Lemahnya Partisipasi Publik Dalam Penegakan Hak Asasi

Kamis, 02 Januari 2014


PADA  2005  pemerintah Indonesia mendirikan Perwakilan KOMNAS HAM di Papua. Keberadaannya, kemudian menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang ketika Perwakilan KOMNAS HAM selama keberadaannya belum mampu bekerja sesuai harapan rakyat. Kewenangannya belum diberikan sepenuhnya oleh Jakarta. Sehingga keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM di Papua hanyalah boneka yang ditempatkan Jakarta di Papua agar dunia internasional tahu bahwa pemerintah Indonesia serius menangani persoalan HAM di Papua. Padahal, kenyataannya, tidaklah demikian.


Adapun unsur-unsur tindak pidana yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM yang berat. Pertama, kejahatan genosida. Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat yang mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Pengusiran;
5. Pemindahan penduduk secara paksa;
6. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (azas-azas) ketentuan pokok hukum internasional;
7. Penyiksaan;
8. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
9. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
10. Penghilangan orang secara paksa;
11. Kejahatan Apartheid.

KONFLIK antara rakyat Papua dengan Indonesia dimulai sebelum dan sesudah PEPERA 1969 ketika rakyat Papua mulai sadar benar dan mengetahui pembatasan HAM rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Akar persoalan derasnya tuntutan rakyat Papua mengenai hak azasinya untuk menentukan nasib sendiri. 1) pengabaian masyarakat internasional dalam pelaksanaan “Act of Free Choice” yang tidak demokratis, tidak adil dan penuh pelanggaran HAM. 2) berbagai pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis (pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan) dan implikasi sosial lainnya (perampasan tanah-tanah adat, perusakan lingkungan, degradasi budaya) sebagai hasil dari militerisme dan kebijakan-kebijakan pembangunan (transmigrasi, pertambangan, HPH, turisme selama berintegrasi dengan Indonesia). 3) krisis identitas sebagai ras Melanesia di negeri sendiri akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen genosida, rasisme dan pengabaian terhadap kultur sehingga tingkat pertumbuhan penduduk pribumi Papua sangat lambat.

Indonesia juga memberlakukan Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Selama menjadi DOM inilah berbagai pelanggaran HAM terjadi dan berujung pada kejahatan kemanusiaan. Kondisi ini membuat rakyat Papua terus hidup dalam ketakutan. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang masih tetap ada dalam ingatan penderitaan (memoria passionis) diantaranya peristiwa Manokwari (28 Juli 1965), perlawanan Ferry Awom dan Mandacan di Manokwari (1965-1969) yang menelan banyak korban di pihak rakyat sipil, kematian tokoh antropolog Papua, Arnold Clemens Ap pada 26 April 1984 adalah bentuk lain dari pembunuhan budaya Papua juga kematian Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.

Tidak banyak kemajuan di bidang HAM saat ini misalnya kasus Abepura 07 Desember 2000 mampu dibawa ke Komisi HAM PBB dan Pengadilan HAM di Makassar, walaupun hukuman akhir bagi pelaku tidak maksimal dan Peradilan HAM tidak mampu memutus rantai komando. Terbukti beberapa orang yang menjadi tersangka kasus ini justru mendapat promosi jabatan.

Secara  substansi maupun structural pemberian Otonomi Khusus Papua  membuka ruang yang sangat luas dan eksplisit  dalam rangka  penegakan dan perlindungan  HAM di Papua,   dalam pasal  45  Undang-Undang  Nomor  21  Tahun 2001,  menyebutkan  Pemerintah, Pemerintah  Provinsi dan penduduk Provinsi  Papua  Wajib menegakkan, memajukan, melindungi  dan menghormati  Hak Asasi Manusia  di Provinsi Papua.

Keadilan dan kedamaian menjadi kebutuhan semua manusia, selamat merayakan hari HAM se- dunia, 10 Desember 2013 dengan penuh cinta kasih dan damai. (***)

OLEH : Matius Murib *)
*) Penulis adalah Pembela HAM, Direktur Baptist Voice Papua

Sumber : suluhpapua.com

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar