Tugas Politik Kaum Revolusioner di Era Imperialisme

Jumat, 03 Juli 2015

Berikut ini adalah diktat presentasi kawan J.S. Anam yang disampaikannya pada Sekolah Marxis yang diselenggarakan oleh Spartakus di Semarang pada awal Desember. Disini, kawan Anam mengupas mengenai imperialisme dan tugas-tugas yang harus diemban oleh kaum revolusioner, khususnya para anggota Spartakus.

“Apa itu Imperialisme” sudah dikupas dengan panjang lebar oleh tulisan Ted Sprague di website Militan. Namun untuk mengantarkan pada pokok analisa, yakni apa tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme, saya akan mempertegas kembali apa yang telah ditulis oleh Lenin dan Trotsky mengenai imperialisme.

Imperialisme adalah periode monopoli di dalam sistem kapitalisme — tulis Lenin (dalam “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism”). Imperialisme muncul sebagai proses lanjut dari kapitalisme secara umum. Kapitalisme akan disebut sebagai imperialisme-kapitalis ketika berada pada tahapan tertentu, ketika karakteristik fundamentalnya mulai berubah menjadi antitesa-antitesa darinya, ketika perangkat-perangkat pada masa transisi dari kapitalisme ke suatu sistem sosial-ekonomi yang lebih tinggi telah mengambil bentuk dan menunjukkan dirinya di segala bidang [dan di semua lini kehidupan]. Secara ekonomik, lanjut Lenin, hal utama di dalam proses ini adalah perpindahan dari kompetisi bebas kapitalis ke monopoli kapitalis. Kompetisi bebas adalah fitur dasar dari kapitalisme, dan produksi komuditas secara umum; sedangkan monopoli adalah kebalikan dari kompetisi bebas tersebut, yakni penciptaan industri dalam skala besar dan menggencet industri kecil, pengkonsentrasian produksi serta kapital ke titik di mana di dalamnya monopoli telah dan sedang bertumbuh-kembang: kartel-kartel, kongsi-kongsi dan trust-trust, yang di dalamnya terdapat selusin kapital dan juga bank-bank yang memanipulasi uang dalam jumlah milyaran. Pada saat yang sama, monopoli-monopoli tersebut, yang tengah keluar dari kompetisi bebas, tidak sedang mengeliminasi kompetisi bebas, tetapi berada di atas dan di sampingnya, dan oleh sebab itu, memunculkan keakutan-keakutan, antagonisme-antogonisme yang kuat, friksi-friksi dan konflik-konflik. Jadi, monopoli adalah transisi dari kapitalisme ke suatu sistem yang lebih tinggi. Dan imperialisme, dalam definisi singkatnya, menurut Lenin, adalah tahapan monopoli dari kapitalisme.

Namun definisi singkat di atas, menurut Lenin pula, belum memberi gambaran yang jelas mengenai apa itu imperialisme. Sebelum masuk ke poin mengenai tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa itu imperialisme, saya akan menuliskan kembali lima fitur dasar dari imperialisme yang telah ditulis oleh Lenin dalam  “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism”. Lima fitur dasar tersebut adalah, pertama, konsentrasi atas produksi dan kapital yang berkembang ke suatu tahapan yang tinggi sehingga menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi; kedua, penggabungan kapital bank dengan kapital industri, dan penciptaan, di atas dasar “kapital finans” ini, sebuah “oligarki finansial”; ketiga, ekspor kapital, yang berbeda dari ekspor komoditas, memperoleh perhatian khusus; keempat, pembentukan asosiasi-asosiasi kapitalis-monopolis internasional yang membagi-bagi dunia di antara mereka sendiri, dan, kelima, terselesaikannya pembagian teritori di seluruh dunia di bawah kekuasaan kapitalis besar. Berdasarkan lima fitur dasar dari imperialisme di atas, imperialisme, secara lebih jelas, bisa didefinisikan sebagai tahapan perkembangan dari kapitalisme yang telah mencapai titik di mana kekuatan monopoli dan kekuasaan kapital finans telah terbentuk; di mana ekspor kapital telah mendapatkan perhatian khusus; di mana pembagian dunia di antara trust-trust telah dimulai; di mana pembagian teritori secara global di bawah kekuasaan negara-negara kapitalis besar sudah terpenuhi.

Kapitalisme monopoli tidak bertumpu pada kompetisi dan inisiatif pribadi-pribadi secara bebas, tetapi berada di bawah komando yang tersentralisasi — demikian tulis Trotsky, pada tahun 1940, dalam “Trade Unions in the Epoch of Imperialist Decay”.Para geng kapitalis memimpin trust-trust, sindikat-sindikat, konsorsium-konsorsium perbankan, dll, yang kekuasaannya hampir sama dengan kekuasaan negara, yang pada setiap tahapannya, kekuatan yang pertama akan terus berkolaborasi dengan kekuatan yang kedua.

Perspektif teoritik dari Lenin dan Trotsky di atas mengenai imperialisme merupakan analisis politik yang mendalam dalam diskursus Marxis sepanjang waktu. Analisis tersebut selalu kontekstual di dalam banyak konteks — yang berkaitan dengan proses perkembangan kapitalisme. Fakta empiriknya, hari ini, apa yang telah dibicarakan oleh Lenin dan Trotsky, saat itu, hampir seluruhnya tepat — sebagaimana fakta-fakta obyektif yang kita temui sekarang ini. Tentu ini berkebalikan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Michael Hardt, bahwa imperialisme telah mati. Bahkan lebih jauh, temannya Hardt, Antonio [Toni] Negri, mengatakan dengan kata-kata yang tidak masuk akal mengenai imperialisme. Dalam bukunya, “Empire”, Negri berkata bahwa era imperialisme sudah berakhir, dan bahwa kita sekarang hidup di era “Empire”. Dalam bukunya tersebut Negri berbicara tentang “saat ini” sebagai periode yang sudah melampaui periode imperialisme. Ia percaya bahwa kini negara-negara kapitalis telah terikat di dalam suatu periode di mana mereka saling berinteraksi dalam suatu “Empire” dalam upaya untuk mencari perdamaian. “Teori” Negri ini sudah terbantahkan oleh argumentasi-argumentasi logis Lenin dalam “Imperialism, the Highest Stage of Capitalism” — bahkan sebelum Negri menulisnya. Lenin menjelaskan dengan gamblang bahwa meskipun kekuatan-kekuatan imperialis mampu membuat kesepakatan-kesepakatan antara satu dengan yang lain dalam skala dunia, namun kesepakatan-kesepakatan ini hanya bersifat temporer ... dan pada saat tertentu, mereka akan saling bertarung.

Lalu, jika demikian, perdamaian seperti apa yang sedang dan akan diwujudkan oleh imperialisme; relevankah apa yang telah disampaikan oleh para pemikir yang senang memakai baju Marxis—seperti Negri dan Hardt—tentang upaya penciptaan perdamaian oleh imperialisme?

Jelas di dalam fakta-fakta yang bisa kita jumpai hari ini, imperialisme-kapitalis telah menciptakan instabilitas dalam banyak hal dan dampak sosial yang akut: kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Jelas pula, formasi keseimbangan yang dibangunnya tidak akan bertahan lama, karena mengandung nilai kontradiksi-kontradiksi. Situasi yang seperti ini tidak bisa digambar sebagai situasi di dalam kerja-sama yang damai dan stabil, tetapi hanya serangkaian kesepakatan yang bersifat sementara untuk mencapai keuntungan maksimum di arena pasar. [Karena] ... kapitalisme tidak selalu membutuhkan perang untuk membangun hegemoninya atas pasar — tulis Marx (dalam Grundrisse).

Lal Khan, seorang Marxis Pakistan, memberikan deskripsi yang menarik mengenai dampak sosial dari praktek imperialisme. Dalam pidato politiknya di University of Cambridge — mengenai imperialisme dan revolusi di Asia dan Timur Tengah — Lal Khan mengatakan bahwa karakter imperialisme telah melahirkan penindasan terhadap kelas buruh dalam skala dunia. Di satu sisi, imperialisme telah berhasil meraup keuntungan yang sangat besar, tetapi di sisi lain, sebagian besar penduduk dunia tersungkur ke dalam kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Lal Khan memberikan contoh India, di mana dalam dekade terakhir laju pertumbuhan ekonomi meningkat 8 hingga 9%, namun pada saat yang sama kemiskinan yang diderita oleh rakyat meningkat dari 770 juta ke 863 juta jiwa. Persentasi yang sama tentu, juga terjadi di negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia. Untuk Indonesia, terkait dengan kajian mengenai imperialisme ini, gerak kapital besar sudah membentuk kartel-kartel, trust-trust, dan sindikat-sindikat; posisi kapital besar berputar-putar pada segelintir konglomerat saja. Kompas.com (7/3/2012) mendata orang-orang terkaya di Indonesia, yang diambil dari majalah Forbes, sebagai berikut:

