KnpbNews,Jayapura;Opini:-Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah.
Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang
harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara
obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang
terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam
kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah
antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan.
Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah
perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga,
alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia. Keempat, sejarah
kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir
masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).
1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka
mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari
kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih
dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara
demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat
secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih
memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani
oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk
mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga
sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia
mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah ras Negroid
sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid.
Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah
perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak
pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam.
Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya
yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh
Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan
oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:
Dalam
kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun
Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita
kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan
soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar
akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia. …Bangsa Papua
termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan,
karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya
masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan
kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas,
bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai
hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam
satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua
Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa
sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis
untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal
semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme
Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua)
2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350
tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh
Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama
merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat
diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan
kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.
Kekuasaan Belanda di
Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan
batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan
otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan.
Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang
berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),
Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam
babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi
perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau
dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu
Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama
dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka
sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia,
karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat
juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28
Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia
seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan
lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu
bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari
Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat
Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu
tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan
mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang
Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang
tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia
dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil
Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal
12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua
adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua
menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan bahwa
bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta
dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika
Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi
tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda,
yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland
Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya Negara
Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari
Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945
(dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan
buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan
berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku.
Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan
Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan
sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan
penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai
jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Dari hasil
penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka
dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian
Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan
Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17
Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat
tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa
persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak
adalah:
a. Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati
pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima
status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat
menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda
mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah
tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
b. Dalam
Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23
Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah
Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun
sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat,
masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan
perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland
Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua
Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan
karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
c.
Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang
dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah
panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni
Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut,
masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15
April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara
ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia
atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan
masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations
Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
d.
Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak
tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia
Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan
buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa
yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda
sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
Wilayah teritori Papua Barat sorong sampai merauke wilayah yang
masih belum Memiliki pememerintahan sendiri sediri Perjanjian Canberra
tanggal 6 February 1947 Bangsa Bangsa di Wilayah Pasifik Selatan mulai
dari bahwa Garis 0° LS di bagian Utara, di Bagian Barat mulai dari
Netherlands New Guinea dan Bagian Timur di Vanuatu serta Bagian Selatan
di New Caledonia
Maka bangsa Papua memiliki hak politik yang
sama untuk merdeka dan membentuk pemerintahan sendiri sama sepertri
saudara Lain Ras Melanesia di fasiik Selatan yaitu PNG, Fiji, Salomon
Island, Vanuatu dan New Kaledonia Baru Kanaky. 54 Tahun kolonial
Indonesia menduduki di Papua Barat, hak Politik terus dibungkamdan
dihancukan Atas keterlibatan kapitalis, Imperalisme dan kelaborasi
dengan neoklonialime di west Papua.
Dengan demikian, maka bangsa
Papua Barat semakin giat berjuang untuk memperoleh Hak Dasarnya yaitu,
Kemerdekaan Penuh Melalu mekanisme legal PBB, sebagaimana telah dapat
dilaksanakan terhadap bangsa-bangsa lain di muka Bumi. Yang dimaksud
adalah: Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self-Determination) melalui sebuah
REFERENDUM yang demokratis dan bermartabat.
Resolusi PBB No.
1752 yang MENSAHKAN Perjanjian New York dan Resolusi PBB No. 2504.
Merupakan pelecehan dan melanggar Hak politik Orang Papua sebab
sebelumnya tahun 1945 ketika PBB didirikan, wilayah Papua belum punya
Pemerintahan Sendiri (Non Self Governing Territory) sehingga Papua
dimasukan ke Daftar Non Self Governing Territory pada Komisi
Dekolonisasi PBB (UN 24th Committee).
Maka dibentuklah sebuah Komisi
Pasifik Selatan (South Pacific Committee) melalui Perjanjian Canberra
tanggal 6 February 1947 untuk mempercepat Pembangunan bagi Bangsa Bangsa
di Wilayah Pasifik Selatan mulai dari bahwa Garis 0° LS di bagian
Utara, di Bagian Barat mulai dari Netherlands New Guinea dan Bagian
Timur di Vanuatu serta Bagian Selatan di New Caledonia berdasarkan
perjanjian Canberra Agreement Pasal 2 Hal ini dilakukan sesuai
Piagam PBB Pasal 73 yang disahkan melalui Resolusi PBB No. 1514 dan
Resolusi PBB No. 1541 karena Rumpun Bangsa Melanesia tidak sama dengan
Rumpun Bangsa Indies (Indos Nesos, Indonesia) maka Belanda mendaftarkan
Wilayah Netherlands Indies (Indonesia) dan Netherlands New Guinea (Papua
Barat) secara terpisah seperti Netherlands Antilles dan Suriname.
Konferensi Meja Bundar (KMB ) tanggal 29 Desember 1949, maka claim
Indonesia di KMB adalah suatu Pelanggaran terhadap Piagam PBB Pasal 73
karena tidak menghargai hak penentuan nasib sendiri rumpun bangsa
melanesia (Papua Barat ).
Dalam Konferensi Meja Bundar yang
dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945
disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku
seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah
kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan
perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.
Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland
Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua
Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan
karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.
Ini
membuctikan Bahwa Bangsa Papua Buakan Bagian dari kolonial indonesia.
kepada orang Papua Yang tidak tau sejarah yang mengaku diri Barisan Mera
Putih harus Belajar sejarah Papua. (CheDg)
Sumber : facebook.com/nesta.gimbal
Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat
Kamis, 26 Mei 2016


Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)