Berikut ini adalah diktat presentasi kawan J.S. Anam yang
disampaikannya pada Sekolah Marxis yang diselenggarakan oleh Spartakus di
Semarang pada awal Desember. Disini, kawan Anam mengupas mengenai imperialisme
dan tugas-tugas yang harus diemban oleh kaum revolusioner, khususnya para
anggota Spartakus.
“Apa itu Imperialisme” sudah dikupas dengan panjang lebar
oleh tulisan Ted Sprague di website Militan. Namun untuk mengantarkan pada
pokok analisa, yakni apa tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme,
saya akan mempertegas kembali apa yang telah ditulis oleh Lenin dan Trotsky
mengenai imperialisme.
Imperialisme adalah periode monopoli di dalam sistem
kapitalisme — tulis Lenin (dalam “Imperialism, the Highest Stage of
Capitalism”). Imperialisme muncul sebagai proses lanjut dari kapitalisme secara
umum. Kapitalisme akan disebut sebagai imperialisme-kapitalis ketika berada
pada tahapan tertentu, ketika karakteristik fundamentalnya mulai berubah
menjadi antitesa-antitesa darinya, ketika perangkat-perangkat pada masa
transisi dari kapitalisme ke suatu sistem sosial-ekonomi yang lebih tinggi
telah mengambil bentuk dan menunjukkan dirinya di segala bidang [dan di semua
lini kehidupan]. Secara ekonomik, lanjut Lenin, hal utama di dalam proses ini
adalah perpindahan dari kompetisi bebas kapitalis ke monopoli kapitalis.
Kompetisi bebas adalah fitur dasar dari kapitalisme, dan produksi komuditas
secara umum; sedangkan monopoli adalah kebalikan dari kompetisi bebas tersebut,
yakni penciptaan industri dalam skala besar dan menggencet industri kecil,
pengkonsentrasian produksi serta kapital ke titik di mana di dalamnya monopoli
telah dan sedang bertumbuh-kembang: kartel-kartel, kongsi-kongsi dan trust-trust,
yang di dalamnya terdapat selusin kapital dan juga bank-bank yang memanipulasi
uang dalam jumlah milyaran. Pada saat yang sama, monopoli-monopoli tersebut,
yang tengah keluar dari kompetisi bebas, tidak sedang mengeliminasi kompetisi
bebas, tetapi berada di atas dan di sampingnya, dan oleh sebab itu, memunculkan
keakutan-keakutan, antagonisme-antogonisme yang kuat, friksi-friksi dan
konflik-konflik. Jadi, monopoli adalah transisi dari kapitalisme ke suatu
sistem yang lebih tinggi. Dan imperialisme, dalam definisi singkatnya, menurut
Lenin, adalah tahapan monopoli dari kapitalisme.
Namun definisi singkat di atas, menurut Lenin pula, belum
memberi gambaran yang jelas mengenai apa itu imperialisme. Sebelum masuk ke
poin mengenai tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme, untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa itu imperialisme, saya akan
menuliskan kembali lima fitur dasar dari imperialisme yang telah ditulis oleh
Lenin dalam “Imperialism, the Highest
Stage of Capitalism”. Lima fitur dasar tersebut adalah, pertama, konsentrasi
atas produksi dan kapital yang berkembang ke suatu tahapan yang tinggi sehingga
menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan peran penting dalam kehidupan
ekonomi; kedua, penggabungan kapital bank dengan kapital industri, dan
penciptaan, di atas dasar “kapital finans” ini, sebuah “oligarki finansial”;
ketiga, ekspor kapital, yang berbeda dari ekspor komoditas, memperoleh
perhatian khusus; keempat, pembentukan asosiasi-asosiasi kapitalis-monopolis
internasional yang membagi-bagi dunia di antara mereka sendiri, dan, kelima,
terselesaikannya pembagian teritori di seluruh dunia di bawah kekuasaan
kapitalis besar. Berdasarkan lima fitur dasar dari imperialisme di atas,
imperialisme, secara lebih jelas, bisa didefinisikan sebagai tahapan
perkembangan dari kapitalisme yang telah mencapai titik di mana kekuatan
monopoli dan kekuasaan kapital finans telah terbentuk; di mana ekspor kapital
telah mendapatkan perhatian khusus; di mana pembagian dunia di antara trust-trust
telah dimulai; di mana pembagian teritori secara global di bawah kekuasaan
negara-negara kapitalis besar sudah terpenuhi.