1) R. Budi Hartono (Djarum, BCA) 6,5 miliar USD;

2) Michael Hartono (Djarum, BCA) 6,3 miliar USD;

3) Low Tuck Kwong  (Bayan Resources) 3,6 miliar USD;

4) Martua Sitorus (Wilmar International) 3 miliar USD;

5) Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas) 2,8 miliar USD;

6) Peter Sondakh (Rajawali Group) 2,6 miliar USD;

7) Achmad Hamami & keluarga 2,2 miliar USD;

8) Sri Prakash Lohia (Indorama) 2 miliar USD;

9) Chairul Tanjung (CT Group) 2 miliar USD;

10) Kiki Barki (Harum Energy) 1,7 miliar USD;

11) Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya) 1,5 miliar USD;

12) Edwin Soeryadjaya (Saratoga, Adaro) 1,4 miliar USD;

13) Tahir (Mayapada) 1,3 miliar USD;

14) Hary Tanoesoedibjo (Bhakti Investama, MNC) 1,3 miliar USD;

15) Garibaldi Thohir (Adaro) 1,2 miliar USD;

16) Theodore Rachmat (Adaro) 1,1 miliar USD;

17) Djoko Susanto (Alfamart) 1 miliar USD; dst.

Kenapa Aburizal Bakrie pada tahun 2012 ini tidak masuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia, padahal pada tahun 2011 menempati urutan ke-30 dengan nilai kekayaan Aburizal 890 juta USD—versi Forbes? Ya, untuk Bakrie, yang akhir-akhir sedang menjadi sorotan publik — selain karena kasus Lapindo dan sebagai ketua Golkar, juga karena akan maju ke pemilihan presiden tahun 2014 — tentu ada upaya politik untuk tidak menempatkan dirinya pada urutan orang terkaya di Indonesia.

Lebih jauh Lal Khan menggambarkan situasi buruh di era imperialisme. Ia menjelaskan bahwa di era imperialisme ini, selain terjadi penjarahan dan perampasan oleh imperialis, [secara niscaya dan dialektis] juga akan terjadi kontradiksi-kontradiksi yang akan membentuk sebuah perjuangan kelas. Massa berada dalam perjuangan yang terus-menerus guna melawan kaum imperialis dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kaum imperialis akan berusaha mengkotak-kotakkan massa agar mudah dibubarkan formasi perjuangan kelasnya. Kaum imperialis berusaha untuk membagi massa menurut ras, warna kulit, agama, batasan-batasan lain. Seluruh infrastruktur negara yang digunakan untuk mepertahankan pembagian-pembagian ini diciptakan dan dikerjakan dengan biaya yang dibebankan kepada kelas pekerja. Ya, pada akhirnya ... pada situasi imperialisme ini, lanjut Lal Khan, kebutuhan yang paling mendesak adalah pembentukan organisasi perjuangan kelas buruh pada skala internasional yang bertujuan untuk mengakhiri kebrutalan imperialisme.

Proletariat adalah elemen utama dalam upaya untuk menumbangkan imperialisme; elemen yang mampu mewujudkan revolusi sosial hingga revolusi sosialis. Bahkan, dengan kalimat yang terkesan “berlebihan”, secara ideologis, proletariat adalah kelas terintegrasi secara “tersembunyi” dengan revolusi. Artinya, meskipun terkadang gerak dari kaum proletar tampak stagnan, tetapi pada momentum tertentu kaum proletar mampu meruntuhkan konstruksi besar dari gerak kapital; dan, yang berarti pula, hanya proletariatlah yang mampu membawa kemenangan sebuah revolusi—dan bukan elemen lain. Namun proletariat, dalam proses menuju karakter yang revolusioner, membutuhkan elemen-elemen termaju yang memiliki kapasitas teoritik dan pengalaman di dalam praktek. Oleh sebab itu, integrasi yang integral dari seluruh elemen termaju (dari kaum proletar, kaum muda, mahasiswa, kaum tani) sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi proses pembangunan kesadaran dan kapasitas politik di dalam perjuangan kelas proletariat.

