh
semakin besar. Mengagetkan bahwa Bernstein hanya memiliki sedikit sekali
pengetahuan tentang materinya. Dan menakjubkan, betapa buruknya cara ia
menggunakan data yang ada untuk kepentingannya sendiri.
Jika dia ingin menyanggah hukum marxian tentang
perkembangan industri dengan mengacu pada masyarakat-masyarakat pemegang saham,
maka seharusnya dia mengambil angka-angka yang sama sekali berbeda. Siapapun
yang faham tentang sejarah masyarakat pemegang saham di Jerman mengetahui bahwa
modal pondasi rata-rata masyarakat tersebut telah menurun nyaris secara konstan.
Jadi, walaupun sebelum tahun 1871 kapital pondasi rata-rata mereka mencapai
angka 10,8 juta mark, namun pada 1871 jumlahnya hanya sebesar 4,01 juta mark;
3,8 juta mark pada 1873; kurang dari satu juta sejak 1882 sampai 1887; 0,52
juta pada 1891; dan hanya 0,62 juta mark pada 1892. Setelah tahun ini,
angka-angka berkisar di antara 1 juta mark, kemudian mencapai 1,78 juta pada
1895 dan 1,19 juta selama kurun paruh pertama tahun 1897. (Van de Borght:
Handwoerterbuch der Staatsswissenschaften, 1.)
Itu adalah angka-angka yang mengagetkan. Dengan
menggunakan angka-angka tersebut, Bernstein berharap untuk menunjukkan adanya
suatu kecenderungan kontra-marxian bagi retransformasi bisnis-bisnis besar
menjadi bisnis-bisnis kecil. Jawaban jelas terhadap upayanya itu adalah sebagai
berikut. Jika anda hendak membuktikan apapun dengan sarana statistik anda, maka
pertama-tama anda harus menunjukkan bahwa statistik itu mengacu pada
cabang-cabang industri yang sama. Anda harus menunjukkan bahwa bisnis-bisnis
kecil betul-betul menggantikan yang besar; bukan sebaliknya, bahwa
bisnis-bisnis besar itu hanya muncul jika yang berlaku sebelumnya adalah
bisnis-bisnis kecil atau bahkan industri kerajinan. Maka, bagaimanapun juga,
anda tidak bisa merujuknya sebagai fakta yang benar. Proses perjalanan
masyarakat-masyarakat pemegang saham yang luas menjadi bisnis-bisnis berskala
menengah dan kecil, bisa dijelaskan hanya dengan mengacu pada fakta bahwa
sistem masyarakat pemegang saham tersebut terus menerobos cabang-cabang
produksi baru. Sebelumnya, hanya sejumlah kecil bisnis besar yang terorganisir
sebagai masyarakat-masyarakat pemegang saham. Secara perlahan, organisasi
pemegang saham telah memenangkan bisnis berskala menengah, dan bahkan bisnis
berskala kecil. Sekarang ini, kita bisa mengamati adanya masyarakat-masyarakat
pemegang saham dengan modal di bawah 1.000 mark.
Lantas, apa signifikansi ekonomi dari perluasan sistem
masyarakat pemegang saham? Secara ekonomis, penyebaran masyarakat pemegang
saham berarti sosialisasi produksi yang kian meningkat dalam bentuk kapitalis –
sosialisasi bukan hanya produksi berskala besar, melainkan juga produksi
berskala menengah dan kecil. Karena itu, perluasan pemegang saham tidaklah
bertentangan dengan teori marxis; sebaliknya, justru menegaskan teori marxis
secara empatik.
Apa sebenarnya makna dari fenomena ekonomi tentang
masyarakat pemegang saham? Fenomena ini merepresentasikan, di satu sisi,
penyatuan sejumlah keuntungan kecil menjadi suatu modal besar produksi. Di sisi
lain, fenomena ini menunjukkan pemisahan produksi dari kepemilikan kapitalis.
Yakni, ia menunjukkan bahwa sebuah kemenangan ganda dimenangkan terhadap corak
produksi kapitalis – namun masih berdasarkan basis kapitalis.
Lantas, apa makna statistik yang disebutkan oleh Bernstein,
yang menyatakan bahwa sejumlah pemegang saham, yang lebih besar daripada
sebelumnya, kini berpartisipasi dalam bisnis-bisnis kapitalis? Memang statistik
ini terus berusaha menunjukkan hal-hal sebagai berikut: di masa sekarang,
sebuah bisnis kapitalis tidak bisa diidentikkan -sebagaimana sebelumnya- dengan
seorang proprietor tunggal dari modal, melainkan dengan sejumlah kapitalis.
Konsekuensinya, gagasan ekonomi tentang “kapitalis” tidak lagi menandakan
seorang individu yang terisolasi. Kapitalis industri sekarang ini adalah
sesosok pribadi kolektif yang terdiri dari ratusan dan bahkan ribuan individu.
Kategori yang dimiliki kapitalis sendiri kini menjadi suatu kategori sosial. Ia
telah menjadi “tersosialisasi“ – dalam kerangka masyarakat kapitalis.
Dalam hal itu, bagaimana kita akan menjelaskan keyakinan
Bernstein bahwa fenomena masyarakat pemegang saham menunjukkan persebaran, dan
bukannya konsentrasi modal? Mengapa dia melihat adanya perluasan kepemilikan
kapitalis, padahal Marx justru melihat peniadaannya?
Itu adalah suatu kesalahan ekonomi yang sederhana. Dengan
“kapitalis”, Bernsten tidak memaknainya sebagai suatu kategori produksi,
melainkan hak atas kepemilikan. Baginya, “kapitalis” bukanlah sebuah satuan
ekonomi, melainkan satuan fiskal. Dan “modal” bagi Bernstein bukanlah suatu
faktor produksi, melainkan hanya kuantitas tertentu dari uang. Itulah mengapa
dalam trust benang jahit Inggris-nya, dia tidak melihat adanya penggabungan
12.300 orang dengan uang menjadi sebuat unit kapitalis tunggal, melainkan
12.300 kapitalis yang berbeda. Itulah mengapa insinyur Schulze, yang mas kawin
istrinya memberinya sejumlah besar bagian kepemilikan saham Mueller, adalah
juga seorang kapitalis bagi Bernstein. Itulah mengapa bagi Bernstein, seluruh
dunia nampak dipenuhi oleh para kapitalis.
Dalam hal ini juga, basis teoritis dari kesalahan ekonomi
Bernstein adalah “popularisasi”nya tentang sosialisme. Karena inilah yang dia
lakukan. Dengan mentransportasikan konsep kapitalisme dari relasi-relasi
produktifnya menjadi relasi-relasi kepemilikan, dan dengan hanya membicarakan
individu-individu, bukannya para pengusaha, maka dia memindahkan persoalan
sosialisme dari ranah produksi ke ranah relasi-relasi kekayaan – yakni dari
hubungan antara modal dan kerja, menjadi hubungan antara yang miskin dan yang
kaya.
Dengan cara ini, dengan sukaria kita digiring dari Marx
dan Engels, kepada penulis Pengabar Injil Sang Nelayan Miskin. Bagaimanapun
juga, tentu ada perbedaannya. Weitling, dengan naluri proletarian yang penuh
keyakinan, melihat -pada pertentangan antara yang miskin dan yang kaya- adanya
pertentangan kelas dalam bentuknya yang paling primitif, dan ingin menjadikan
pertentangan-pertentangan ini sebagai pendongkrak gerakan untuk mewujudkan
sosialisme. Di sisi lain, Bernstein menempatkan realisasi sosialisme di dalam
kemungkinan untuk membuat yang miskin menjadi kaya. Yaitu, dia menempatkannya
pada peredaan pertentangan kelas, dan berarti menempatkannya pada borjuasi
kecil.
Benar bahwa Bernstein memang tidak membatasi diri hanya
pada statistik tentang pendapatan. Dia juga menyediakan statistik tentang
bisnis ekonomi, terutama di negeri-negeri berikut: Jerman, Perancis, Inggris,
Swiss, Austria dan Amerika Serikat. Akan tetapi, statistik-statistik ini
bukanlah angka-angka komparatif dari periode-periode berbeda di masing-masing
negeri, melainkan dari masing-masing periode di negeri-negeri yang berbeda.
Karena itu, kita tidak disodori -dengan kekecualian, yakni Jerman di mana dia
mengulangi kekontrasan lama antara 1895 dan 1882- sebuah perbandingan statistik
dari bisnis-bisnis di suatu negeri tertentu pada masa-masa yang berbeda,
melainkan angka-angka absolut untuk negeri-negeri yang berbeda: Inggris pada
1891, Perancis pada 1894, Amerika Serikat pada 1890, dan sebagainya.
Bernstein mencapai kesimpulan berikut ini: “Meskipun
benar bahwa eksploitasi besar telah menjadi yang utama dalam industri sekarang
ini, namun ia hanya merepresentasikan- termasuk bisnis-bisnis yang bergantung
pada eksploitasi besar, bahkan di sebuah negeri yang telah maju seperti
Prussia- separuh dari penduduknya yang terlibat dalam produksi.” Ini juga
berlaku untuk Jerman, Inggris, Belgia, dan lain-lain.
Apa yang sebetulnya ia buktikan di sini? Dia tidaklah
membuktikan eksistensi kecenderungan -atau memang kecenderungan- perkembangan
ekonomi seperti itu, melainkan hanya hubungan absolut dari kekuatan-kekuatan
bentuk bisnis yang berbeda. Atau dengan kata lain, hubungan-hubungan absolut
dari berbagai kelas di masyarakat kita.
Lantas, jika seseorang ingin membuktikan -dengan cara
ini- mustahilnya realisasi sosialisme, maka penalaran orang itu haruslah
bersandar pada teori yang sesuai dengan hitungan kekuatan-kekuatan material
dari elemen-elemen dalam perjuangan, yakni oleh faktor kekerasan. Dengan kata
lain, Bernstein yang selalu bergemuruh menentang blanquisme justru terjerumus
ke dalam kesalahan blanquis yang paling kasar. Namun demikian, ada
perbedaannya. Bagi kaum blanquis, yang mewakili suatu kecenderungan sosialis
dan revolusioner, kemungkinan bagi realisasi ekonomi sosialisme nampak cukup
alami. Berdasarkan kemungkinan ini, mereka membangun peluang untuk sebuah
revolusi dengan kekerasan – meskipun hanya dilakukan oleh suatu minoritas
kecil. Sebaliknya, karena tidak memadainya secara jumlah suatu mayoritas
sosialis, maka Bernstein pun menarik kesimpulan tentang mustahilnya realisasi
ekonomi sosialisme. Bagaimanapun juga, sosial-demokrasi tidak berharap untuk
mencapai tujuannya, baik sebagai hasil dari kemenangan kekerasan suatu
minoritas, ataupun melalui keunggulan jumlah suatu mayoritas. Sosial-demokrasi
memandang bahwa sosialisme muncul sebagai akibat dari kebutuhan ekonomi -dan
pemahaman akan kebutuhan itu- yang menuju pada penggulingan kapitalisme oleh
massa pekerja. Dan kebutuhan ini manifes sendiri, khususnya dalam anarki
kapitalisme.
Bagaimana sikap Bernstein mengenai persoalan yang
menentukan, yakni tentang anarki dalam ekonomi kapitalis? Dia hanya menolak
krisis-krisis umum yang besar. Dia tidak menyangkal krisis parsial dan krisis
nasional. Dengan kata lain, dia menolak untuk melihat sejumlah besar anarki
kapitalisme; dia hanya melihat sebagian kecilnya. Dia adalah -menggunakan
ilustrasi Marx- seperti perawan dungu yang memiliki seorang anak “yang masih
sangat kecil.” Tetapi, malangnya ialah bahwa dalam persoalan-persoalan seperti
anarki ekonomi, sedikit dan banyak adalah sama buruknya. Jika Bernstein
mengakui eksistensi sebagian kecil dari anarki ini, maka kita bisa menunjukkan
kepadanya bahwa, dengan mekanisme ekonomi pasar, yang sebagian kecil dari
anarki ini akan diperluas sampai pada proporsi-proporsi yang belum pernah
terjadi sebelumnya, sampai berujung pada keruntuhan. Akan tetapi, apabila
Bernstein -sembari mempertahankan sistem produksi komoditas- berharap untuk
secara perlahan mentransformasikan konsepnya tentang sebagian kecil dari anarki
ini menjadi tatanan dan harmoni, maka kembali ia terjerumus ke dalam salah satu
dari kesalahan-kesalahan fundamental ekonomi-politik borjuis, yang berdasarkan
itu corak pertukaran tidak terikat pada corak produksi.
Bukan pada tempatnya di sini untuk menunjukkan secara
panjang-lebar tentang kebingungan Bernstein yang mengagetkan mengenai
prinsip-prinsip paling elementer dari ekonomi-politik. Tetapi ada satu poin
-hal mana kita diarahkan oleh persoalan-persoalan fundamental mengenai anarki
kapitalis- yang harus segera diklarifikasi.
Bernstein menyatakan bahwa hukum Marx tentang nilai-lebih
hanyalah suatu abstraksi sederhana. Dalam ekonomi-politik, pernyataan semacam
ini jelas adalah suatu penghinaan. Namun, apabila nilai-lebih memang hanya
merupakan suatu abstraksi sederhana, apabila ia hanya khayalan pikiran saja,
maka setiap warganegara yang normal, yang telah melakukan tugas militer dan
membayar pajak tepat waktu, tentunya memiliki hak yang sama dengan Karl Marx
untuk membuat model absurditasnya sendiri, untuk membuat hukumnya sendiri
tentang nilai-lebih. “Marx memiliki hak yang sama untuk mengabaikan kualitas
komoditas hingga tak lebih sekedar penjelmaan dari kuantitas kerja manusia,
sebagaimana hak yang dimiliki ekonom-ekonom dari mazhab Boehm-Jevons untuk
membuat suatu abstraksi tentang semua kualitas komoditas di luar kegunaannya.”
Yaitu, bahwa bagi Bernstein, konsep Marx tentang kerja
sosial dan konsep Menger tentang kegunaan abstrak adalah cukup serupa – murni
adalah abstraksi-abstraksi. Bernstein lupa bahwa abstraksi Marx itu bukanlah
sebuah karangan. Ia adalah suatu pengungkapan (discovery). Abstraksi itu tidak
eksis di kepala Marx, melainkan dalam ekonomi pasar. Ia tidak memiliki
eksistensi imajiner, melainkan eksistensi sosial yang nyata; begitu nyata
sehingga bisa dipotong, ditempa, ditimbang dan diletakkan dalam bentuk uang.
Kerja manusia yang abstrak, yang diungkap oleh Marx, dalam bentuknya yang telah
maju tak lain adalah uang. Itulah memang yang merupakan salah satu dari
temuan-temuan besar Marx. Sedangkan bagi semua ekonom-politik borjuis, sejak
masa pertama kaum mercantilist sampai tahap terakhir Romawi dan Yunani Kuno,
esensi uang tetap merupakan sebuah teka-teki mistis.
Konsep mazhab Boehm-Jevons tentang kegunaan abstrak, pada
kenyataannya adalah suatu kesombongan pemikiran. Atau bila dinyatakan secara
lebih tepat, konsep itu merupakan representasi dari kehampaan intelektual,
sebuah absurditas privat, yang mana baik kapitalisme, ataupun masyarakat
apapun, tak bisa dipersalahkan atas lahirnya konsep tersebut, selain dari
ekonomi borjuis yang vulgar itu sendiri. Dengan mendekap erat gagasannya itu,
Bernstein, Boehm dan Jevons serta seluruh kelompoknya yang subyektif itu bisa
terus-menerus kebingungan selama duapuluh tahun atau lebih mengenai misteri
uang, tanpa sampai pada suatu kesimpulan yang berbeda dengan yang dicapai oleh
tukang sepatu, yakni bahwa uang juga adalah sesuatu “yang berguna”.
Bernstein telah kehilangan semua pemahaman tentang hukum
nilai-lebih Marx. Siapapun yang memiliki sedikit saja pemahaman tentang ekonomi
marxian bisa melihat bahwa tanpa adanya hukum nilai-lebih, doktrin Marx tak
bisa dipahami. Atau lebih konkretnya, bagi siapapun yang tidak memahami sifat
komoditas dan pertukarannya, keseluruhan ekonomi kapitalisme dengan semua
rentetannya, pastilah tetap merupakan sebuah teka-teki.
Apa yang merupakan kunci, yang memungkinkan Marx membuka
pintu rahasia dari fenomena kapitalis, dan memecahkan -seolah sambil bermain-
permasalahan-permasalahan yang bahkan tidak pernah dicurigai oleh
pemikiran-pemikiran terbesar dalam ekonomi borjuis klasik? Sesuatu itu adalah
konsepsi Marx tentang ekonomi kapitalis sebagai sebuah fenomena historis, bukan
hanya dalam makna hal-hal yang dengan paling baik diakui oleh para ekonom
klasik -yakni ketika ia berkenaan dengan masa lalu kapitalisme yang bersifat
feodal- melainkan juga sejauh ia berkenaan dengan masa depan sosialis dunia.
Rahasia teori Marx tentang nilai, analisisnya tentang permasalahan uang,
teorinya tentang modal, teorinya mengenai tingkat keuntungan, dan
konsekuensinya juga tentang keseluruhan sistem ekonomi yang kini ada, didapati
pada karakter peralihan dari ekonomi kapitalis, tak terhindarkannya keruntuhan
ekonomi kapitalis yang menuju -dan ini hanyalah suatu aspek lain dari fenomena
yang sama- kepada sosialisme. Itu semata-mata karena Marx melihat kapitalisme
dari sudut pandang sosialis, yakni dari sudut pandang historis, maka dia
menjadi mampu menguraikan seluk-beluk ekonomi kapitalis. Dan memang karena Marx
mengambil sudut pandang sosialis sebagai batu pijakan bagi analisisnya tentang
masyarakat borjuis, maka dia berada dalam posisi untuk memberikan basis ilmiah
bagi gerakan sosialis.
Inilah ukuran bagi kita untuk mengevaluasi ucapan-ucapan
Bernstein. Dia mengeluhkan “dualisme” yang ditemukan di sana-sini dalam karya
monumental Marx, Kapital. “Karya tersebut diharapkan menjadi suatu kajian
ilmiah, dan sekaligus membuktikan sebuah tesis yang telah secara lengkap
dielaborasi lama sebelum penyuntingan buku itu. Buku itu didasarkan atas suatu
skema yang telah mengandung hasil yang ingin diarahkan oleh Marx. Kembalinya ke
Manifesto Komunis (yakni tujuan sosialis! – R.L.) membuktikan adanya sisa-sisa
utopianisme dalam doktrin Marx.”
Akan tetapi, apa itu “dualisme” Marx, kalau bukan
dualisme antara masa depan sosialis dan masa kini kapitalis? Ia adalah dualisme
antara kapitalisme dan kerja, dualisme antara borjuasi dan proletariat. Ia
adalah refleksi ilmiah tentang dualisme yang ada dalam masyarakat borjuis,
dualisme pertentangan kelas yang menggeliat di dalam tatanan sosial
kapitalisme.
Pemahaman Bernstein tentang dualisme teoritis dalam
pemikiran Marx ini sebagai “bertahan hidupnya utopianisme” sungguh-sungguh
adalah pengakuan yang naif bahwa dirinya menolak adanya pertentangan kelas
dalam kapitalisme. Itu adalah pengakuannya, bahwa sosialisme baginya hanya
sekedar “bertahan hidupnya utopianisme”. Apa yang merupakan “monisme” Bernstein
-kesatuan Bernstein- selain dari kesatuan abadi rejim kapitalis, kesatuan dari
mantan sosialis yang telah menanggalkan tujuannya, dan memutuskan untuk
menemukan dalam masyarakat borjuis, satu dan selamanya, tujuan dari
perkembangan manusia?
Bernstein tidak melihat dalam struktur kapitalisme adanya
perkembangan yang menuju pada sosialisme. Namun, untuk melestarikan program
sosialisnya, setidaknya dalam bentuknya, dia terpaksa mencari perlindungan
dalam suatu konstruksi idealis yang ditempatkan di luar semua perkembangan
ekonomi. Dia terpaksa mentransformasikan sosialisme itu sendiri dari suatu fase
sejarah yang pasti dalam perkembangan sosial, menjadi suatu “prinsip” yang
abstrak.
Itulah mengapa “prinsip koperasi” -sedikit tuangan
sosialisme, yang dengan itu Bernstein berharap bisa mewarnai ekonomi kapitalis-
muncul sebagai suatu konsesi yang dilakukan bukan demi masa depan masyarakat
sosialis, melainkan demi masa lalu sosialis Bernstein sendiri.
7 – Koperasi, Serikat, Demokrasi
Sosialisme Bernstein menawarkan kepada buruh prospek
tentang pembagian kekayaan masyarakat. Kaum miskin akan menjadi kaya. Bagaimana
sosialisme seperti ini akan diwujudkan? Artikelnya di Neue Zeit, dengan judul
”Permasalahan-permasalahan Sosialisme”, hanya mengandung kiasan yang
samar-samar terhadap pertanyaan ini. Namun demikian, informasi yang memadai
bisa ditemukan dalam bukunya.
Sosialisme Bernstein hendak diwujudkan dengan bantuan dua
instrumen ini: serikat buruh (atau, seperti dicirikan sendiri oleh Bernstein:
demokrasi ekonomi) dan koperasi. Instrumen pertama akan menekan keuntungan
industri; sedangkan instrumen kedua akan menghapuskan keuntungan komersial.
Koperasi, khususnya koperasi di bidang industri,
menimbulkan suatu bentuk perkawinan silang di seputar kapitalisme.
Koperasi-koperasi itu bisa digambarkan sebagai unit-unit kecil dari produksi
yang tersosialisasi dalam pertukaran kapitalis.
Akan tetapi, dalam ekonomi kapitalis, pertukaran
mendominasi produksi (yakni, produksi sangat tergantung pada
kemungkinan-kemungkinan pasar). Akibat dari persaingan, dominasi sepenuhnya
terhadap proses produksi oleh kepentingan-kepentingan modal -yakni eksploitasi
yang tak berbelas kasihan- menjadi suatu syarat bagi keberlangsungan hidup
setiap bisnis. Dominasi modal terhadap proses produksi mengekspresikan diri
dengan cara-cara berikut. Kerja diintensifkan. Hari kerja diperpanjang atau
diperpendek, sesuai dengan situasi pasar. Dan, karena terikat pada
persyaratan-persyaratan pasar, maka buruh bisa dipekerjakan, atau dilempar ke
jalanan. Dengan kata lain, penggunaan didasarkan atas semua metode yang
memungkinkan sebuah bisnis untuk berdiri melawan para pesaingnya di pasar.
Dengan demikian, para buruh yang membentuk sebuah koperasi di bidang produksi
dihadapkan pada kebutuhan untuk mengatur diri mereka sendiri, yang bertentangan
dengan absolutisme yang teramat sangat. Mereka diharuskan mengadopsi untuk diri
mereka sendiri peran pengusaha kapitalis. Sebuah kontradiksi yang menjelaskan
lazimnya kegagalan koperasi produksi, yang bisa menjadi bisnis kapitalis murni,
ataupun -jika kepentingan buruh terus menonjol- akan berakhir dengan bubar
sendiri.
Bernstein sendiri telah membuat catatan tentang
fakta-fakta ini. Namun jelas, bahwa dia sendiri belum memahaminya, karena -bersama
dengan Nyonya Potter-Webb- dia menjelaskan kegagalan koperasi produksi di
Inggris yang disebabkan oleh kurangnya “disiplin” mereka. Tetapi, apa yang
begitu datar dan dangkal disebut “disiplin” di sini tak lain adalah rejim
absolutis alami dari kapitalisme, yang gamblangnya, buruh tidak mungkin
berhasil menggunakannya melawan diri mereka sendiri.
Koperasi-koperasi produsen bisa bertahan hidup dalam
ekonomi kapitalis hanya jika mereka berusaha menghapuskan -dengan jalan
memutar- kontradiksi-kontradiksi kapitalis antara corak produksi dan corak
pertukaran. Dan koperasi-koperasi tersebut hanya bisa melakukan ini dengan
melepaskan diri secara artifisial dari pengaruh hukum-hukum persaingan bebas.
Kemudian, mereka akan berhasil melepaskan diri dari hukum persaingan bebas
hanya jika terlebih dahulu menjamin bagi dirinya sendiri suatu lingkaran
konstan konsumen-konsumen, yakni ketika koperasi tersebut bisa menjamin adanya
pasar yang konstan bagi dirinya sendiri.
Maka koperasi konsumenlah yang bisa menawarkan layanan
ini kepada saudaranya di bidang produksi. Di sinilah -dan bukan pada pembedaan
Oppenheimer antara koperasi yang memproduksi dan koperasi yang menjual-
terletak rahasia yang dicari oleh Bernstein: penjelasan bagi kegagalan yang tak
berubah dari koperasi produsen yang berfungsi secara independen, dan
keberlangsungan hidupnya ketika koperasi-koperasi tersebut didukung oleh
organisasi-organisasi konsumen.
Jika benar bahwa kemungkinan-kemungkinan eksistensi
koperasi produsen dalam kapitalisme berkait erat dengan kemungkinan-kemungkinan
eksistensi koperasi konsumen, maka lingkup koperasi produksi terbatas -paling
banter- pada pasar lokal yang kecil serta pada proses manufaktur barang-barang
yang melayani kebutuhan mendesak, khususnya produk-produk makanan. Koperasi
konsumen -dan dengan begitu, berarti juga koperasi produsen- dikeluarkan dari
cabang-cabang produksi modal yang paling penting (tekstil, pertambangan,
industri logam dan minyak, konstruksi mesin, serta pembuatan lokomotif dan
kapal). Untuk alasan ini sendiri (yakni dengan sementara melupakan karakter
blasterannya), koperasi di bidang produksi tidak bisa secara serius dianggap
sebagai instrumen dari suatu transformasi sosial umum. Pendirian
koperasi-koperasi berskala luas mengasumsikan, pertama-tama, peniadaan pasar
dunia, dipecahkannya ekonomi dunia sekarang ini menjadi lingkup-lingkup lokal
yang kecil dari produksi dan pertukaran. Kapitalisme di masa kita sekarang,
yang telah sangat maju dan tersebar luas, diharapkan untuk mundur kembali ke ekonomi
perdagangan (merchant) Abad Pertengahan.
Dalam kerangka masyarakat masa kini, koperasi produsen
terbatas hanya pada peran pelengkap bagi koperasi konsumen. Karena itu,
koperasi konsumen nampaknya harus menjadi permulaan dari perubahan sosial yang
diusulkan. Namun cara reformasi masyarakat yang diharapkan dengan sarana
koperasi ini tak lagi ofensif terhadap produksi kapitalis. Yakni, koperasi tak
lagi merupakan serangan terhadap basis-basis utama dari ekonomi kapitalis.
Sebagai gantinya, koperasi menjadi suatu bentuk perjuangan melawan modal
komersial, khususnya modal komersial yang berskala kecil dan menengah. Ia
menjadi sebuah serangan yang ditujukan kepada ranting dari pohon kapitalis.
Menurut Bernstein, serikat buruh pun merupakan sarana
untuk menyerang kapitalisme di bidang produksi. Kita telah menunjukkan bahwa
serikat buruh tidak bisa memberikan kepada buruh, pengaruh yang menentukan
terhadap produksi. Serikat buruh tidak bisa menentukan, baik dimensi-dimensi
produksi, maupun kemajuan teknis produksi.
Sejauh itulah yang bisa dikatakan mengenai sisi yang
murni ekonomis dari “perjuangan tingkat upah melawan tingkat keuntungan,”
sebagaimana yang dilabelkan oleh Bernstein terhadap aktivitas perjuangan
serikat buruh. Aktivitas itu tidak terjadi pada birunya langit. Ia terjadi
dalam kerangka yang telah didefinisikan secara cermat dari hukum upah. Hukum
upah tidaklah hancur, melainkan diterapkan oleh aktivitas serikat buruh.
Menurut Bernstein, serikat buruhlah yang memimpin -dalam
perjuangan umum bagi emansipasi kelas pekerja- serangan riil terhadap tingkat
keuntungan industri. Menurut Bernstein pula, serikat buruh memiliki tugas untuk
mentransformasikan tingkat keuntungan industri menjadi “tingkat upah”. Faktanya
ialah bahwa serikat buruh adalah yang paling lemah kemampuannya untuk melakukan
serangan ekonomi terhadap keuntungan. Serikat buruh tak lebih sekedar
pertahanan yang terorganisir dari tenaga kerja menghadapi serangan keuntungan.
Serikat buruh mengekspresikan perlawanan yang ditunjukkan oleh kelas pekerja
terhadap penindasan ekonomi kapitalis.
Di satu sisi, serikat buruh memiliki fungsi untuk
mempengaruhi situasi di pasar tenaga kerja. Tetapi pengaruh ini sekarang secara
konstan diatasi oleh proletarisasi lapisan-lapisan menengah masyarakat, sebuah
proses yang secara kontinyu membawa barang dagangan baru dalam pasar tenaga
kerja. Fungsi kedua dari serikat buruh adalah untuk memperbaiki kondisi buruh.
Yakni, mereka berupaya untuk meningkatkan bagian dari kekayaan sosial yang
mengalir ke kelas pekerja. Namun demikian, bagian ini sekarang terkurangi
dengan adanya takdir proses alami pertumbuhan produktivitas kerja. Seseorang
tak perlu menjadi marxis untuk mengetahui hal ini. Sudah memadai bagi kita bila
membaca tulisan Rodbertus, Penjelasan tentang Persoalan Sosial.
Dengan kata lain, kondisi-kondisi obyektif masyarakat
kapitalis mentransformasikan kedua fungsi ekonomi serikat buruh itu menjadi
semacam kerja sang Sisyphus yang, walaupun begitu, sangat dibutuhkan. Karena,
berkat aktivitas serikat buruhnya, buruh berhasil memperoleh tingkat upah yang
berkesesuaian dengan situasi pasar tenaga kerja. Sebagai akibat dari aktivitas
serikat buruh, hukum kapitalis tentang upah menjadi diterapkan, dan efek
kecenderungan-menurun dari perkembangan ekonomi pun dilumpuhkan, atau lebih
tepatnya diredakan.