Kapitalisme monopoli tidak bertumpu pada kompetisi dan
inisiatif pribadi-pribadi secara bebas, tetapi berada di bawah komando yang
tersentralisasi — demikian tulis Trotsky, pada tahun 1940, dalam “Trade Unions
in the Epoch of Imperialist Decay”.Para geng kapitalis memimpin trust-trust,
sindikat-sindikat, konsorsium-konsorsium perbankan, dll, yang kekuasaannya
hampir sama dengan kekuasaan negara, yang pada setiap tahapannya, kekuatan yang
pertama akan terus berkolaborasi dengan kekuatan yang kedua.
Perspektif teoritik dari Lenin dan Trotsky di atas
mengenai imperialisme merupakan analisis politik yang mendalam dalam diskursus
Marxis sepanjang waktu. Analisis tersebut selalu kontekstual di dalam banyak
konteks — yang berkaitan dengan proses perkembangan kapitalisme. Fakta
empiriknya, hari ini, apa yang telah dibicarakan oleh Lenin dan Trotsky, saat
itu, hampir seluruhnya tepat — sebagaimana fakta-fakta obyektif yang kita temui
sekarang ini. Tentu ini berkebalikan dengan apa yang pernah dikatakan oleh
Michael Hardt, bahwa imperialisme telah mati. Bahkan lebih jauh, temannya
Hardt, Antonio [Toni] Negri, mengatakan dengan kata-kata yang tidak masuk akal
mengenai imperialisme. Dalam bukunya, “Empire”, Negri berkata bahwa era
imperialisme sudah berakhir, dan bahwa kita sekarang hidup di era “Empire”.
Dalam bukunya tersebut Negri berbicara tentang “saat ini” sebagai periode yang
sudah melampaui periode imperialisme. Ia percaya bahwa kini negara-negara
kapitalis telah terikat di dalam suatu periode di mana mereka saling
berinteraksi dalam suatu “Empire” dalam upaya untuk mencari perdamaian. “Teori”
Negri ini sudah terbantahkan oleh argumentasi-argumentasi logis Lenin dalam
“Imperialism, the Highest Stage of Capitalism” — bahkan sebelum Negri
menulisnya. Lenin menjelaskan dengan gamblang bahwa meskipun kekuatan-kekuatan
imperialis mampu membuat kesepakatan-kesepakatan antara satu dengan yang lain
dalam skala dunia, namun kesepakatan-kesepakatan ini hanya bersifat temporer
... dan pada saat tertentu, mereka akan saling bertarung.
Lalu, jika demikian, perdamaian seperti apa yang sedang
dan akan diwujudkan oleh imperialisme; relevankah apa yang telah disampaikan
oleh para pemikir yang senang memakai baju Marxis—seperti Negri dan
Hardt—tentang upaya penciptaan perdamaian oleh imperialisme?
Jelas di dalam fakta-fakta yang bisa kita jumpai hari
ini, imperialisme-kapitalis telah menciptakan instabilitas dalam banyak hal dan
dampak sosial yang akut: kelaparan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Jelas pula,
formasi keseimbangan yang dibangunnya tidak akan bertahan lama, karena
mengandung nilai kontradiksi-kontradiksi. Situasi yang seperti ini tidak bisa
digambar sebagai situasi di dalam kerja-sama yang damai dan stabil, tetapi
hanya serangkaian kesepakatan yang bersifat sementara untuk mencapai keuntungan
maksimum di arena pasar. [Karena] ... kapitalisme tidak selalu membutuhkan
perang untuk membangun hegemoninya atas pasar — tulis Marx (dalam Grundrisse).