Periode sekarang ini, secara obyektif, adalah periode yang menggairahkan untuk melakukan konsolidasi kekuatan proletariat. Kontradiksi yang semakin kuat antara pemilik kapital dan buruh dalam beberapa tahun terakhir mampu memunculkan peristiwa-peristiwa politik yang diperankan oleh proletariat dengan serentak dan berkarakter revolusioner. Ya, dalam satu tahun terakhir kekuatan buruh berhasil unjuk diri. Mogok-mogok besar di Bekasi dalam satu tahun terakhir, aksi bersama menolak kenaikan harga BBM, Mogok Nasional Tiga Oktober, telah menunjukkan kekuatan revolusioner buruh. Ini, selain mempertegas postulat-postulat Marxis—bahwa buruh adalah elemen yang paling revolusioner—juga meruntuhkan sketsa teoritik para teoritisi sosial yang mengaburkan potensi kekuatan buruh.

Peristiwa faktual ini mengartikan bahwa praktek dari imperialisme-kapitalis mengalami peningkatan dampak pada titik yang sangat mengerikan. Semua nilai telah melebur di dalam proses kapital. Harkat sebuah jiwa yang bebas dan memiliki hak atas kekayaan sebuah negeri telah dihancurkan oleh kekuatan kartel-kartel, sindikat-sindikat dan trust-trust. Kelas buruh dan kaum tertindas lain dipaksa untuk menerima jatah yang tak semestinya. Kemiskinan akibat penindasan menjadi hal yang rasional. Dan seluruh kelas tertindas ini diperlakukan seperti domba yang tengah digiring ke tempat pembantaian.

Ini sebuah tragedi kemanusiaan yang serius. Kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa imperialisme-kapitalis mampu memecahkan masalah-masalah yang tengah merundung dunia ini dan menciptakan suatu perdamaian — sebagaimana ditulis Hardt dan Negri. Jika kita percaya bahwa imperialisme-kapitalis mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dunia — sebagaimana dipahami oleh logika borjuasi — maka kita sama seperti hendak ikut membunuh jutaan manusia dengan sebuah kebodohan yang memalukan.

Melihat fakta revolusioner di atas, dan melihat kegagalan imperialisme-kapitalis dalam menciptakan keseimbangan, tentu kaum imperialis tidak akan tinggal diam. Berbagai sarana propaganda dibangun. Mereka giat menyerang ide-ide sosialisme yang berisikan perjuangan kelas. Mereka, dengan dukungan biaya yang sangat besar, dalam forum-forum diskusi, dalam tulisan di koran-koran, dalam tayangan di televisi-televisi, dengan giat membangun perspektif dan pembenaran-pembenaran — untuk melegalisasikan “kebenaran-kebenarannya”.

Mari kita kembali lagi ke pokok persoalan, yakni mengenai tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme. Dalam analisis kelas Marxis, buruh diposisikan sebagai elemen yang paling progresif dalam pembentukan revolusi sosial. Proses hegemoni yang tengah ditancapkan oleh kekuatan imperialisme-kapitalis hanya bisa ditumbangkan oleh perjuangan kelas buruh. Kita tidak bisa berharap dari kelas-kelas lain. Ya, sekali lagi, hanya dengan perjuangan kelas buruh revolusi sosial yang sesungguhnya akan terwujud. Marx, dalam Manifesto Partai Komunis, pernah menulis: “Dari semua kelas yang sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya kelas yang betul-betul revolusioner.”

Mungkin sebuah pertanyaan akan muncul, “Kenapa kelas buruh, dalam analisis Marxis, yang merupakan elemen paling progresif?”

“Ya, karena kelas buruh adalah kelas yang sedang berkontradiksi secara langsung dengan imperialisme-kapitalis,” tentu demikian jawaban Marxis-nya, “kelas yang mudah diorganisasi dan dimobilisasi karena berada dalam ritme, irama, dan psikologi yang sama; kelas yang — untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari — hanya, mau tak mau, menjual tenaga kerjanya kepada para pemilik kapital.”

Kondisi ini akan memaksa kaum buruh untuk membuka kedok dari kebobrokan imperialisme-kapitalis. Kaum buruhlah yang akan mengambil tugas politik untuk, secara terus-menerus, mengekspos keburukan-keburukan dari praktek imperialisme-kapitalis. Kaum buruh harus menggunakan situasi ini untuk mempropagandakan dan menjelaskan kepada seluruh lapisan rakyat tertindas mengenai tujuan perjuangan kelas buruh. Namun, meskipun demikian, kaum buruh bukan hanya harus mengadakan sebuah propaganda revolusioner—demikian tulis Trotsky (dalam “Kaum Proletar dan Revolusi”). Perspektif politik kaum buruh harus bergerak dari kesadaran ekonomik-normatif menuju ke kesadaran politik untuk sebuah revolusi.