Bagaimanapun juga, transformasi serikat buruh menjadi
sebuah instrumen untuk pengurangan keuntungan secara progresif, yang sesuai
dengan upah, mengasumsikan syarat-syarat sosial sebagai berikut: pertama,
berhentinya proletarisasi strata menengah masyarakat kita; kedua, berhentinya
pertumbuhan produktivitas kerja. Dalam kedua hal itu, kita mendapati suatu
bayangan proses kembali ke kondisi-kondisi pra-kapitalis.
Koperasi dan serikat buruh sama sekali tidak mampu
mentransformasikan corak produksi kapitalis. Hal ini betul-betul dipahami oleh
Bernstein, meskipun dengan cara yang tumpang-tindih. Karena dia mengacu pada
koperasi dan serikat buruh sebagai sarana untuk mengurangi keuntungan para
kapitalis, yang dengan begitu berarti memperkaya buruh. Dalam hal ini, berarti
Bernstein menanggalkan perjuangan melawan corak produksi kapitalis, dan
berupaya untuk mengarahkan gerakan sosialis kepada perjuangan melawan “distribusi
modal”. Kembali dan kembali, Bernstein merujuk sosialisme sebagai sebuah upaya
menuju pada suatu corak distribusi “yang adil, lebih adil dan tetap lebih
adil”. (Vorwaerts, 26 Maret 1899).
Tidak bisa disangkal bahwa penyebab langsung yang
mengarahkan massa rakyat kepada gerakan sosialis memang adalah sifat distribusi
kapitalisme yang “tidak adil”. Ketika sosial-demokrasi berjuang demi
sosialisasi keseluruhan ekonomi, maka ia berarti juga sekaligus mencita-citakan
suatu distribusi kekayaan sosial yang “adil”. Tetapi, karena dibimbing oleh
observasi Marx bahwa corak produksi pada suatu zaman tertentu adalah
konsekuensi alami dari corak produksi zaman itu, maka sosial-demokrasi tidak
berjuang melawan distribusi dalam kerangka produksi kapitalis. Sosial-demokrasi
berjuang untuk menghapuskan produksi kapitalis itu sendiri. Singkatnya,
sosial-demokrasi ingin membangun corak produksi sosialis dengan menghapuskan
corak produksi kapitalis. Sebaliknya, metode Bernstein mengajukan konsep untuk
memerangi corak distribusi kapitalis dengan harapan untuk secara perlahan
-melalui cara ini- membangun corak produksi sosialis.
Dalam hal tersebut, apa basis bagi program Bernstein
tentang reformasi masyarakat? Apakah programnya itu mendapatkan dukungan dalam
kecenderungan-kecenderungan yang pasti dari produksi kapitalis? Tidak. Pertama,
karena Bernstein menolak kecenderungan-kecenderungan semacam itu. Kedua, karena
transformasi sosialis dalam hal produksi, baginya adalah akibat, dan bukan
sebab dari distribusi. Dia tidak bisa menyediakan suatu basis material bagi
programnya, karena dirinya telah merobohkan tujuan-tujuan dan sarana gerakan
untuk sosialisme, dan dengan demikian berarti telah merobohkan pula
syarat-syarat ekonominya. Akibatnya, dia terpaksa membangun sendiri sebuah
basis idealis.
“Mengapa kita harus merepresentasikan sosialisme sebagai
konsekuensi dari keharusan ekonomi?” keluh Bernstein. “Mengapa kita merendahkan
pemahaman manusia, perasaan manusia akan keadilan, serta kehendak manusia?”
(Vorwaerts, 26 Maret 1899). Konsep Bernstein tentang distribusi yang paling
adil hendak dicapai dengan kemauan baik dari kehendak bebas manusia; kehendak
manusia berlaku bukan disebabkan oleh kebutuhan ekonomi, -karena kehendak ini
hanyalah suatu instrumen- melainkan disebabkan oleh pemahaman menyeluruh
manusia tentang keadilan, disebabkan oleh ide manusia tentang keadilan.
Kalau begitu, berarti kita cukup berbahagia untuk kembali
kepada prinsip keadilan, kepada kuda perang di masa lalu, di mana para reformis
di muka bumi ini telah terguncang-guncang selama berabad-abad dikarenakan
kurangnya alat transportasi historis yang lebih meyakinkan. Kita kembali kepada
Rosinante yang kurang baik, yang mana Don Quixotes dalam sejarahnya telah
berpacu menuju kepada reformasi besar di muka bumi, selalu pulang ke rumah
dengan mata tertutup.
Dianggap sebagai basis bagi sosialisme, hubungan antara
yang kaya dan yang miskin, prinsip kerjasama sebagai kandungan sosialisme,
“distribusi yang paling adil” sebagai tujuannya, dan ide tentang keadilan sebagai
satu-satunya legitimasi historis – dengan begitu kuatnya, lebih bijak serta
lebih berapi-api Weitling membela sosialisme semacam itu limapuluh tahun yang
lalu. Namun, si jenius tukang jahit ini tidak mengerti tentang sosialisme
ilmiah. Jika di masa sekarang, konsepsi yang telah disobek-sobek hingga hancur
berkeping-keping oleh Marx dan Engels setengah abad yang lalu, ditambal-sulam
dan disajikan kepada proletariat sebagai dunia terakhir dari pengetahuan
sosial, maka konsepsi itu sekedar merupakan seni seorang tukang jahit, namun
tak ada yang jenius dari konsepsi tersebut.
Serikat buruh dan koperasi adalah penopang ekonomi bagi
teori revisionisme. Syarat politik utamanya adalah tumbuhnya demokrasi.
Manifestasi-manifestasi reaksi politik yang ada sekarang ini, bagi Bernstein
hanyalah “pemindahan”. Bernstein menganggap hal tersebut hanya bersifat
kebetulan, sementara, dan menyarankan agar manifestasi-manifestasi itu tidak
dipertimbangkan dalam elaborasi tentang arahan umum gerakan buruh.
Bagi Bernstein, demokrasi merupakan suatu tahap yang tak
terelakkan dalam perkembangan masyarakat. Baginya, sebagaimana juga menurut
para teoritisi Borjuis tentang liberalisme, demokrasi adalah hukum fundamental
yang utama dari perkembangan sejarah yang realisasinya diabdi oleh semua
kekuatan dari kehidupan politik. Bagaimanapun juga, tesis Bernstein itu sama
sekali keliru. Disajikan dalam kekuatan yang absolut ini, tesis tersebut nampak
sebagai sebuah vulgarisasi borjuis-kecil tentang hasil-hasil dari suatu fase
perkembangan borjuis yang amat singkat selama duapuluh lima atau tigapuluh
tahun yang lalu. Kita akan mencapai kesimpulan-kesimpulan yang sama sekali
berbeda apabila kita meneliti dengan sedikit lebih cermat dan sekaligus
membahas sejarah politik umum dari kapitalisme.
Demokrasi telah didapati dalam formasi-formasi sosial
yang paling berbeda: dalam kelompok-kelompok komunis primitif, dalam
negara-negara budak di zaman kuno serta dalam komune-komune Abad Pertengahan.
Dan secara serupa, absolutisme dan monarki konstitusional akan didapati dalam
tatanan-tatanan ekonomi yang paling bervariasi. Ketika kapitalisme dimulai
dengan produksi komoditas-komoditas yang pertamakali, ia mengambil jalan sebuah
konstitusi demokratik dalam komune-komune kotapraja di Abad Pertengahan. Kemudian,
ketika berkembang menjadi manufacturing, kapitalismepun menemukan bentuk
politiknya yang sesuai dalam monarki absolut. Akhirnya, sebagai ekonomi
industri yang maju, kapitalisme memunculkan republik demokratik di Perancis
tahun 1793, monarki absolut Napoleon I, monarki kaum bangsawan dalam periode
Restorasi (1815-1830), monarki konstitusional borjuis di masa Louis-Philippe,
kemudian kembali republik demokratik, lalu kembali monardi di masa Napoleon
III, dan akhirnya -untuk yang ketiga kalinya- kembali sebuah republik. Di
Jerman, satu-satunya institusi demokratik sejati -universal suffrage- bukanlah
suatu pencapaian yang dimenangkan oleh liberalisme borjuis. Universal suffrage
di Jerman ketika itu merupakan suatu instrumen untuk peleburan negara-negara
bagian yang kecil. Hanya dalam makna inilah demokrasi memiliki arti penting
bagi perkembangan borjuasi Jerman, yang kalaupun tidak, maka akan cukup puas
dengan monarki konstitusional yang semi-feodal. Di Rusia, kapitalisme tumbuh
subur dalam waktu lama di bawah rejim absolutisme timur tanpa borjuasi mampu
memanifestasikan keinginan yang paling kecil sekalipun di dunia untuk
mengintrodusir demokrasi. Di Austria, universal suffrage, terutama adalah garis
pengaman yang dilemparkan kepada monarki yang tengah tenggelam dan membusuk. Di
Belgia, pencapaian universal suffrage oleh gerakan buruh, tak diragukan lagi
adalah akibat lemahnya militerisme lokal, dan konsekuensi dari situasi
geografis dan politik khusus di negeri itu. Akan tetapi, kini kita memiliki “sedikit
demokrasi” yang telah dimenangkan bukan oleh borjuasi, melainkan dari melawan
borjuasi.
Kemenangan demokrasi yang tak terputus, yang bagi
revisionisme maupun liberalisme borjuis nampak sebagai suatu hukum fundamental
utama dari sejarah manusia, dan terutama sejarah moderen, melalui penelitian
yang lebih cermat terlihat hanya seperti sesosok hantu. Tidak ada hubungan
absolut dan umum yang bisa dibangun di antara perkembangan kapitalis dan
demokrasi. Bentuk politik dari suatu negeri tertentu selalu adalah hasil dari
perpaduan semua faktor politik yang ada, baik dalam maupun luar negeri. Ia
mengakui dalam batasnya, semua variasi mulai dari monarki absolut sampai
republik demokratik.
Karena itu, kita haruslah mengabaikan semua harapan untuk
menegakkan demokrasi sebagai sebuah hukum umum perkembangan sejarah, bahkan
dalam kerangka masyarakat moderen sekalipun. Menilik pada fase masyarakat
borjuis sekarang ini, kita pun bisa mengamati faktor-faktor politik yang
bukannya menegaskan realisasi dari skema Bernstein, melainkan justru menuju
pada pengabaian oleh masyarakat borjuis terhadap pencapaian-pencapaian
demokratik yang telah dimenangkan hingga kini.
Institusi-institusi demokratik -dan ini yang memiliki
signifikansi paling besar- telah sama sekali habis fungsinya sebagai bantuan
dalam perkembangan masyarakat borjuis. Sejauh diperlukan untuk peleburan
negara-negara bagian yang kecil serta pembentukan negara-negara moderen besar
(Jerman, Italia), maka institusi-institusi tersebut tak lagi begitu dibutuhkan
pada masa sekarang. Sementara itu, perkembangan ekonomi telah mengakibatkan
suatu cicatrization organik internal.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai transformasi
keseluruhan mesin negara yang politis dan yang administratif dari mekanisme
feodal atau semi-feodal menjadi mekanisme-mekanisme kapitalis. Meskipun
transformasi ini secara historis tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
demokrasi, namun sekarang ini ia telah direalisasikan sampai ke suatu lingkup
bahwa “ramuan-ramuan” yang murni demokratis dari masyarakat -seperti universal
suffrage dan bentuk negara republikan- bisa jadi akan terhapuskan tanpa membuat
administrasi, keuangan negara, ataupun organisasi militer, merasa perlu untuk
kembali kepada bentuk-bentuk yang pernah mereka miliki sebelum Revolusi Maret.
Jika liberalisme seperti demikian itu kini mutlak tak
berguna bagi masyarakat borjuis, maka di sisi lain, ia telah menjadi kesukaran
langsung bagi kapitalisme dari sudut pandang lain. Dua faktor kini sepenuhnya
mendominasi kehidupan politik negara-negara kontemporer: politik dunia dan
gerakan buruh. Masing-masing hanyalah aspek yang berbeda dari fase perkembangan
kapitalis sekarang ini.
Sebagai akibat dari perkembangan ekonomi dunia dan
penajaman serta generalisasi persaingan di pasar dunia, maka militerisme dan
kebijakan armada-armada laut yang besar telah menjadi -sebagai
instrumen-instrumen politik dunia- suatu faktor yang menentukan dalam kehidupan
interior dan eksterior dari negara-negara besar. Jika benar bahwa politik dunia
dan militerisme merepresentasikan suatu kecenderungan yang meningkat dalam fase
kapitalisme sekarang ini, maka demokrasi borjuis secara logis pasti bergerak dalam
garis yang menurun.
Di Jerman, era peralatan-perang besar yang dimulai tahun
1883, dan kebijakan politik dunia yang ditandai dengan perebuitan Kiao-Cheou,
segera ditebus dengan korban-korban sebagai berikut: membusuknya liberalisme,
melempem-nya Partai Tengah yang beralih dari oposisi ke pemerintahan. Pemilu
baru-baru ini untuk Reichstag pada 1907 yang memamerkan kebijakan kolonial
Jerman, sekaligus juga adalah penguburan historis liberalisme Jerman.
Apabila politik luar negeri memaksa borjuasi masuk ke
dalam rangkulan tangan-tangan reaksi, maka demikian pula politik dalam negeri –
syukurlah ada kebangkitan kelas pekerja. Bernstein menunjukkan bahwa dirinya
mengakui hal ini ketika ia membuat “legenda” sosial-demokratik yang “ingin
menelan segala sesuatu” -dengan kata lain, upaya-upaya sosialis dari kelas
pekerja- yang menyebabkan desersi-nya borjuasi liberal. Dia menasehati
proletariat untuk mengingkari tujuan sosialisnya, sehingga kaum liberal yang
ketakutan setengah mati bisa muncul keluar dari lubang-tikus reaksi. Dengan
menjadikan peniadaan gerakan buruh sosialis sebagai suatu syarat yang esensial
bagi pelestarian demokrasi borjuis, Bernstein membuktikan secara mengejutkan
bahwa demokrasi ini sepenuhnya bertentangan dengan inner tendency dari perkembangan
masyarakat sekarang ini. Sekaligus dia membuktikan bahwa gerakan sosialis itu
sendiri adalah hasil langsung dari kecenderungan ini.
Namun demikian, Bernstein sekaligus pula membuktikan satu
hal lainnya. Dengan menjadikan celaan terhadap tujuan sosialis suatu syarat
esensial bagi bangkitnya kembali demokrasi borjuis, maka ia menunjukkan betapa
tidak tepatnya klaim bahwa demokrasi borjuis adalah sebuah syarat yang sangat
dibutuhkan bagi gerakan sosialis dan kemenangan sosialisme. Penalaran Bernstein
kelelahan sendiri dalam sebuah lingkaran jahat. Kesimpulannya menelan
premis-nya sendiri.
Solusinya cukup sederhana. Dalam sudut pandang fakta itu,
yakni bahwa liberalisme borjuis telah melepaskan diri dari ketakutannya akan
hantu bangkitnya gerakan buruh serta tujuan akhirnya, maka kita simpulkan bahwa
gerakan buruh sosialis sekarang ini adalah satu-satunya dukungan bagi sesuatu
yang bukan merupakan tujuan gerakan sosialis – demokrasi. Kita haruslah
menyimpulkan bahwa demokrasi tidak bisa mendapatkan dukungan dari yang selain
itu. Kita haruslah menyimpulkan bahwa gerakan sosialis tidak terkait dengan
demokrasi borjuis, melainkan sebaliknya, justru takdir demokrasi berkait erat
dengan gerakan sosialis. Dari hal ini, kita harus menyimpulkan bahwa demokrasi
tidaklah mendapatkan peluang hidup yang lebih besar apabila kelas pekerja
menanggalkan perjuangan untuk emansipasinya, namun sebaliknya, demokrasi justru
mendapatkan peluang bertahan hidup yang lebih besar seiring gerakan sosialis
menjadi cukup kuat untuk berjuang melawan konsekuensi-konsekuensi reaksioner
dari politik dunia serta pengkhianatan borjuis terhadap demokrasi. Barangsiapa
yang hendak menguatkan demokrasi, maka seharusnya pula dia ingin menguatkan
-dan bukannya melemahkan- gerakan sosialis. Dan barangsiapa yang menanggalkan
perjuangan untuk sosialisme, berarti juga melepaskan baik gerakan buruh, maupun
demokrasi.
8 – Penaklukan Kekuasaan Politik
Kita telah mengetahui bahwa takdir demokrasi terkait erat
dengan takdir gerakan buruh. Namun, apakah perkembangan demokrasi mengasumsikan
revolusi proletarian (yakni, penaklukan kekuasaan politik oleh buruh) sebagai
sesuatu yang berlebihan atau mustahil?
Bernstein menjawab pertanyaan itu dengan mempertimbangkan
secara cermat sisi baik dan sisi buruk dari reformasi sosial dan revolusi
sosial. Dia melakukan ini nyaris dengan cara yang sama seperti menimbang kayu
manis dan lada di sebuah toko koperasi konsumen. Dia memandang kurun legislatif
dari perkembangan sejarah sebagai tindakan “intelijensia”, sedangkan kurun
revolusioner perkembangan sejarah dianggapnya sebagai tindakan “perasaan”.
Aktivitas reformis, dia akui sebagai suatu metode yang lambat untuk kemajuan
historis, dan revolusi sebagai metode kemajuan yang cepat. Pada legislasi,
Bernstein melihat adanya suatu kekuatan metode; pada revolusi, dia melihat
adanya kekuatan yang spontan.
Kita telah lama mengetahui bahwa sang reformis
borjuasi-kecil ini mendapati sisi “baik” dan sisi “buruk” dalam segala hal. Dia
menggerogoti semua hal sedikit demi sedikit. Akan tetapi, perjalanan
sesungguhnya dari berbagai peristiwa sedikit sekali dipengaruhi oleh kombinasi
seperti itu. Sedikit tumpukan “sisi baik” dari segala hal yang mungkin, yang
telah dikumpulkan dengan hati-hati, segera runtuh pada rangsangan pertama sejarah.
Secara historis, reformasi legislatif dan metode revolusioner berfungsi sesuai
dengan pengaruh-pengaruh yang jauh lebih mendalam ketimbang sekedar
pertimbangan tentang keunggulan-keunggulan atau kelemahan-kelemahan dari satu
metode atau metode lainnya.
Dalam sejarah masyarakat borjuis, reformasi legislatif
berfungsi untuk menguatkan secara progresif kelas yang sedang bangkit sampai
kelas itu cukup kuat untuk merebut kekuasaan, menghapuskan sistem yuridis yang
kini ada, dan membangun sendiri sistem yuridis yang baru. Bernstein, yang
bergemuruh menentang penaklukan kekuasaan politik dan menganggapnya sebagai
sebuah teori kekerasan blanquis, sayang sekali ternyata mencap sebagai
kesalahan ala blanquis, sesuatu yang selama ini selalu menjadi poros dan tenaga
penggerak sejarah manusia. Sejak pertamakali munculnya masyarakat-masyarakat
berkelas yang mengalami perjuangan kelas sebagai kandungan esensial dari
sejarahnya, penaklukan kekuasaan politik telah menjadi tujuan dari semua kelas
yang sedang bangkit. Inilah titik mula dan akhir dari setiap periode sejarah.
Hal ini bisa dilihat dalam perjuangan panjang petani Latin melawan para pemodal
(financier) dan kaum bangsawan Romawi kuno; dalam perjuangan bangsawan Abad
Pertengahan melawan para uskup; dan dalam perjuangan para pengrajin melawan
kaum bangsawan di kota-kota Abad Pertengahan. Di masa moderen, kita melihatnya
dalam perjuangan borjuasi melawan feodalisme.
Reformasi legislatif dan revolusi bukanlah metode-metode
yang berbeda mengenai perkembangan sejarah yang bisa dipilih sesuka hati dari
pentas sejarah, seperti orang memilih sosis panas atau dingin. Reformasi
legislatif dan revolusi adalah faktor-faktor yang berbeda dalam perkembangan
masyarakat berkelas. Keduanya saling mengkondisikan dan melengkapi satu sama
lain, dan sekaligus bersifat eksklusif laksana kutub Utara dan kutub Selatan,
borjuasi dan proletariat.
Setiap konstitusi legal adalah produk dari sebuah
revolusi. Dalam sejarah kelas-kelas, revolusi adalah tindakan kreasi politik,
sedangkan legislasi adalah ekspresi politik dari kehidupan suatu masyarakat
yang telah mewujud. Kerja untuk reformasi tidak mengandung kekuatan tersendiri
yang terlepas dari revolusi. Dalam kurun tiap periode sejarah, kerja untuk
reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan arah yang diberikan kepadanya oleh
dorongan revolusi terakhir, dan terus berlanjut selama dorongan itu terus
membuat dirinya dirasakan. Atau, lebih konkretnya, dalam masing-masing periode
sejarah, kerja untuk reformasi dilaksanakan hanya berdasarkan kerangka bentuk
sosial yang diciptakan oleh revolusi terakhir. Di sinilah inti dari
permasalahan tersebut.
Adalah berkebalikan dengan sejarah, kalau kita
merepresentasikan kerja untuk reformasi sebagai sebuah revolusi yang dilakukan
dalam jangka panjang, dan revolusi sebagai rangkaian reformasi yang dipadatkan.
Transformasi sosial dan reformasi legislatif tidaklah berbeda menurut lamanya,
melainkan menurut kandungannya. Rahasia dari perkembangan sejarah melalui
penggunaan kekuasaan politik memang terletak pada transformasi dari modifikasi
kuantitatif yang sederhana menjadi sebuah kualitas baru; atau lebih konkretnya,
dalam perjalanan suatu periode sejarah, dari satu bentuk masyarakat tertentu
menjadi suatu bentuk masyarakat lainnya.
Itulah mengapa orang-orang yang menyatakan diri mendukung
metode reformasi legislatif, yakni berada dalam posisi yang berbeda dan
bertentangan dengan penaklukan kekuasaan politik serta revolusi sosial, tidak
betul-betul memilih sebuah jalan yang lebih damai, lebih tenang dan lebih lambat
untuk tujuan yang sama, melainkan untuk sebuah tujuan yang berbeda. Bukannya
mengambil sikap yang berpihak pada pembangunan sebuah masyarakat baru, mereka
malah mengambil sikap yang mendukung modifikasi-modifikasi dangkal terhadap
masyarakat lama. Jika kita menganut konsepsi-konsepsi politik revisionisme,
maka kita akan sampai pada kesimpulan yang sama yang dicapai apabila kita
menganut teori-teori ekonomi revisionisme. Program kita pun menjadi bukan lagi
mewujudkan sosialisme, melainkan reformasi kapitalisme; bukan penghapusan
sistem kerja upahan, melainkan pengurangan eksploitasi, yakni penghapusan
penyalahgunaan kapitalisme, dan bukan penghapusan kapitalisme itu sendiri.
Apakah peran resiprokal dari reformasi legislatif dan
revolusi hanya berlaku bagi perjuangan kelas di masa lalu? Mungkinkah sekarang
ini -sebagai akibat dari perkembangan sistem yuridis borjuis- fungsi masyarakat
yang bergerak dari satu fase sejarah ke fase lainnya merupakan bagian dari
reformasi legislatif, dan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat
betul-betul telah menjadi “sebuah frasa kosong”, seperti yang dinyatakan
Bernstein?
Justru kebalikannyalah yang benar. Apa yang membedakan
masyarakat borjuis dengan masyarakat-masyarakat berkelas lainnya – yakni
masyarakat kuno dan tatanan sosial Abad Pertengahan? Tepatnya adalah fakta
bahwa dominasi kelas tidak terletak pada “hak-hak yang diperoleh”, melainkan
pada relasi-relasi ekonomi yang sesungguhnya – fakta bahwa kerja upahan
bukanlah suatu relasi yuridis, melainkan murni relasi ekonomi. Dalam sistem
yuridis kita, tidak ada sebuah rumusan perundangan yang tunggal untuk dominasi
kelas di masa sekarang. Beberapa jejak yang masih tersisa dari rumusan tentang
dominasi kelas seperti itu, adalah (seperti yang berkenaan dengan para hamba)
sisa-sisa masyarakat feodal yang masih bertahan.
Bagaimana perbudakan-upah bisa dihapuskan dengan “cara
legislatif”, kalau perbudakan itu tidak diekspresikan dalam hukum? Bernstein,
yang hendak menghapuskan kapitalisme dengan cara reformasi legislatif,
mendapati dirinya berada dalam situasi yang sama seperti polisi Uspensky Rusia
yang mengatakan: “Segera saja kutangkap penjahat itu dengan mencengkeramnya!
Tapi apa yang kudapati? Si jahanam itu tak punya kerah untuk dicengkeram!“ Dan
persis seperti itulah kesulitan Bernstein.
“Semua masyarakat terdahulu senantiasa berbasiskan
pertentangan antara suatu kelas penindas dan suatu kelas tertindas” (Manifesto
Komunis). Akan tetapi, pada fase-fase terdahulu dari masyarakat moderen, pertentangan
ini diekspresikan dalam relasi-relasi yuridis tertentu yang khas, dan bisa
-terutama karena hal itu- berkesesuaian dengan suatu lingkup tertentu, sebuah
tempat bagi relasi-relasi baru dalam kerangka relasi-relasi yang lama. “Di
tengah-tengah perbudakan, budak menaikkan dirinya ke jajaran anggota komunitas
kota” (Manifesto Komunis). Bagaimana itu mungkin terjadi? Hal tersebut menjadi
mungkin dengan adanya penghapusan secara progresif semua privilese feodal di
daerah-daerah sekitar kota: kerja paksa, hak atas pakaian khusus, pajak atas
harta warisan, klaim tuan tanah atas ternak yang paling bagus, pungutan
pribadi, kawin paksa, hak atas suksesi kepemimpinan dan lain-lain, yang kesemua
itu menimbulkan perbudakan.
Dengan cara yang sama, borjuasi-kecil Abad Pertengahan
berhasil menaikkan dirinya -padahal ia masih berada di bawah kekuasaan
absolutisme feodal- ke jajaran borjuasi (Manifesto Komunis). Dengan cara apa?
Yakni, melalui penghapusan parsial secara formal -atau pemutusan sepenuhnya-
ikatan-ikatan korporatif; melalui transformasi administrasi fiskal dan tentara
secara progresif.
Konsekuensinya, apabila kita membahas persoalan ini dari
sudut pandang abstrak, bukan dari sudut pandang historis, kita bisa
membayangkan (dalam pandangan tentang relasi-relasi kelas terdahulu)
berjalannya hukum, menurut metode reformis, dari masyarakat feodal ke
masyarakat borjuis. Namun, apa yang kita lihat dalam realitanya? Pada
kenyataannya, kita melihat bahwa reformasi perundangan bukan saja tidak
menghindari perebutan kekuasaan politik oleh borjuasi, melainkan -sebaliknya-
telah menyiapkan dan mengarahkan perebutan kekuasaan itu. Sebuah transformasi
sosial-politik formal sangat dibutuhkan bagi penghapusan perbudakan, maupun
penghapusan total feodalisme.
Akan tetapi, situasinya sekarang sama sekali berbeda.
Sekarang ini hukum mewajibkan proletariat untuk menyerahkan diri kepada
kekuasaan kapitalisme. Kemiskinan, tidak adanya alat produksi, kini memaksa
proletariat untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan kapitalisme. Dan tidak ada
hukum di dunia ini yang bisa memberikan alat produksi kepada proletariat selama
hukum itu masih berada dalam kerangka masyarakat borjuis. Karena bukan hukum,
melainkan perkembangan ekonomilah yang telah mencabut alat produksi dari
kepemilikan produsen.
Dan tidak ada eksploitasi dalam sistem kerja upahan yang
didasarkan atas hukum. Tingkat upah tidak ditetapkan oleh legislasi, melainkan
oleh faktor-faktor ekonomi. Fenomena eksploitasi kapitalis tidak bertumpu pada
kecenderungan hukum, melainkan murni pada fakta ekonomi bahwa tenaga kerja,
dalam eksploitasi ini, memainkan peran sebuah barang dagangan yang memiliki -di
antara sifat-sifat lainnya- kualitas yang bisa disepakati dari nilai produksi,
lebih dari nilai yang ia konsumsi dalam bentuk sarana subsisten buruh.
Singkatnya, relasi-relasi fundamental dari dominasi kelas kapitalis tidak bisa
ditransformasikan dengan cara reformasi legislatif yang berbasiskan masyarakat
kapitalis, karena relasi-relasi ini belum diintrodusir oleh hukum-hukum borjuis,
dan relasi-relasi tersebut juga belum menerima bentuk hukum seperti itu. Jelas
Bernstein tidak menyadari hal ini, karena dia berbicara tentang “reformasi
sosialis”. Di sisi lain, nampaknya Bernstein hendak mengungkapkan pengakuan
implisit tentang hal ini ketika ia menuliskan di halaman 10 dari bukunya:
“motif ekonomi berlaku secara bebas sekarang ini, sedangkan sebelumnya, motif
ekonomi tersebut dibungkus dengan segala macam relasi dominasi, dengan segala
macam ideologi.”
Inilah salah satu dari keistimewaan-keistimewaan tatanan
kapitalis, yang mana di dalamnya semua elemen masyarakat masa depan, dalam
perkembangannya, pertama-tama mengasumsikan suatu bentuk yang bukan mendekati
sosialisme, melainkan sebaliknya, suatu bentuk yang bergerak makin dan makin
menjauh dari sosialisme. Produksi menjalankan suatu karakter sosial yang secara
progresif kian meningkat. Tetapi, dalam bentuk apa karakter sosial dari
produksi kapitalis itu diekspresikan? Ia diekspresikan dalam bentuk perusahaan
besar, dalam bentuk pembagian kepemilikan saham, kartel, hal mana
antagonisme-antagonisme kapitalis, penindasan tenaga kerja, dipertajam sampai
ke titik ekstrem.
Dalam soal tentara, perkembangan kapitalis menyebabkan
perluasan wajib militer, sampai pada pengurangan masa pengabdian, sehingga
tentunya sampai pada suatu pendekatan material, yakni sebuah milisi rakyat.
Akan tetapi, kesemua ini terjadi dalam bentuk militerisme moderen, di mana
dominasi terhadap rakyat oleh negara militeris, dan karakter kelas dari negara,
termanifestasi sendiri secara paling jelas.