Lal Khan, seorang Marxis Pakistan, memberikan deskripsi
yang menarik mengenai dampak sosial dari praktek imperialisme. Dalam pidato
politiknya di University of Cambridge — mengenai imperialisme dan revolusi di
Asia dan Timur Tengah — Lal Khan mengatakan bahwa karakter imperialisme telah
melahirkan penindasan terhadap kelas buruh dalam skala dunia. Di satu sisi,
imperialisme telah berhasil meraup keuntungan yang sangat besar, tetapi di sisi
lain, sebagian besar penduduk dunia tersungkur ke dalam kelaparan, kemiskinan,
dan kesengsaraan. Lal Khan memberikan contoh India, di mana dalam dekade
terakhir laju pertumbuhan ekonomi meningkat 8 hingga 9%, namun pada saat yang
sama kemiskinan yang diderita oleh rakyat meningkat dari 770 juta ke 863 juta
jiwa. Persentasi yang sama tentu, juga terjadi di negara-negara berkembang
lainnya seperti Indonesia. Untuk Indonesia, terkait dengan kajian mengenai
imperialisme ini, gerak kapital besar sudah membentuk kartel-kartel,
trust-trust, dan sindikat-sindikat; posisi kapital besar berputar-putar pada
segelintir konglomerat saja. Kompas.com (7/3/2012) mendata orang-orang terkaya
di Indonesia, yang diambil dari majalah Forbes, sebagai berikut:
1) R. Budi Hartono (Djarum, BCA) 6,5 miliar USD;
2) Michael Hartono (Djarum, BCA) 6,3 miliar USD;
3) Low Tuck Kwong
(Bayan Resources) 3,6 miliar USD;
4) Martua Sitorus (Wilmar International) 3 miliar USD;
5) Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas) 2,8 miliar USD;
6) Peter Sondakh (Rajawali Group) 2,6 miliar USD;
7) Achmad Hamami & keluarga 2,2 miliar USD;
8) Sri Prakash Lohia (Indorama) 2 miliar USD;
9) Chairul Tanjung (CT Group) 2 miliar USD;
10) Kiki Barki (Harum Energy) 1,7 miliar USD;
11) Murdaya Poo (Central Cipta Murdaya) 1,5 miliar USD;
12) Edwin Soeryadjaya (Saratoga, Adaro) 1,4 miliar USD;
13) Tahir (Mayapada) 1,3 miliar USD;
14) Hary Tanoesoedibjo (Bhakti Investama, MNC) 1,3 miliar
USD;
15) Garibaldi Thohir (Adaro) 1,2 miliar USD;
16) Theodore Rachmat (Adaro) 1,1 miliar USD;
17) Djoko Susanto (Alfamart) 1 miliar USD; dst.
Kenapa Aburizal Bakrie pada tahun 2012 ini tidak masuk
dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia, padahal pada tahun 2011 menempati
urutan ke-30 dengan nilai kekayaan Aburizal 890 juta USD—versi Forbes? Ya,
untuk Bakrie, yang akhir-akhir sedang menjadi sorotan publik — selain karena
kasus Lapindo dan sebagai ketua Golkar, juga karena akan maju ke pemilihan
presiden tahun 2014 — tentu ada upaya politik untuk tidak menempatkan dirinya
pada urutan orang terkaya di Indonesia.
Lebih jauh Lal Khan menggambarkan situasi buruh di era
imperialisme. Ia menjelaskan bahwa di era imperialisme ini, selain terjadi
penjarahan dan perampasan oleh imperialis, [secara niscaya dan dialektis] juga
akan terjadi kontradiksi-kontradiksi yang akan membentuk sebuah perjuangan
kelas. Massa berada dalam perjuangan yang terus-menerus guna melawan kaum
imperialis dan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kaum imperialis akan
berusaha mengkotak-kotakkan massa agar mudah dibubarkan formasi perjuangan
kelasnya. Kaum imperialis berusaha untuk membagi massa menurut ras, warna
kulit, agama, batasan-batasan lain. Seluruh infrastruktur negara yang digunakan
untuk mepertahankan pembagian-pembagian ini diciptakan dan dikerjakan dengan
biaya yang dibebankan kepada kelas pekerja. Ya, pada akhirnya ... pada situasi
imperialisme ini, lanjut Lal Khan, kebutuhan yang paling mendesak adalah
pembentukan organisasi perjuangan kelas buruh pada skala internasional yang
bertujuan untuk mengakhiri kebrutalan imperialisme.
Proletariat adalah elemen utama dalam upaya untuk
menumbangkan imperialisme; elemen yang mampu mewujudkan revolusi sosial hingga
revolusi sosialis. Bahkan, dengan kalimat yang terkesan “berlebihan”, secara
ideologis, proletariat adalah kelas terintegrasi secara “tersembunyi” dengan
revolusi. Artinya, meskipun terkadang gerak dari kaum proletar tampak stagnan,
tetapi pada momentum tertentu kaum proletar mampu meruntuhkan konstruksi besar
dari gerak kapital; dan, yang berarti pula, hanya proletariatlah yang mampu
membawa kemenangan sebuah revolusi—dan bukan elemen lain. Namun proletariat,
dalam proses menuju karakter yang revolusioner, membutuhkan elemen-elemen
termaju yang memiliki kapasitas teoritik dan pengalaman di dalam praktek. Oleh
sebab itu, integrasi yang integral dari seluruh elemen termaju (dari kaum
proletar, kaum muda, mahasiswa, kaum tani) sangat dibutuhkan untuk
mengakselerasi proses pembangunan kesadaran dan kapasitas politik di dalam perjuangan
kelas proletariat.
Periode sekarang ini, secara obyektif, adalah periode
yang menggairahkan untuk melakukan konsolidasi kekuatan proletariat.
Kontradiksi yang semakin kuat antara pemilik kapital dan buruh dalam beberapa
tahun terakhir mampu memunculkan peristiwa-peristiwa politik yang diperankan
oleh proletariat dengan serentak dan berkarakter revolusioner. Ya, dalam satu
tahun terakhir kekuatan buruh berhasil unjuk diri. Mogok-mogok besar di Bekasi
dalam satu tahun terakhir, aksi bersama menolak kenaikan harga BBM, Mogok
Nasional Tiga Oktober, telah menunjukkan kekuatan revolusioner buruh. Ini,
selain mempertegas postulat-postulat Marxis—bahwa buruh adalah elemen yang
paling revolusioner—juga meruntuhkan sketsa teoritik para teoritisi sosial yang
mengaburkan potensi kekuatan buruh.
Peristiwa faktual ini mengartikan bahwa praktek dari
imperialisme-kapitalis mengalami peningkatan dampak pada titik yang sangat
mengerikan. Semua nilai telah melebur di dalam proses kapital. Harkat sebuah
jiwa yang bebas dan memiliki hak atas kekayaan sebuah negeri telah dihancurkan
oleh kekuatan kartel-kartel, sindikat-sindikat dan trust-trust. Kelas buruh dan
kaum tertindas lain dipaksa untuk menerima jatah yang tak semestinya.
Kemiskinan akibat penindasan menjadi hal yang rasional. Dan seluruh kelas
tertindas ini diperlakukan seperti domba yang tengah digiring ke tempat
pembantaian.
Ini sebuah tragedi kemanusiaan yang serius. Kita tidak
bisa menarik kesimpulan bahwa imperialisme-kapitalis mampu memecahkan
masalah-masalah yang tengah merundung dunia ini dan menciptakan suatu
perdamaian — sebagaimana ditulis Hardt dan Negri. Jika kita percaya bahwa
imperialisme-kapitalis mampu menyelesaikan persoalan-persoalan dunia —
sebagaimana dipahami oleh logika borjuasi — maka kita sama seperti hendak ikut
membunuh jutaan manusia dengan sebuah kebodohan yang memalukan.
Melihat fakta revolusioner di atas, dan melihat kegagalan
imperialisme-kapitalis dalam menciptakan keseimbangan, tentu kaum imperialis
tidak akan tinggal diam. Berbagai sarana propaganda dibangun. Mereka giat
menyerang ide-ide sosialisme yang berisikan perjuangan kelas. Mereka, dengan
dukungan biaya yang sangat besar, dalam forum-forum diskusi, dalam tulisan di
koran-koran, dalam tayangan di televisi-televisi, dengan giat membangun
perspektif dan pembenaran-pembenaran — untuk melegalisasikan
“kebenaran-kebenarannya”.
Mari kita kembali lagi ke pokok persoalan, yakni mengenai
tugas politik kaum revolusioner di era imperialisme. Dalam analisis kelas
Marxis, buruh diposisikan sebagai elemen yang paling progresif dalam
pembentukan revolusi sosial. Proses hegemoni yang tengah ditancapkan oleh
kekuatan imperialisme-kapitalis hanya bisa ditumbangkan oleh perjuangan kelas
buruh. Kita tidak bisa berharap dari kelas-kelas lain. Ya, sekali lagi, hanya
dengan perjuangan kelas buruh revolusi sosial yang sesungguhnya akan terwujud.
Marx, dalam Manifesto Partai Komunis, pernah menulis: “Dari semua kelas yang
sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi, hanya proletariatlah satu-satunya
kelas yang betul-betul revolusioner.”
Mungkin sebuah pertanyaan akan muncul, “Kenapa kelas
buruh, dalam analisis Marxis, yang merupakan elemen paling progresif?”
“Ya, karena kelas buruh adalah kelas yang sedang
berkontradiksi secara langsung dengan imperialisme-kapitalis,” tentu demikian
jawaban Marxis-nya, “kelas yang mudah diorganisasi dan dimobilisasi karena
berada dalam ritme, irama, dan psikologi yang sama; kelas yang — untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari — hanya, mau tak mau, menjual tenaga kerjanya
kepada para pemilik kapital.”
Kondisi ini akan memaksa kaum buruh untuk membuka kedok
dari kebobrokan imperialisme-kapitalis. Kaum buruhlah yang akan mengambil tugas
politik untuk, secara terus-menerus, mengekspos keburukan-keburukan dari praktek
imperialisme-kapitalis. Kaum buruh harus menggunakan situasi ini untuk
mempropagandakan dan menjelaskan kepada seluruh lapisan rakyat tertindas
mengenai tujuan perjuangan kelas buruh. Namun, meskipun demikian, kaum buruh
bukan hanya harus mengadakan sebuah propaganda revolusioner—demikian tulis
Trotsky (dalam “Kaum Proletar dan Revolusi”). Perspektif politik kaum buruh
harus bergerak dari kesadaran ekonomik-normatif menuju ke kesadaran politik
untuk sebuah revolusi.
Untuk bergerak menuju sebuah revolusi, lanjut Trotsky,
bukan serta-merta bisa menetapkan sebuah tanggal dalam melakukan sebuah
pemberontakan. Kita tidak akan pernah bisa menetapkan sebuah hari dan jam untuk
sebuah revolusi. Rakyat tidak pernah membuat sebuah revolusi berdasarkan
perintah. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengambil posisi yang paling
tepat, yakni mempersenjatai dan menginspirasi massa dengan slogan-slogan
revolusioner dan mempersiapkan kader-keder termaju dari elemen-elemen tertindas
untuk siap memimpin perlawanan — di dalam medium politik yang kuat (karena di
dalamnya terdapat ide, program, metode, tradisi, dan aparatus yang jelas dan
kuat).
