‘Perjuangan Papua Merdeka Bukan Teroris!’

Jumat, 06 Desember 2013



Peristiwa Kampung Yongsu, Polisi Dinilai Tidak Profesional


INSIDEN penyerbuan polisi ke Kampung Yonsu Spari yang menewaskan satu warga bernama Eduard Okoseray yang diduga sebagai kelompok OPM atau Kelompok Sipil Bersenjata (KSB) menurut Sekjen Aliansi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) Markus Haluk dan Mama Yosepha Alomang menunjukkan ketidakprofesionalan dari polisi.


Menurut mereka peristiwa tersebut adalah bagian dari pra kondisi menjelang 1 Desember 2013 yang dilakukan oleh kepolisian untuk memecah-belah perjuangan orang Papua dalam menegakkan keadilan, kebenaran, dan HAM dan tujuan-tujuan lainnya dengan membentuk opini publik seolah-olah pergerakan sipil Papua sama dengan terorisme.

“Raja Cyclop itu bukan TPN/OPM, insiden di Kampung Yongsu itu ada upaya terorisasi pergerakan Papua merdeka, karena perjuangan Papua merdeka bukan teroris. Orang Papua bukan teroris. Stop upaya terorisasi gerakan sipil politik Papua. Tuntuan perjuangan Papua bukan teroris, tanpa senjata, tapi lobi dan diplomasi,” kata Markus Haluk.

Aktivis HAM Papua Mama Yosefa juga mengaku kaget dengan istilah teroris, seperti yang disampaikan oleh Kapolda Papua beberapa waktu di beberapa media. Menurutnya orang Papua bukan teroris. Perjuangan orang Papua selama ini merupakan perjuangan menegakkan keadilan, HAM dan martabat manusia Papua, bukan terorisme.

“Saya periksa, lihat, begini, barang ini (teroris: red). Kata ini dari mana?” kata Mama Yosefa.

Beberapa waktu lalu, pihak Markus melakukan penelusuran dan menemukan berbagai fakta pasca insiden Kampung Yongsu. “Menurut para tokoh di kampung, kelompok ini bukan TPN/OPM namun mereka dilatih seperti kelompok teroris untuk memecah belah persatuan antara warga di kampung dan menghacurkan perjuangan TPN/OPM yang sesungguhnya,” kata Sekjen AMPTPI Markus Haluk Kamis (5/12/2013).

Dimana, kata dia, skenario penyergapan tersebut bagian dari sebuah skenario yang direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya, dimana pada 2 September 2013 saat dilakukan pemilihan Kepala Kampung Adrianus Apeserai, Kepala Kampung lama tidak terpilih lagi, dimana Wilson Sarundanya yang terpilih sebagai kepala Kampung Yongsu.

Pekan berikutnya, pertengahan September, dua pemuda non Papua yang konon kabarnya merupakan militan dari Poso datang ke kampung itu dan melatih Adrianus Apaserai, Octovianus Sorondaya (Kaur Perencanaan Kampung 2007-2013)  serta Eduard Okeserai, Staf Kepala Kampung. Kemudian beberapa pemuda warga kampung bergabung dengan kelompok Adrianus Aupaserai.

Awal Oktober, kedua pemuda itu melatih membuat bom dan merakit senjata. Setelah itu, keduanya hilang tanpa jejak hingga kini. Pertengahan Oktober 2013, kelompok yang dilatih dua pemuda asing itu menyebar teror terhadap warga. Setiap warga yang pergi ke kota dicurigai sebagai pelapor dan akan melaporkan ke aparat keamanan. Sebanyak tiga kali ancaman terhadap warga oleh kelompok yang dipersenjatai itu.

Pada 29 November 2013, sekitar pukul 08.00 WIT, aparat keamanan masuk ke Kampung Yongsu dan menggeledah rumah warga. Rumah milik Adrianus Aupaserai, Octovianus Sorondaya dan Eduard Okeserai berhasil digeledah aparat polisi. Saat itu, Eduard Okeserai sudah melarikan diri tetapi kembali lagi ke kampung untuk menjemput seorang anak kecil dan mengambil senjata rakitan.
Saat itu, aparat menembak mati Eduard.  Pasca penembakan, Eduard sempat lari sekitar 70-100 meter tetapi akhirnya meninggal dunia. Setelah aparat meninggalkan kampung, karena emosi tak terkendali, teman korban membakar rumah warga yang dicurigai sebagai pelapor. Dan sekitar pukul 16.00 WIT, Eduard dimakamkan di kampung Yongsu oleh pendeta setempat.