Untuk bergerak menuju sebuah revolusi, lanjut Trotsky, bukan serta-merta bisa menetapkan sebuah tanggal dalam melakukan sebuah pemberontakan. Kita tidak akan pernah bisa menetapkan sebuah hari dan jam untuk sebuah revolusi. Rakyat tidak pernah membuat sebuah revolusi berdasarkan perintah. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengambil posisi yang paling tepat, yakni mempersenjatai dan menginspirasi massa dengan slogan-slogan revolusioner dan mempersiapkan kader-keder termaju dari elemen-elemen tertindas untuk siap memimpin perlawanan — di dalam medium politik yang kuat (karena di dalamnya terdapat ide, program, metode, tradisi, dan aparatus yang jelas dan kuat).

Marx telah menjelaskan bahwa pembebasan kelas buruh dari penindasan adalah tugas kelas buruh itu sendiri. Massa kelas buruh akan belajar dari pengalaman. Mereka tidak belajar dari buku. Hal itu bukan karena mereka tidak memiliki kecerdasan, sebagaimana yang sering digambarkan oleh sebuah logika yang sinis, tetapi karena mereka kekurangan waktu. Tetapi pula — sebagaimana dikatakan oleh Alan Woods — kelas buruh tidak secara otomatis mampu sampai pada kesimpulan revolusioner. Melalui medium-medium politik yang revolusioner — baik medium politik dalam bentuk serikat buruh, dan juga dukungan dari medium-medium politik yang dibentuk oleh kaum revolusioner pendukung perjuangan buruh seperti serikat mahasiswa, dll. — kelas buruh akan mulai mengekspresikan dirinya sebagai sebuah kelas, akan terbentuk kualitas politik dan perjuanganya, serta akan terbangun identitasnya yang revolusioner dan independen.

Terakhir. Lalu apa fungsi dibentuknya Spartakus, yang di dalamnya terdapat kaum intelektual, jika pembebasan kelas buruh dari penindasan adalah tugas kelas buruh itu sendiri? Ya, ini pertanyaan yang selalu akan muncul dari kalangan intelektual kampus. Kaum intelektual, dalam perspektif Marxis, adalah entitas yang berada pada posisi transisi: sebuah entitas yang bisa menjadi instrumen penting bagi kapitalisme, juga, bisa menjadi bagian penting dalam perjuangan proletariat. Kaum intelektual akan menjadi bagian dari eksploitasi kapitalis secara tidak langsung selama kaum intelektual tersebut secara materi tergantung pada kelas kapitalis. Tetapi kaum intelektual juga bisa menyeberang ke perjuangan buruh jika mereka melihat terdapat kemungkinan kemenangan yang segera di dalam perjuangan buruh; jika perjuangan buruh adalah sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, jika menyeberangnya dari sisi kapitalis ke proletariat tidak mengancam eksistensinya dan tidak konsekuensi berat baginya baik secara materi maupun moral.

Dengan demikian, tugas politik awal dari Spartakus adalah membangun kualitas kaum intelektual agar mampu mengintegrasikan diri di dalam perjuangan rakyat tertindas. Ini, jelas, perkerjaan yang tidak mudah. Jika dibandingkan, akan lebih mudah membangun kesadaran kelas buruh di dalam perjuangan untuk melawan kapitalis ketimbang membangun kesadaran kaum intelektual untuk terlibat di dalam perjuangan melawan kapitalis. Kontradiksinya yang secara langsung dengan proses kapital, dengan niscaya, akan menciptakan kesadaran kelas kaum buruh dan kesadaran untuk melawan; sementara kaum intelektual, karena posisi pilihannya yang luas (artinya bisa memilih menjadi bagian dari kapitalis atau tidak) menjadikan kaum intelektual perlu melakukan proses pembenaran-pembenaran yang panjang atas pilihan-pilihannya — baik pembenaran secara politis-ideologis, filosofis, juga, bahkan, pembenaran secara teologis. Ya, jika Spartakus mampu melewati tahapan awal ini, maka pada proses selanjutnya adalah menjadi bagian yang integral di dalam perjuangan proletariat hingga mencapai garis kemenangan. Sebagai informasi historis, bahwa Marx-Engels, Rosa Luxemburg, Lenin, Trotsky, dan para kader Bolshevik, adalah kaum “intelektual” yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan di atas dan kemudian mampu mengabdikan diri secara konsisten di dalam garis perjuangan kelas buruh.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar :

Posting Komentar