Oleh : Socratez Sofyan Yoman
“Adalah
logis Indonesia menjadi Negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan
nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa
pembangunan nasional yang sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu.
Yang selama ini dilakukan oleh penguasa Negara silih berganti adalah
pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia,
IFM, dan lembaga finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling
terkait, tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran
suksesnya”. (Daoed Joeseof, Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne, Opini Kompas, Kamis, 12 Juli 2012, hal.6).
Wajah
dan representasi Kegagalan Negara Indonesia dapat diukur salah satunya
dari realitas kehidupan Penduduk Asli Papua. Kemiskinan penduduk
Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita. Kekayaan Sumber Daya
Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas, perak, ikan, hutan,rotan, minyak
ada di Tanah Papua. Papua memberikan sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap
tahun. Contoh: PT Freeport perusahaan milik Amerika ini memberikan
sumbangan pajak kepada Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap
tahun. Ini belum termasuk, sumbangan pajak dari British Petrolium
(BP) milik Inggris di Bintuni, Manokwari dan pajak minyak yang diproduksi
di Sorong. Sementara rakyat Papua pemilik dan ahli waris
Tanah yang kaya raya ini dibantai seperti hewan dengan diberikan stigma
separatis, makar dan anggota OPM. Dan juga dibuat tak berdaya dan dimiskinkan
permanen secara struktural, sistematis oleh penguasa Pemerintah
Indonesia.
Misi
utama Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah Papua ialah kepentingan
ekonomi dan politik. Untuk mempertahankan dan mengkekalkan kepentingan
ekonomi dan politik itu, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua
instrumen hukum, Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk
menangkap, mengejar, menembak mati, membunuh, menculik, menyiksa dan
memenjarakan Penduduk Asli Papua dengan label separatisme. Memang,
ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah
Indonesia dengan tangan besi, kejam dan brutal yang benar-benar menghancurkan
harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas
Tanah leluhur mereka.
Barometer
Indonesia Negara gagal juga dilihat dari beberapa indikator pada skala
Nasional. Pertama, Pilar Negara seperti nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi
Negara dan bangsa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara RI tidak
diterapkan dengan baik dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, bahkan
sama sekali tidak berfungsi atau bisa dikatakan lumpuh. Kedua, kekerasan dan
kejahatan Negara terhadap warga Negara meningkat tajam.
Rakyat sipil diperhadapkan dengan kekuatan Negara. Ketiga, korupsi
merajalela di birokrasi Pemerintah, aparat penegak hukum dan munculnya
pahlawan-pahlawan koruptor yang benar-benar merusak dan meruntuhkan sendi-sendi
Negara RI. Keempat, kekerasan dan kejahatan atas nama agama dan arogansi mayoritas
terhadap penduduk minoritas dan pelakunya tidak pernah ditangkap dan diproses
hukum. Hukum diskriminatif bertumbuh subur di Indonesia. Kelima, lemahnya
penegakkan hukum di Indonesia. Hukum berpihak kepada penguasa dan orang-orang
yang memiliki kedudukan dan yang banyak uang. Keenam, meningkatnya secara tajam
kemiskinan dan jurang besar antara kaya dan miskin yang terlihat di depan mata
kita di mana-mana di seluruh Indonesia. Ketujuh, banyak Partai Politik dan
kepentingannya yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, Negara dan bangsa
tapi lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan dan kemajuan partai
politik. Banyak partai politik menciptakan jurang besar disintegrasi
sosial dan disharmoni kebangsaan yang benar-benar melumpuhkan solidaritas
sebagai warga Negara. Ingat! Separatisme sesungguhnya sudah subur di Jawa dekat
ibu kota Negara RI bukan di Tanah Papua. Contoh: Negara Islam Indonesia (NII),
pelarangan dan penutupan Gereja-gereja di Jawa dan pelarangan Gereja GKI
Yasmin Bogor oleh seorang Walikota Bogor. Apakah ini bukan gerakan
separatis? Semboyan Bhineka Tunggal Ika tercabik-cabik di depan
mata penguasa yang sedang menindas Penduduk Asli Papua.
Kembali
pada paradox Separatisme, Realitas kemiskinan struktural dan permanen di Papua.
Kesan saya, ada konspirasi ekonomi dan politik antara dua Negara dan
bangsa. Pemerintah Amerika Serikat, menempatkan Pemerintah
Indonesia di Tanah Papua sebagai “satpam” penjaga “kebunnya” Amerika
Serikat, PT Freeport, yang sedang merampok, melakukan pencurian,
dan penjarahan besar-besaran hak milik Penduduk Asli Papua. Pemerintah
Indonesia sebagai “satpam” penjaga ini juga mendapat beberapa keuntungan: Dia
(Indonesia) mendapat royalti 18 Triliyuan setiap tahun. Sementara menjadi
penjaga, dia membantai dan memusnahkan Penduduk Asli pemilik Tanah.
Indonesia juga mendatangkan penduduk Indonesia dipindahkan ke Papua yang
dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di
seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua dan
menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam
atas nama pembangunan nasional. Pemerintah Amerika Serikat mempunyai
kepentingan ekonomi di Indonesia dan Papua, sedangkan Pemerintah Indonesia
sebagai “satpam” penjaga mempunyai kepentingan ekonomi dan politik untuk
menguasasi Tanah Papua dengan memusnahkan (genocide) Penduduk Asli Papua
dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan.
Sudah
waktunya Pemerintah Indonesia menjadi malu dan harus berterima kasih banyak
kepada Penduduk Asli Papua yang menyumbangkan Rp 18 Triliyun dari hasil tambang
emas Papua kepada Indonesia setiap tahun. Sebaliknya, apa yang didapat oleh
Penduduk Asli Papua dari Negara Indonesia? Tapi, sayang, Presiden SBY tanpa
rasa malu dan dengan gemilang mengkampanyekan bahwa Separatisme harus
dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY, mengkampanyekan isu
separatisme di Papua adalah: Pertama, untuk menyembunyikan
kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi,
kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk
menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan
sumber daya alam yang melimpah. Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua
yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah
diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang
cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis
Kossay: “sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah
ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada
di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua
merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis”
(Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012). Keempat, membelokkan atau
mengalihkan perhatian dari rakyat Indonesia dan komunitas Internasional
tentang kegagalan Otonomi Khusus. Kelima, pemerintah Indonesia
berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua
dan Pemerintah Indonesia ke isu separatisme. Keenam, persoalan
pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan
rakyat Papua yang sudah berlangsung empat dekake sejak 1Mei 1963- sekarang ini
mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi
gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Freddy
Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu
Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan: “ Sumber-sumber agraria milik masyarakat
adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya.
Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga
diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh
Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar
terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah
diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.
Sementara
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras),
Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012, menyatakan: “Polisi dan
pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak
pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap
dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok
seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan
semparangan. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan,
teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini
merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.
Sedangkan
Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8
Juni 2012, hal. 14, mengatakan: “Para pelaku penembakan misterius adalah
orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang
selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat
kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah
sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai
pelaku penembakan misterius yang terkjadi di Papua selama ini”. Cornelis
Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai,
ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah
mengaku melakukan pendedekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun,
misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam
bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini kan wajah pendekatan keamanan, bukan
kesejahteraan”. (Kompas, Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).
Pemerintah
Indonesia dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, melembagakan dan melegalkan
secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli
Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk
menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap
Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara
oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM supaya: (a)
Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak berani melakukan perlawanan untuk
mempertahankan martabat (dignity), demi masa depan yang penuh harapan,
lebih baik, damai di atas Tanah leluhurnya; (b) Aparat
keamanan mendapat dana pengamanan.
Kemiskinan
Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat dan
bangsa Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang
menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua adalah
orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri,
hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah
oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan
berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara
turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya
Indonesia lahir. Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil
(produk) dari sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang
dilakukan oleh Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas
nama pembagunan nasional yang semu.
Solusi
dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang disahkan melalui lembaga
resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian
rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang, Otonomi
Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor
dana bahwa telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit
Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU
No. 21 Tahun 2001. UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk
memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan,
kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi
Penduduk Asli Papua.
Jadi,
kesimpulannya, yang jelas dan pasti tanpa ragu-ragu: Pemerintah Indonesia
berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan
menyembunyikan diri atas kegagalan, kejahatan terhadap penduduk
Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan
struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua
selama ini dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan.
Kampanye ini untuk memperlihatkan kepada rakyat Indonesia dan komunitas
internasional bahwa kekerasan di Papua dilakukan oleh Penduduk Asli
Papua dengan membunuh Mako Musa Tabuni pada siang bolong dengan cara kriminal,
kejam dan watak premanisme. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma
separatisme. Indonesia telah gagal menjaga martabat manusia Papua,
sebaliknya Pemerintah selalu merendahkan martabat rakyat Papua dengan
stigma Separatis dan OPM. Pemerintah Indonesia sudah lama memperlihatkan wajah
kekerasan dan anti kedamaian. Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat
Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara
politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi
dan nasionalisme Indonesia. Walaupun pendidikan dan kurikulum yang
diterapkan di Papua dari tingkat Taman Kanak-Kanak-Perguruan Tinggi
adalah sistem pendidikan Nasional Indonesia.
Kompas,
pada Rabu, 20 Juni 2012 melaporkan: “Posisi Indonesia Memburuk. Urutan 63
Indeks Negara Gagal. Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012
yang dipubikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (18/6),
Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 Negara. Dalam posisi tersebut,
Indonesia masuk kategori Negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju
Negara gagal”. Berkaitan dengan laporan dari lembaga riset nirlaba The
Fund for Peace (FFP) yang bekerja sama dengan Foreign Policy (Kebijakan Luar
Negeri) yang menyatakan Indonesia menuju Negara gagal atau masuk dalam kategori
Negara gagal, saya sudah berkali-kali menyampaikan kegagalan Negara dalam
opini saya sebelum laporan resmi ini diumumkan. Seperti
telah dimuat dalam Tabloit Jubi dan Bintang Papua, Kamis, 06 Oktober 2011: “TNI
Gagal Melindungi dan Menjaga Integritas Manusia di Tanah Papua” dan pada
Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012”
Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”.
“Tinggal
soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua
karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri
dari awal”. (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. : sumber: Detiknews, Rabu, 16
Desember 2011). “Di atas batu ini saya meletakkan
peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi
dan marifat (termasuk: Otonomi Khusus dan UP4B), tetapi tidak dapat
memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. (
Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Shalom.