Marx telah menjelaskan bahwa pembebasan kelas buruh dari
penindasan adalah tugas kelas buruh itu sendiri. Massa kelas buruh akan belajar
dari pengalaman. Mereka tidak belajar dari buku. Hal itu bukan karena mereka
tidak memiliki kecerdasan, sebagaimana yang sering digambarkan oleh sebuah
logika yang sinis, tetapi karena mereka kekurangan waktu. Tetapi pula —
sebagaimana dikatakan oleh Alan Woods — kelas buruh tidak secara otomatis mampu
sampai pada kesimpulan revolusioner. Melalui medium-medium politik yang
revolusioner — baik medium politik dalam bentuk serikat buruh, dan juga
dukungan dari medium-medium politik yang dibentuk oleh kaum revolusioner
pendukung perjuangan buruh seperti serikat mahasiswa, dll. — kelas buruh akan
mulai mengekspresikan dirinya sebagai sebuah kelas, akan terbentuk kualitas
politik dan perjuanganya, serta akan terbangun identitasnya yang revolusioner
dan independen.
Terakhir. Lalu apa fungsi dibentuknya Spartakus, yang di
dalamnya terdapat kaum intelektual, jika pembebasan kelas buruh dari penindasan
adalah tugas kelas buruh itu sendiri? Ya, ini pertanyaan yang selalu akan muncul
dari kalangan intelektual kampus. Kaum intelektual, dalam perspektif Marxis,
adalah entitas yang berada pada posisi transisi: sebuah entitas yang bisa
menjadi instrumen penting bagi kapitalisme, juga, bisa menjadi bagian penting
dalam perjuangan proletariat. Kaum intelektual akan menjadi bagian dari
eksploitasi kapitalis secara tidak langsung selama kaum intelektual tersebut
secara materi tergantung pada kelas kapitalis. Tetapi kaum intelektual juga
bisa menyeberang ke perjuangan buruh jika mereka melihat terdapat kemungkinan
kemenangan yang segera di dalam perjuangan buruh; jika perjuangan buruh adalah
sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, jika menyeberangnya dari sisi
kapitalis ke proletariat tidak mengancam eksistensinya dan tidak konsekuensi
berat baginya baik secara materi maupun moral.
Dengan demikian, tugas politik awal dari Spartakus adalah
membangun kualitas kaum intelektual agar mampu mengintegrasikan diri di dalam
perjuangan rakyat tertindas. Ini, jelas, perkerjaan yang tidak mudah. Jika
dibandingkan, akan lebih mudah membangun kesadaran kelas buruh di dalam
perjuangan untuk melawan kapitalis ketimbang membangun kesadaran kaum
intelektual untuk terlibat di dalam perjuangan melawan kapitalis.
Kontradiksinya yang secara langsung dengan proses kapital, dengan niscaya, akan
menciptakan kesadaran kelas kaum buruh dan kesadaran untuk melawan; sementara
kaum intelektual, karena posisi pilihannya yang luas (artinya bisa memilih
menjadi bagian dari kapitalis atau tidak) menjadikan kaum intelektual perlu
melakukan proses pembenaran-pembenaran yang panjang atas pilihan-pilihannya —
baik pembenaran secara politis-ideologis, filosofis, juga, bahkan, pembenaran
secara teologis. Ya, jika Spartakus mampu melewati tahapan awal ini, maka pada
proses selanjutnya adalah menjadi bagian yang integral di dalam perjuangan
proletariat hingga mencapai garis kemenangan. Sebagai informasi historis, bahwa
Marx-Engels, Rosa Luxemburg, Lenin, Trotsky, dan para kader Bolshevik, adalah
kaum “intelektual” yang mampu menyelesaikan persoalan-persoalan di atas dan
kemudian mampu mengabdikan diri secara konsisten di dalam garis perjuangan
kelas buruh.
Sumber : militanindonesia.org