Oleh : Rinto Kogoya
“Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” (Alinea Pertama Pembukaan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Tuntutan
rakyat Papua untuk merdeka dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dan cengkraman kepentingan negara-negara dunia pertama kini
sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat. Setelah sebelumnya tuntutan
itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi di luar negeri (internasional), maka
sejak bergulirnya Reformasi di Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara
terbuka, terutama di Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara
tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik menguasai wilayah
Papua Barat dan negara dunia pertama yang secara real ekonomi yang menguasai
Papua Barat “keras kepala” untuk tidak mendengarkan tuntutan rakyat Papua
tersebut. Tuntutan memisahkan diri rakyat Papuat dianggap sebagai sebuah upaya
ilegal (melawan hukum atau tidak sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan
beberapa cap konyol seperti separatis, makar, anti pembangunan, goblok,
pemberontak dan lainnya. Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi
Indonesia dan negara dunia pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat
praktek penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah
(Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan pemenjaraan sewenang-wenang
di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa jenis kejahatan lainnya.
Walaupun
demikian, rakyat Papua yang berpegang teguh pada keyakinan politiknya tidak
menyerah. Sebaliknya “api perjuangan” dikobarkan terus-menerus untuk tetap
melanjutkan aksi perlawanan dengan tuntutan utama “Papua Harus Merdeka”.
Tuntutan itu bisa dilihat dari beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai
kalangan melalui berbagai aksi yang dilancarkan dengan tuntutan yang jelas dan
tegas hendak memisahkan diri dari Indonesia. Perjuangan itu tidak hanya
dilakukan di dalam negeri, di luar negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan
Papua Barat sedang marak yang dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang
didukung oleh berbagai Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan
hanya orang Papua asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi
diperjuangkan juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar
negeri.
Yang
menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua “keras kepala” untuk minta
merdeka? Mengapa Indonesia dan negara dunia pertama juga “keras kepala” untuk
tetap mempertahankan wilayah Papua Barat sebagai bagian dari NKRI? Tentunya
punya alasan dan akar masalah. Untuk melihat alasan dan akar masalah, maka
sejarah Papua Barat harus dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya
harus dicari solusi atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat
Papua dan pendukungnya, tentu saja di dalamnya berbagai lapisan rakyat Papua.
Hal itu akan menjawab pertanyaan. mengapa rakyat Papua menuntut merdeka?
Untuk
menemukan “akar masalah” Bangsa Papua Barat yang sesungguhnya, maka penulisa
mencoba memaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat dan dinamika
politik penjajahan terhadap Bangsa Papua Barat.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian
dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi
pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan
dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian
dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian
sengketa politik Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal coba penulis kemukakan. Pertama ; sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat, kedua ; sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah, ketiga ; sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat , keempat ; alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia, kelima ; proses ilegal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, dan keenam ; Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Orde Baru Indonesia dan Kebangkitan Nasional Bangsa Papua Barat.
Pertama
; sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Dalam sejarah hidup, rakyat Papua
Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal
itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat
sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis
sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun.
Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah,
sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah
Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay
(Ottis Simopiaref, Dasar-dasar Kemerdekaan Papua Barat, sebuah ringkasan dari
buku Karkara).
Selain
kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing),
juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia
mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Melanesia
sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan
ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun
mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun
dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya
sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula.
Dari
gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama
sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan
kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia
dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada
masa sejarah sama sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis
untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam
ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi
orang Papua (Yakobus F. Dumupa, Berburu Keadilan di Papua: Mengungkap Dosa-dosa
Indonesia di Papua Barat, Pilar Media, Yogyakarta, 2006. Hal. 263-281).
Kedua
; sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah.
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun (350
tahun Belanda menjajah pulau Jawa yang kemudian digeneralisir menjajah wilayah
lain yang termaksud dalam kekuasaan Hindia Belanda), sedangkan Papua Barat
(Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua
Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi
pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah (Agus A. Alua, Kongres Papua
2000 21 Mei-04 Juni “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat”, Sekretariat
Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFP Fajar Timur, 2002. Hal. 67).
Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari
Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan
penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.
Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port
Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun
1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang
ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak
perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di
Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische
Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913), Perhimpunan Indonesia (1908),
Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam
berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali
tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu
itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama
dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali
tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda
adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat
Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal
28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia
seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya
hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan
satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir
dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah
mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia”
itu.
Dalam
perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada
orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada
sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh
Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang
Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta
menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka
biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan
bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam
salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika
Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi
tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu
“Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea
(Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara
Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa
Papua Barat.
Tanggal
19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam
delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan
berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku.
Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi
Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian
pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai
daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada
wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang
pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi
Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan
pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat
Perjuangan.
Setelah
semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya
wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan
Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar
dalam merebut Papua Barat.
Ketiga
; sejarah kemerdekaan Bangsa Papua Barat . Ketika Papua Barat masih menjadi
daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda,
tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh
sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 (Tumbuhnya paham “Nasionalisme
Papua” di Papua Barat mempunyai sejarah yang panjang dan pahit. Sebelum dan
selama perang dunia ke II di Pasifik, nasionalisme secara khas dinyatakan
melalui gerakan Millinerian, Mesianic dan “Cargo-Cultis). Memasuki tahun
1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah
Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja dalam bahasa Belanda disebut
Bestuurschool (Pendiri sekolah ini, yaitu J. P. van Eechoud oleh banyak orang Papua
dijuluki sebagai “Vader der Papoea’s) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik
400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.
Selanjutnya
atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka
pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa
tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu
(Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey
(Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim
(Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja
Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke
(mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch dari Manokwari (Yorrys Th. Raweyai,
Mengapa Papua Ingin Merdeka, Presidium Dewan Papua, Jayapura, 2002. Hal. 16).
Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang
cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional
yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70
orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang
isinya: satu, menetukan nama Negara ; Papua Barat. Dua, menentukan lagu
kebangsaan ; Hai Tanahku Papua. Tiga, menentukan bendera Negara ; Bintang
Kejora. Dan empat, menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada
1 November 1961. Serta lambang negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan
semboyan “One People One Soul”.
Rencana
pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi
dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi
setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora
dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan
Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan
lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda
“Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda
dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat
secara de facto sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Keempat ; alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 18 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat (TRIKORA) di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya: pertama, gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial, kedua, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia, dan ketiga, bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi
dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando
Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun
1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto
untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah
itu dari tangan Belanda.
Akhirnya
dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan
militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti
Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil,
Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat
laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan
pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang
Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa
Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk
memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno
mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah
Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai
tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu
adalah: satu, Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit. Dua,
kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh sultan Tidore
dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore
diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”.
Tiga, Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda. Dan
empat, Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme di Asia
Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan
kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat
yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki
perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan
merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara
Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede
politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Kelima
; proses illegal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.
Penandatanganan New
York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang
disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan
Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus
1962. Inti dari perjanjian ini adalah dilaksanakannya tindakan bebas memilih
(Act of Free Chice) melalui mekanisme Internasional dengan ketentuan satu orang
satu suara (One Man, One Vote).
Pada
masa ini terjadi suatu kejanggalan yang mana pada tahun 1967 Freeport-McMoRan
(sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan
pemerintah Indonesia dibawah rezim Soeharto untuk membuka pertambangan tembaga
dan emas di Pegunungan Tengah Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada
tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.
Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya
penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik
Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969
dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua
Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.
Maka,
jelaslah Penentuan Pendapat Rakyat yang dilakukan pada tahun 1969 akan
dimenangkan oleh Indonesia. PEPERA dilaksanakan dengan sistem “musyawarah untuk
mufakat” (sistem pengambilan keputusan di Indonesia) yang bertentangan dengan
isi dan jiwa New York Agreement, dimana dari 809.337 orang Papua pada saat itu
yang memiliki hak pilih hanya diwakili oleh 1.025 orang yang dimasukan dalam
Dewan Musyawarah (Demus) yang mana sebelumnya sudah diindoktrinasi untuk
memilih Indonesia. Ironisnya lagi, dari 1.025 orang, cuma 175 orang yang
memberikan pendapat. Di samping itu PEPERA 1969 dilaksanakan dengan teror,
intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan Demokrasi).
Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Keenam
; Bangsa Papua Barat dalam kekuasaan Orde Baru Indonesia dan Kebangkitan
Nasional Bangsa Papua Barat. Pada masa pemerintahan rezim orde baru Soeharto
banyak peristiwa bersejarah yang dilakukan Rakyat Papua untuk memperjuangkan
pemisahan diri dari Indonesia terutama paska pelaksanaan Penentuan Pendapat
Rakyat (PEPERA) 1969, tetapi secara umum di sini penulis hanya akan
mengemukakan peristiwa yang memiliki nilai historis penting.
Pertama,
Proklamasi 1 Juli 1971. Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak
lewat manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969,
wilayah ini diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai
memperketat wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
dilancarkan oleh Rakyat Papua lewat perjuangan diplomasi dan gerilya. Pada
tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat
perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian
dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan
Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet
Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai
Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan,
Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan
Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL
Republik Papua Barat (Kini Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat/TPN PB).
Kedua,
Deklarasi Negara Melanesia Barat. Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas
Victoria”, imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga
mereka, Papua New Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai
negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang
mereka sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki
persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New Guinea)
sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik Indonesia”.
Sejak
Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura.
Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi Sorong-Samarai” itu,
Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara
di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan “bunuh diri” di Serui.
Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp
13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih
hidup, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977,
kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan “makar”.
Ketiga,
pembunuhan budayawan nasionalis Papua; Arnold Clemens Ap. Pada tanggal 26 April
1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu” yang justru semakin menumbuhkan
kesadaran nasional Papua yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya
(untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok perlawanan Papua yang
saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal
Papua Barat yang juga adalah pimpinan kelompok music Mambesak, Arnold Clemens
Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di pantai Pasir Enam, sebelah
timur kota Port Numbay.
Keempat,
Proklamasi Melanesia Barat. Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai
Wanggai memproklamasikan Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara
Melanesia Barat untuk melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia
Mendeklarasikan Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang
Empat Belas (B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia
dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun 1996
karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai karena
diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan diri ke luar
negeri.
Ide
Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas mengenai
batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat juga meliputi
Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun
Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu
appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara
Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar
terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain
peristiwa bersejarah yang telah disebutkan di atas, masih ada juga aksi-aksi
perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya yang dilakukan oleh
rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor
perwakilan OPM di berbagai negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976),
dan kampanye yang dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya.
Sementara secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos
Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya sepanjang
kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai
balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan kebijakan Daerah
Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari, pengejaran, pemenjarahan,
pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum dan kampung, dan aksi
kejahatan militer yang lainnya. Selain itu dilakukan Operasi Koteka pada tahun
1970-an, yang mana rakyat dipaksa untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia
yang terbuat dari kain.
Akibat
Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi korban. Hal dapat
dilihat dari laporan Amnesty International yang mengemukakan bahwa telah
terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai oleh militer Indonesia. Selain itu
Universitas Yale mengeluarkan laporan resmi bahwa telah terjadi Genosida di
Papua Barat yang dilakukan oleh pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul
“Indonesia Human Rights Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide
to the History of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan
Peter King dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney
Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset tentang
Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua? The Role of
Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of the Papua People”(
Yakobus F. Dumupa, Suaka Politik: Perang Diplomasi Indonesia versus Papua Barat
dan Perjuangan Kemerdekaan Papua Barat, 2010).
Kebangkitan
nasional Bangsa Papua Barat (Era Reformasi Indonesia) bersamaan dengan
tumbangnya “raja” Soeharto dari kursi kekuasaanya sejak tahun 1998, dan
sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia. Lahirnya
Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat untuk memperjuangan
haknya secara terbuka walau disisi lain pengekangan yang dilakukan terhadap
gerakan-gerakan perlawanan khususnya diwilayah Papua kerap kita temukan dalam
berbagai bentuk. Namun, apa yang terjadi hari ini di Papua akan menjadi
pembelajaran yang sangat penting dari sejarah perjalanan Rakyat Papua dalam
membentuk sejarahnya sendiri. “Rakyat, dan hanya Rakyat-lah, adalah kekuatan
penggerak dalam pembentukan sejarah umat manusia.”(Mao Tsetung). Sekian…salam
erat!