“Kita jadi bertanya mengapa peristiwa ini terjadi. Peristiwa ini sudah lama, resminya September-Oktober. Mereka yang terlibat adalah aparat kampung. Kalau kita melihat tindakan yang terjadi, polisi terlambat. Seharusnya polisi bertindak lebih awal. Tindakan kepolisian tidak profesional,” kata Willem, dari AMPTPI.
Akibat peristiwa ini, dari 75 KK (Kepala Keluarga) di Kampung Yongsu, sekitar 65 KK, mengungsi ke kampung terdekat dan hijrah ke Sentani, ibukota Kabupaten Jaypura. Sementara sekitar 10 KK masih di Kampung Yongsu.

Kabid Humas Polda Papua AKBP Sulistiyo Pudjo Hartono. S.Ik ketika ditanya terkait kejadian di kampung Yongsu bahwa mereka tak ingin kembali ke kampung setelah penyerangan oleh anggota kepolisiaan mengaku belum mengetahuinya.
“Kita cross check dulu,” kata Kabid Humas Polda Papua belum lama ini ketika ditanya SULUH PAPUA. Menurut AKBP Sulistiyo, memang terjadi perlawanan dari kelompok yang mengaku kelompok Raja Cycloop. Akibatnya seorang dari mereka terkena tembakan.

Markus Haluk menilai, dari sisi hukum militer, tak dibenarkan membunuh warga sipil tanpa perlawanan. Menurut Markus, target kepolisian adalah Markas Yoweni di daerah itu. Namun aparat malah menembak warga sipil yang tak tahu apa-apa.
Markus juga menambahkan bahwa 30 November 2013, pukul 07.00 ia mendapat telepon dan laporan dari masyarakat bahwa pada 30 November pukul 03.00 – 04.00 WIT pasukan TNI masuk melakukan penyerangan ke Markas BrigJen H.R. Yoweni dan dalam peristiwa ini Kolonel Amos Sorontauw (salah satu Kepala Staf  BrigJen. H.R. Yoweni) dan 1 orang staf TPN meninggal dunia. Pasukan TNI juga membakar beberapa rumah warga. Selain itu, pasukan TNI menguasai kampung sekitarnya.

“Berdasarkan laporan tersebut kami membuat laporan untuk sampaikan kepada media masa. Namun setelah kami turun lapangan melakukan pendataan kembali selama 1-2 hari lalu ternyata informasi awal yang telah kami sampaikan pada 30 November 2013 tidak benar mengenai keterlibatan anggota TNI dalam peristiwa di Kampung Yongsu,”  kata Markus Haluk meminta maaf kepada insitusi TNI.

Demikian pula soal jatuhnya korban Kolonel TPN/OPM Amos Sorontauw dan bersama salah satu stafnya adalah tidak benar. Khusus untuk Pihak TNI ia membenarkan apa yang disampaikan oleh Kapendam KODAM XVII/Cendrawasih Kol. Inf. Lismer Lumban Sianitar bahwa Anggota TNI tidak terlibat dalam peristiwa di Kampung Yongsu.

“Oleh karena itu saya menyampaikan permohonan maaf kepada institusi TNI dan pimpinan TPN/OPM,” katanya lagi.

Ia menyayangkan mengapa pada 29 November 2013, pukul 08.00 WIT polisi mengedepankan penyergapan untuk menangkap kelompok Raja Cyclop, kenapa tidak melakukan upaya persuasif terlebih dahulu dengan melibatkan tokoh adat, tokoh agama termasuk aparat kampung Yongsu, karena penyergapan itu menimbulkan kepanikan warga apalagi terdengar rentetan tembakan.

“Kita harap polisi harus mengungkap siapa dua orang pemuda non Papua yang datang melatih dan mengajarkan kelompok ini untuk merakit senjata, bom, dan melakukan teror terhadap warga,” ujar Markus.

Karena menurutnya ketiga orang yang disebutkan sebagai kelompok yang meresahkan masyarakat, adalah warga sipil biasa yang tidak terlibat dalam berbagai aktivitas Papua Merdeka. Namun sebaliknya, ada indikasi kuat bahwa kelompok ini sedang disiapkan oleh pihak tertentu untuk menciderai perjuangan rakyat bangsa Papua kepada upaya terorisasi.

“Komnas HAM RI harus turun untuk menginvestigasi kasus ini”, katanya.

(TM/R-1/LO3)

Sumber : suluhpapua.com

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar