Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
IV
KAPITALISME INDONESIA
Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang
dalam beberapa hal tak sama dengan kapitalisme yang tumbuh dan dibesarkan dalam
negerinya sendiri, yakni Eropa dan Amerika Utara.
1. Kapitalisme yang Masih Muda
Karena kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan
pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat
abad belakangan baru dimulai industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu
itulah dipergunakan mesin yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet,
teh, minyak, arang dan timah.
Industri Indonesia, terutama industri pertanian, masih
tetap terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas,
yang biasanya sangat subur dan mengandung barang-barang logam yang tak ternilai
harganya, seperti Sumatera, Borneo, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih
menunggu-nunggu tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan
alat-alat angkutan sudah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau
luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba raya.
Industri modern yang sebenarnya tidak akan diadakan di
Pulau Jawa. Ia akan tetap tinggal menjadi tempat industri pertanian. Sebab
logam-logam seperti besi, arang, minyak tanah, emas dan lainnya, tidak atau
hanya sedikit sekali didapat di sana. Sumateralah yang menjadi tempat industri
modern yang sebenarnya. Hal ini sekarang sebagian kecil telah terbukti. Arang,
minyak tanah, emas dan timah hasil Sumatera (kelak juga besi) besar artinya,
baik di kalangan nasional maupun internasional.
Inggris, negeri industri yang tertua di dunia, pada
pertengahan abad yang lalu mengadakan perubahan yang tepat dalam
perindustriannya. Negeri-negeri Eropa yang lain dan Amerika Utara mengikuti
pula berangsur-angsur. Teknik dan peraturan bekerja di sana sekarang telah sampai
pada tingkat yang setinggi-tingginya seperti yang belum pernah dikenal oleh
riwayat dunia. Tenaga produksi dan distribusi jauh melewati batas keperluan
nasional. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi negeri kapitalis yang matang.
Kapital memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan
produksi industri dan produksi pertanian. Makin maju kapitalisme, semakin
banyak penduduk yang tadinya di desa-desa ditarik ke kota-kota. Bukankah di
kota sewaktu keadaan politik dan ekonomi baik, kita peroleh lebih banyak
pekerjaan, lebih banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak kesenangan
daripada di desa-desa? Pada tahun 1790 di kota-kota berdiam 3.4% dan di
desa-desa 96.6% penduduk dari seluruh penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51
% dan 49%. Di tahun 1870 angka-angka itu jadi 21% dan 79% dan di tahun 1910
jadi 51 % dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada tahun 1920 lebih
kecil dari penduduk kota. Angka-angka ini membuktikan secara nyata pada kita
perihal kemajuan kota-kota Amerika, sebagai akibat dari kemajuan
industrialisasi. Di negeri Inggris proses pembagian itu (perihal kota dan desa)
sama teratur dan sama cukupnya. Pada tahun 1850 di kota-kota berdiam 49%
penduduk dari seluruh penduduk. Pada tahun 1900 perbandingan ini menjadi 77%
dan 23%, (The relation Governement to industry, M.L. Regua).
Menurut foods No. 73 tahun ini, jumlah penduduk dan
kota-kota yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru 60% dari
seluruh penduduk.
Jika kita pakai perbandingan antara penduduk kota dan
desa sebagai ukuran kemajuan industri satu-satu negeri, niscaya industri
Indonesia masih di dalam keadaan bayi.
Jika kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api
untuk menggambarkan kemajuan industri selaku penjelasan uraian kita yang di
atas, nyatalah kepada kita bahwa negeri Jerman, dengan 177,000 mil persegi
luasnya dan penduduknya yang lebih sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913
mempunyai 38,809 mil jalan kereta api, sedang Indonesia yang luasnya 735,000
mil persegi, pada tahun 1919 hanya ada mempunyai 3,914 mil.
Perihal jumlah perdagangan (impor-ekspor) di Indonesia
1924 (sesudah perang dunia) ada f 2,208,800 (menurut International Ocean, no.
526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum perang] ada f 13,375,000.000).
Angka-angka ini menunjukkan kemunduran kita. Tetapi jika dibandingkan dengan
negeri seperti Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya Indonesia belum
berapa mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan Tiongkok,
Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat perbandingan itu sebagaimana yang
sudah kita lakukan, sebetulnya ini telah melebihi dari kemestian. Maksud kita
tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya kapitalisme di Indonesia.
2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya
Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara
produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang
dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem
produksi bumiputra.
Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa
dan Amerika, nyatalah pada kita bahwa cara produksi yang tua berturut-turut
digantikan oleh yang muda. Biasanya kejadian itu tidak tampak jelas, tetapi
adakalanya cepat sehingga cukup jelas. Kejadian yang belakangan ini ialah oleh
adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun keadaan saat itu, ia
adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan pada kemajuan itu
ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.
Sebagaimana yang telah kita tunjukkan, kemajuan industri
di setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang mengeluarkan terutama
barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas pertanian,
obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang
ternak, susu dan lain-lain. Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang itu
dipandang penduduk kota sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan
barang-barang desa yang berlebih itu.
Di Amerika pada waktu yang biasa seperti pada tahun 1913,
selagi negeri ini terpencil dan kurang imperialistis, seperti sekarang ini,
boleh dikatakan sama besarnya perbandingan antara barang-barang industri dengan
pertanian (harga pasar antara kedua barang itu hampir sama). Jadi dalam pemandangan
ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota.
Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak
teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota kita
tak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia
tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar
negeri, dari kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan
rumah tangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia,
tetapi didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis.
Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk
mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama
mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f 114,160,000, meskipun
bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk
menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan
berasnya yang berlebih. Desa-desa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dan
lain-lain barang perdagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan
dan memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat ekonomi
bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan
keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.
Bahan yang menyebabkan kapitalisme bukanlah Indonesia —
mengingat riwayat negeri kita yang tersebut di atas — teranglah bagi kita.
Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda,
memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi
cultuur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan
pemasukan saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di zaman Kompeni Timur Jauh
(VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial ekonomi dan teknik nasional
yang kuat.
Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan
mempunyai kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah orang
Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.
Boleh jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau
dengan perantara pemboikotan nasional (seperti di India) kaum menengah
Indonesia atau Indo dengan jalan mengumpulkan kapital nasional mendirikan
industri untuk memenuhi kebutuhan nasional seperti tenun besi.
Demikianlah, kapital Indonesia timbul dengan teratur pula
antara lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur.
Saudagar Indonesia yang dulu kecil sekarang sudah menjadi bankir atau
mengepalai perusahaan yang besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula,
saudagar batik yang dulu kecil menjadi pemimpin industri logam, gula atau
tenun. Tetapi imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun
untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme
kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.
Maju ke dalam perjuangaan ekonomi melawan raksasa asing,
dengan maksud meningkatkan industri nasional sama dengan "menjaring
angin".
3. Kapital Indonesia Itu Internasional
Imperialisme Inggris dengan industri nasionalnya yang
nomor wahid dan armada yang luar biasa, semenjak semula merasa perlu mengadakan
kompromi dengan raja-raja, dan tuan-tuan tanah bangsa India, untuk
mempertahankan diri terhadap borjuasi bumiputra yang baru timbul. Tetapi tatkala
yang tersebut belakangan ini keluar dari medan perjuangan dengan kemenangan (di
tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris mengulurkan tangannya.
Bersama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi
India yang baru itu, dia pergi memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu.
Bagaimanapun sulitnya imperialisme Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam
kerajaan sendiri.
Imperialisme Belanda memukul dan menendang
"kerbau" yang sabar itu, sekian lamanya, hingga sekarang kerbau itu
mempergunakan tanduknya.
Belanda kecil yang di waktu dulu menelan segalanya untuk
dirinya sendiri, sekarang terpaksa membagi-bagikan itu dengan negeri-negeri
yang lebih kuat.
Adapun kekurangan kapital dan industri, adalah sebab yang
terpenting dari tindakan Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun, kapital
Inggris memegang peranan besar di Indonesia. Raffles yang bijaksana itu sudah
lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum ia dapat mengelabui mata
Belanda-tani itu. Setelah perang dengan Napoleon berhenti, Inggris
mengembalikan sekalian koloni Belanda. Perbuatan ini seakan-akan sangat
bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai Inggris, tetapi setelah
dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris yang selicin-licinnya dan
semurah-murahnya dalam memakai Belanda sebagai opas untuk kapital yang
ditanamnya di Indonesia. Apakah pengambilalihan seluruh administrasi yang ada
di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada Inggris? Kapital
Inggris yang beberapa tahun belakangan ini makin hari makin besar, bagi Belanda
— kecil sangat mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia sekarang tak sabar lagi,
hingga Belanda sekarang berniat memakai "politik pintu terbuka".
Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan
politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: "Dan
terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga dari
tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis.
Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam di Indonesia
dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa.
Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda".
Uang dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital
Amerika. Seorang menteri pernah berkata terus terang di dalam kamer, bahwa:
Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena undang-undang di Indonesia
sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun 1923, dan kedatangan beberapa
kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New York yang
kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian juga
menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah yang selama
bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland).
Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis Amerika
supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.
Berapa besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada
angka-angka di bawah ini.
Dalam buku Handbook voor cultuur en handsondernemingen in
Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang ditanam di Indonesia ditaksir
sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f 1.27,000,000 di dalam kebun-kebun,
minyak f 900,000,000. Dalam bank dan perdagangan f 750,000,000.
Perusahaan kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f
250.000.000, f 220.000.000 dan f 200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan
maskapai-maskapai asuransi f 60,000,000.
Kapital yang ditanam di Sumatera Timur pada tahun 1924 sejumlah
f 439,000,000. Di antaranya 55.3% kepunyaan Belanda dan 44.7% kepunyaan bangsa
asing. Kapital bangsa asing yang ditanam dalam industri pertanian sejumlah f
200,000,000. Di antaranya f 147,500,000 adalah kapital Inggris, f 300,000,000
milik Prancis dan Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f 4.000.000 milik
Jerman (International Ocean. No. 6, 1926).
Luas kebun karet pada tahun 1924 sebesar 241,357 bau
[note 1]. Di antaranya 42.2% kepunyaan bangsa asing dan 32.4% kepunyaan
Inggris. Berhubung dengan monopoli Inggris, kapital karet Amerika beberapa
tahun belakangan ini sangat cepat meningkatnya di Sumatera. Luas kebun teh di
Jawa 116,664 bau. Kepunyaan bangsa asing 23.8% dan Inggris 17.8%.
Dari tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke
pasar-pasar di seluruh dunia, ekspor gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau
32.1 % dari jumlah ekspor. Karet f 202,600,000, atau 13.2% dari ekspor. Minyak
tanah f 158,300,000, tembakau f 123,600,000, kopra f 97,400,000, teh f
93,600,000 dan kopi f 56,600,000 yakni masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%;
dan 4.3% dari jumlah ekspor semuanya.
Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya
42.55% dari semua ekspor dan ke negeri Belanda hanya 19.7%, sedang 40.4% dari
Inggris dan tanah jajahannya.
Jadi teranglah, bahwa perdagangan Inggris di Indonesia
lebih besar dari semua negeri asing, sedangkan di dalam perusahaan minyak dan
kebun-kebun yang terpenting, kapital Inggris memegang peranan yang terbesar di
antara kapital bukan Belanda. Jadi tidaklah mengherankan mengapa orang Belanda
tergesa-gesa memikat kapital Amerika.
Betul beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati
melihat Inggris menjalankan politik karet dengan cara monopoli, Amerika mulai
menanam kapitalnya di kebun karet di Sumatera Timur. Akan tetapi, hal itu belum
menjadi satu kepastian, apakah Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera
dan Jawa saja, sebab di Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah yang
subur untuk kebun karet.
Mengakui dan melindungi industri bumiputra yang modern
seperti di India menurut pandangan ekonomi baru tidak akan ada sama sekali,
sebab industri bumiputra modern memang tidak ada. Rakyat hanya diperas,
diinjak-injak dan ditipu. Pemecatan kaum buruh bukanlah satu keanehan, dan
cengkraman pajak makin lama makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut
sebab negeri Belanda terutama bergantung pada kapital luar negeri.
Sumber : marxists.org