Di bidang hubungan politik, perkembangan demokrasi
menimbulkan -dalam ukuran bahwa ia menemukan tanah subur untuk tumbuh-
partisipasi dari semua strata popular dalam kehidupan politik dan,
konsekuensinya, menimbulkan semacam “negara rakyat”. Namun, partisipasi ini
mengambil bentuk berupa parlementarisme borjuis, di mana pertentangan kelas dan
dominasi kelas tidak dihilangkan, melainkan sebaliknya, justru ditampilkan
secara terbuka. Justru karena perkembangan kapitalis bergerak melalui
kontradiksi-kontradiksi ini, maka perlu bagi kita untuk mengekstrasi inti
masyarakat sosialis dari rangka kapitalisnya. Justru karena alasan inilah, maka
proletariat harus merebut kekuasaan politik dan menghapuskan sistem kapitalis
secara tuntas.
Tentu saja, Bernstein menarik kesimpulan-kesimpulan yang
lain. Jika perkembangan demokrasi mengarah pada penajaman, dan bukan
memperkecil antagonisme kapitalis, maka, "Sosial-demokrasi", jawab
Bernstein kepada kita, "agar tidak membuat tugasnya menjadi lebih sulit,
haruslah berusaha dengan segala cara untuk menghentikan reformasi sosial dan
perluasan institusi-institusi demokratik," (hal. 71). Sesungguhnya, itu
akan menjadi hal yang benar untuk dilakukan jika sosial-demokrasi mendapati
-sesuai seleranya, ala borjuis-kecil-tugas untuk mengambil bagi dirinya
sendiri, semua sisi baik dari sejarah dan menolak sisi buruknya, meski itu
sia-sia. Bagaimanapun juga, dalam hal itu, sosial-demokrasi hendaknya sekaligus
juga “berusaha menghentikan” kapitalisme secara umum, karena tak ragu lagi
bahwa kapitalisme adalah penjahat yang meletakkan semua rintangan ini di tengah
jalan menuju sosialisme. Akan tetapi, kapitalisme, selain melengkapi
rintangan-rintangan itu, juga menyediakan satu-satunya kemungkinan untuk mewujudkan
program sosialis. Hal yang sama bisa pula dikatakan tentang demokrasi.
Kalau demokrasi telah menjadi berlebihan atau
menjengkelkan bagi borjuasi, maka -sebaliknya- ia diperlukan dan mutlak harus
ada bagi kelas pekerja. Demokrasi perlu bagi kelas pekerja, karena ia
menciptakan bentuk-bentuk politik (administrasi yang otonom, hak-hak elektoral,
dan lain-lain) yang -bagi proletariat- akan berfungsi sebagai tumpuan dalam
tugasnya untuk mentransformasikan masyarakat borjuis. Demokrasi sangat
dibutuhkan kelas pekerja, karena hanya melalui pelaksanaan hak-hak
demokratiknya dalam perjuangan untuk demokrasilah, proletariat bisa menjadi
sadar akan kepentingan-kepentingan kelas serta tugas sejarahnya.
Singkatnya, demokrasi sangat dibutuhkan bukan karena ia
menyebabkan penaklukan kekuasaan politik oleh proletariat menjadi sesuatu yang
berlebihan, melainkan karena demokrasi justru membuat penaklukan kekuasaan itu
menjadi perlu dan mungkin untuk dilakukan. Ketika Engels, dalam kata pengantar
pada tulisannya Perjuangan Kelas di Perancis, merevisi gerakan buruh moderen
dan mendesak dilakukannya perjuangan hukum untuk menghadapi
rintangan-rintangan, dia tidak sedang berpikir tentang -ini muncul di setiap
baris dalam kata pengantar itu- persoalan penaklukan kekuasaan politik
tertentu, melainkan perjuangan sehari-hari yang kontemporer. Engels tidak
berpikir tentang sikap yang harus diambil oleh proletariat terhadap negara
kapitalis di saat perebutan kekuasaan, melainkan sikap proletariat ketika
berada dalam belenggu negara kapitalis. Engels ketika itu memberikan arahan
kepada proletariat yang tengah tertindas, bukan kepada proletariat yang sedang
mengalami kemenangan.
Di sisi lain, kalimat Marx yang terkenal tentang
persoalan agraria di Inggris (Bernstein sangat bertumpu pada pernyataan ini)
yang menyatakan: “Barangkali kita akan berhasil dengan mudah, dengan cara
membeli tanah milik tuan-tuan tanah,” tidaklah mengacu pada sikap proletariat
sebelum, melainkan setelah kemenangannya. Karena, jelas persoalan tentang
membeli properti dari kelas lama yang dominan baru mungkin untuk
dipertimbangkan apabila buruh berada di tampuk kekuasaan. Kemungkinan yang
dipertimbangkan oleh Marx adalah dalam hal pelaksanaan kediktatoran proletariat
secara damai, dan bukan mengganti kediktatoran itu dengan reformasi sosial. Tak
ada keraguan pada Marx dan Engels tentang perlunya proletariat menaklukkan
kekuasaan politik. Maka, biarlah Bernstein menganggap kandang parlementarisme
borjuis sebagai organ, yang dengan itu kita hendak mewujudkan transformasi
sosial sejarah yang paling menakjubkan, yakni perjalanan dari masyarakat
kapitalis menuju sosialisme.
Bernstein mengintrodusir teorinya dengan memperingatkan
proletariat tentang bahayanya pencapaian kekuasaan yang terlalu dini. Yakni,
menurut Bernstein, proletariat harus membiarkan masyarakat borjuis dalam
kondisinya yang sekarang, dan borjuasi dengan sendirinya akan menderita
kekalahan yang menakutkan. Andaikan nanti proletariat mencapai kekuasaan, maka
berdasarkan teori Bernstein itu, proletariat bisa menarik kesimpulan “praktis”,
yakni: tidur saja. Teori Bernstein itu melemahkan proletariat pada saat-saat
perjuangan yang paling menentukan, hingga menjadi tidak aktif, menjadi
pengkhianatan pasif dari sebabnya sendiri.
Program kita hanya akan menjadi secarik kertas tak
berharga, jika tak mampu membekali kita dengan segala kemungkinan pada setiap
saat perjuangan, dan jika tidak membekali kita dengan aplikasinya, bukan dengan
non-aplikasinya. Kalau program kita mengandung rumusan perkembangan sejarah
masyarakat dari kapitalisme menuju sosialisme, maka ia harus juga merumuskan
-dalam semua hal fundamentalnya yang khas- semua fase peralihan dari
perkembangan ini. Dan konsekuensinya, program tersebut hendaknya juga bisa
menunjukkan kepada proletariat, apa yang seharusnya merupakan tindakan yang
cocok pada setiap momentum dalam perjalanan menuju sosialisme. Tak akan ada
lagi waktu bagi proletariat ketika ia terpaksa memilih: mengabaikan programnya,
atau diabaikan oleh program itu.
Secara praktis, hal ini termanifestasi dalam kenyataan
bahwa tidak mungkin terjadi keadaan di mana proletariat -yang ditempatkan pada
tampuk kekuasaan berkat adanya kekuatan dari beberapa peristiwa- tidak berada
dalam kondisi, atau secara moral tidak merasa wajib untuk mengambil
langkah-langkah tertentu, yakni langkah-langkah peralihan dalam arah menuju
sosialisme. Dibalik keyakinan bahwa program sosialis bisa gagal sepenuhnya pada
satu titik dari kediktatoran proletariat, tersembunyi keyakinan lain bahwa
program sosialis secara umum, dan pada saat kapanpun, tidak bisa diwujudkan.
Dan bagaimana jika langkah-langkah peralihan itu
prematur? Pertanyaan ini menyembunyikan sejumlah besar ide keliru tentang
perjalanan sesungguhnya dari transformasi sosial.
Pertama, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat,
yakni oleh sebuah kelas popular yang besar, tidaklah dihasilkan secara
artifisial. Ia mengasumsikan (dengan kekecualian, misalnya dalam kasus Komune
Paris, yakni ketika proletariat tidak mencapai kekuasaan setelah melakukan
suatu perjuangan sadar untuk mencapai tujuannya, namun jatuh ke tangannya
sendiri seperti sesuatu yang baik, yang diabaikan oleh orang lain) adanya suatu
tingkat tertentu kematangan relasi-relasi ekonomi dan politik. Di sini kita
memiliki perbedaan yang esensial antara kudeta menurut konsepsi Blanqui -yang
dijalankan oleh suatu “minoritas aktif” dan meledak seperti letusan pistol yang
selalu tak tepat pada waktunya- dengan penaklukan kekuasaan politik oleh massa
rakyat yang besar dan sadar, yang hanya bisa terjadi sebagai akibat dari
membusuknya masyarakat borjuis, dan karenanya melahirkan sendiri legitimasi
ekonomi dan politik bagi kemunculannya yang tepat waktu.
Karena itu, kendati kalau dilihat dari sudut efek
politik, penaklukan kekuasaan politik oleh kelas pekerja tidak mungkin “terlalu
dini” mewujud sendiri, namun dari sudut pelestarian kekuasaan (lama / status
quo – penerj.), adalah revolusi yang prematur, yakni pemikiran yang membuat
Bernstein selalu terjaga, mengancam kita laksana pedang Damocles. Dalam
menghadapi ancaman ini, baik doa maupun permohonan, ketakutan ataupun
kesengsaraan, tidaklah banyak membantu. Dan berikut ini ada dua alasan yang
sangat sederhana.
Pertama, adalah mustahil untuk membayangkan bahwa suatu
transformasi sehebat apapun seiring perjalanan dari masyarakat kapitalis menuju
masyarakat sosialis, bisa diwujudkan dalam satu Undang-Undang yang membahagiakan.
Menganggap itu sebagai hal yang mungkin, kembali ini berarti meniru corak dari
konsepsi-konsepsi yang jelas bersifat blanquis. Transformasi sosialis
mengasumsikan sebuah perjuangan yang panjang dan keras, yang dalam kurun itu
cukup mungkin bahwa proletariat akan terpukul mundur lebih dari satu kali,
sehingga untuk pertamakalinya -dari sudut pandang hasil akhir perjuangan-
proletariat bisa disebut mencapai tampuk kekuasaan “terlalu dini”.
Kedua, akan mustahil untuk menghindari penaklukan kekuasaan
negara “yang prematur” oleh proletariat, karena memang serangan-serangan
“prematur” dari proletariat ini menimbulkan suatu faktor -dan sesungguhnya
adalah faktor yang sangat penting- yang menciptakan syarat-syarat politik bagi
kemenangan akhir. Dalam kurun krisis politik yang menyertai perebutan
kekuasaan, dalam kurun perjuangan yang panjang dan keras, proletariat akan
memperoleh tingkat kematangan politik yang memungkinkannya untuk pada waktunya
mendapatkan sebuah kemenangan revolusi yang pasti. Jadi, serangan-serangan
proletariat yang “prematur” terhadap kekuasaan negara ini, dalam dirinya
sendiri merupakan faktor historis penting yang membantu memprovokasi dan
menentukan titik kemenangan yang pasti. Dilihat dari sudut pandang ini, ide
tentang suatu penaklukan kekuasaan politik yang “prematur” oleh kelas pekerja,
nampak menjadi sebuah absurditas polemis yang berasal dari konsepsi mekanis
tentang perkembangan masyarakat, dan memposisikan kemenangan perjuangan kelas
sebagai sebuah poin yang ditetapkan di luar -dan lepas dari- perjuangan kelas.
Karena proletariat tidak berada dalam posisi untuk
merebut kekuasaan dengan cara selain “cara yang prematur”; karena proletariat
mutlak harus merebut kekuasaan satu kali atau beberapa kali “lebih dini”
sebelum ia bisa mempertahankan diri dalam kekuasaan selamanya, maka keberatan
terhadap penaklukan kekuasaan yang “prematur”, pada dasarnya tak lain adalah
sebuah oposisi umum terhadap aspirasi proletariat untuk memiliki kekuasaan
negara. Karena banyak jalan menuju Roma, maka begitu pula kita secara logis
sampai pada kesimpulan bahwa usulan revisionis untuk mengabaikan tujuan akhir
gerakan sosialis, sesungguhnya adalah suatu rekomendasi untuk meninggalkan
gerakan sosialis itu sendiri.
Glosarium nama dan istilah
Auer, Ignaz (1846-1907): Seorang sosial-demokrat Bavaria;
sekretaris sosial-demokrasi Jerman sejak tahun 1875; reformis.
Bebel, August (1840-1913): Salah satu pendiri dan
pemimpin Partai Sosial-Demokratik Jerman dan Internasionale Kedua; bersama
Wilhelm Liebknecht ia dihukum penjara selama dua tahun dengan tuduhan
pengkhianatan pada 1872; penulis buku Perempuan dan Sosialisme; tokoh dari
kecenderungan-kecenderungan revisionis.
ernstein, Eduard (1850-1932): Seorang sosial-demokrat
Jerman; sahabat dan pelanjut tradisi tulisan Engels; mengembangkan teori
revisionis sosialisme evolusioner; menjadi pemimpin sayap oportunis ekstrem
sosial-demokrasi.
Blanqui, Louis Auguste (1805-1932): Seorang sosialis
revolusioner Perancis, yang namanya diasosiasikan dengan teori insureksi
(pemberontakan) bersenjata oleh sekelompok kecil orang-orang yang terpilih dan
terlatih, bertentangan dengan konsep marxis tentang insureksi massa;
berpartisipasi dalam Revolusi Perancis tahun 1830; mengorganisir sebuah
insureksi yang gagal pada 1839; dibebaskan berkat adanya Revolusi tahun 1848;
dipenjarakan kembali selama masa kekalahan Revolusi 1848; dipenjarakan
menjelang terbentuknya Komune Paris. Terganggu kesehatannya akibat kehidupan
penjara selama tigapuluh lima tahun, dia kemudian diampuni pada 1879, dan pada
tahun itu juga ia dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat oleh para
buruh di Bordeaux, namun dinyatakan tak memenuhi syarat oleh pemerintah.
Brentano, Lujo (1844-1931): Ekonom Jerman, salah satu
dari “para profesor sosialis” yang membela “perdamaian kelas”; berpendapat
bahwa kontradiksi-kontradiksi kapitalisme bisa diatasi tanpa perjuangan kelas,
yakni melalui serikat-serikat buruh yang reformis, yang akan memungkinkan
kapitalis dan buruh untuk merekonsiliasikan perbedaan-perbedaan mereka.
Fourier, Francois Marie Charles (1772-1837): Seorang
sosialis utopis Perancis dan kritikus kapitalisme.
Goethe, Johann Wolfgang von (1749-1832): Penyair dan
dramawan; sastrawan terbesar Jerman; menulis Faust.
Heine, Wolfgang (1861 – ?): Seorang sosial-demokrat
Jerman; salah satu pendukung Bernstein yang paling giat dalam perjuangan
revisionis; patriot sosial selama masa perang.
Kant, Immanuel (1724-1804): Filsuf idealis Jerman.
Kartel: Kesepakatan sukarela di antara perusahaan-perusahaan
manufaktur yang memproduksi jenis produk yang sama untuk membatasi persaingan
sesama mereka dengan membagi pasar, menetapkan harga, dan lain-lain.
Kautsky, Karl (1854-1938): Seorang sosial-demokrat
Jerman; teoritisi terkemuka dari Internasionale Kedua; selama masa perang
adalah seorang penganut paham perdamaian; penentang yang gigih terhadap
bolsyewisme dan pemerintahan Soviet.
Lange, Friedrich Albert (1828-1875): Filsuf neo-kantian
Jerman dan reformis sosial.
Lassalle, Ferdinand (1825-1864): Seorang sosialis Jerman;
pendiri Serikat Umum Pekerja Jerman pada 1863, yang kemudian berfusi dengan
para pengikut Marx untuk membentuk Partai Sosial-Demokratik.
Liebknecht, Wilhelm (1826-1900): Berpartisipasi dalam
Revolusi Jerman tahun 1848; pergi ke pengasingan di Inggris, di mana ia menjadi
murid dari Marx dan Engels; kembali ke Jerman setelah amnesti tahun 1860 dan
membangun partai marxis yang bersatu dengan partai lassallean untuk membentuk
SPD; dipenjarakan dengan tuduhan pengkhianatan berat pada 1872; memperjuangkan
ortodoksi marxis untuk menentang upaya-upaya revisionis di dalam SPD.
Menger, Carl (1840-1921): Seorang ekonom-politik
Australia.
Neupauer, Dr. Joseph Ritter von: Seorang ekonom borjuis
Jerman yang pandangan-pandangannya direkomendasikan oleh Bernstein.
Pereira, Isaac (1806-1880): Seorang ekonom Perancis;
apolog borjuis.
Potter-Webb, Beatrice (1858-1943): Seorang sosialis
fabian; istri dari Sydney Webb; bersama suaminya menulis banyak buku.
Proudhon, Pierre Joseph (1809-1865): Seorang sosialis
utopis Perancis yang meramalkan munculnya suatu masyarakat yang berdasarkan
pertukaran fair di antara para produsen independen, dan menganggap negara
kurang penting dibandingkan bengkel-bengkel kerja yang ia yakin akan
menggantikan negara; penulis buku Filsafat Kemiskinan, yang kemudian dijawab
oleh Marx dengan karyanya Kemiskinan Filsafat.
Rodbertus, Karl Johann (1805-1875): Seorang ekonom Jerman
yang memegang pandangan-pandangan sosialis, tetapi bukan yang revolusioner;
Engels membahas pandangan-pandangan Rodbertus tersebut dalam pengantar pada
karya Marx Kemiskinan Filsafat.
Say, Jean-Baptiste (1767-1832): Seorang ekonom borjuis;
tokoh yang mempopulerkan Adam Smith; hukum Say adalah tesis bahwa setiap
tindakan produksi pasti menciptakan kemampuan beli yang diperlukan untuk
membeli produk itu.
Schippel, Max (1859-1928): Seorang revisionis sayap kanan
dalam sosial-demokrasi Jerman; membela kebijakan-kebijakan Jerman yang
imperialis, ekspansionis dan agresif.
Schmidt, Konrad (1863-1932): Seorang ekonom dan
sosial-demokrat Jerman yang melakukan yang berhubungan surat-menyurat dengan
Engels; kemudian menjadi revisionis.
Sisyphus: Raja Corinth (dalam mitologi) yang -di negeri
antah-berantah- dijatuhi hukuman untuk menggelindingkan sebuah batu besar ke
puncak bukit, dan batu itupun terus menggelinding mundur setiap kali ia
berusaha menggerakkannya, hingga tugasnya pun tak pernah berakhir.
Tengah: Partai Katolik Roma Jerman yang duduk di
tengah-tengah dalam Dewan Reichstag; bermanuver di antara pemerintah dan sayap
kiri.
Undang-Undang anti-sosialis: Disebut juga Undang-Undang
perkecualian sosialis; Undang-Undang yang diprakarsai oleh Bismarck; berlaku di
Jerman sejak 1878 sampai 1890; melarang organisasi-organisasi dan
publikasi-publikasi untuk terlibat dalam propaganda sosialis. Kaum
sosial-demokrat hanya diijinkan untuk beraktivitas parlementer.
Uspensky, Gleb Ivanovich (1840-1902): Seorang novelis
Rusia yang banyak menulis tentang kehidupan petani.
Vollmar, Georg Heinrich von (1850-1922): Pemimpin
sosial-demokrasi Bavaria; pada tahun 1891, beberapa tahun sebelum Bernstein, ia
mendesakkan pandangan-pandangan reformis, yang dengan begitu ia menjadi pelopor
reformisme Jerman.
Webb, Sydney (1859-1947): Teoritisi utama Inggris tentang
sosialisme gradualis; seorang pendiri Masyarakat Fabian; bersama istrinya
(Beatrice) ia menulis banyak buku tentang koperasi dan trade-unionisme; menjadi
menteri dalam pemerintahan Partai Buruh; diangkat menjadi Lord Passfield; dia
dan istrinya menjadi apolog atas stalinisme dalam tahun 1930-an.
Weitling, Wilhelm (1808-1871): Penulis proletarian Jerman
yang pertama; seorang kolaborator Blanqui; seorang sosialis utopis egalitarian.
Wolff, Julius (1862-?): Seorang ekonom borjuis.
Sumber : marxists.org